Lion King Musical-Circle of Life

Hentakan nyanyian Afrika mengawali musikal The Lion King. Matahari terbit dari ufuknya. Diiringi “Circle of Life”;  jerapah, leopard, antelop muncul satu per satu; dan disusul hingga yang terbesar, badak dan gajah. Ini bukan Lion King versi animasi, bukan juga pengejawantahan animasinya. Ini adalah the Lion King yang diterjemahkan ulang dalam medium teater.

Alur ceritanya masih sama. Tentang Simba, anak singa yang kelak mewarisi tahta ayahnya, Mufasa. Juga tentang Scar, sang paman yang bersekongkol dengan gerombolan hyena untuk membunuh Mufasa demi merebut tahta. Masih juga tentang tanggung jawab, dan juga kisah cinta Simba dengan Nala.

Musikal arahan Julie Taymor ini bertahan sepuluh tahun lebih di Broadway karena kemerdekaannya memaknai ulang satwa, serengeti, dan Afrika. Taymor memindahkan luasnya serengeti ke dalam panggung teater (yang tidak begitu luas) cukup dengan menangkap esensinya. Esensi seekor gajah Afrika ditampilkan seperti boneka kerajinan tangan suku Afrika dalam ukuran gajah. Demikian juga para singa, mereka bukan manusia dalam kostum bintang. Topeng singa yang ditaruh di atas kepala pemain sudah cukup menjelaskan esensi bahwa si aktor membawakan karakter Mufasa.

Dan kesederhanaan ini dikemas dengan detail yang remit, mendetail, dan cantik. Taymor, selain menjadi sutradara, juga merangkap sebagai desainer kostum dan boneka. Ia pernah tinggal di Jogja selama satu tahun, kemudian terpikat oleh wayang Jawa yang begitu kuat, bertenaga, dan teatrikal. Julie yang semestinya menyelesaikan observasinya di Indonesia selama setahun, akhirnya pulang ke Amerika empat tahun kemudian. Di Indonesia, Taymor sempat berguru dengan Rendra, dan memperluas wawasannya sampai ke Bali.

Dalam video dokumentasi musikal ini, Taymor mengakui bahwa hiasan bahu Mufasa terinspirasi Bali, sementara kain sarung terpengaruh oleh gaya Jawa. Selama pertunjukan musikal Lion King, inspirasi Indonesia keluar di sana sini, termasuk dalam bentuk wayang kulit.

Lion King Musical-Mufasa & Scar

Reinterpretasi ini masih menampilkan lagu-lagu Elton John dengan lirik gubahan Tim Rice. Warna Afrika juga tidak lepas dari instrumen dan nyanyian garapan Lebo M., yang juga menggarap musik untuk filmnya. Bahkan overture yang biasanya diisi dengan musik orkestra, kini diganti dengan koor lagu rakyat Afrika yang harmoninya penuh tenaga (“One by One”).

Pertunjukan mencapai puncaknya pada “Circle of Life” yang kini dinyanyikan oleh Rafiki, dan “Can You Feel the Love Tonight”. Sejumlah lagu diciptakan khusus untuk musikal, tapi yang terbaik adalah “He Lives In You”. Lagu yang dinyanyikan oleh Rafiki ini adalah titik emosi terkuat dalam The Lion King.

Saya telah menonton film Lion King berulang kali sejak SMP, sehingga sudah hafal kapan emosi harus naik dan kapan harus turun. Dan dalam hal ini, emosi Lion King produksi Singapura terasa berbeda jika tidak mau dibilang lemah. Walaupun pertunjukan ini menghadirkan seniman dari London, Kanada, Afrika Selatan, New Zealand—tetapi kualitas teatrikalnya tidak merata.

Mufasa yang diperankan Jean-Luc Guizzone seperti tidak bisa membawakan wibawa seorang raja. Sementara Simba muda, diperankan oleh aktor cilik Filipina, cuma seperti anak kecil yang disuruh gerak-gerak dan mondar-mandir. Adegan setelah stampede yang semestinya adalah titik terendah bagi emosi penonton, berakhir menjadi datar tanpa emosi. Babak pertama nyaris kacau jika tidak diselamatkan oleh Simba dewasa pada akhir Hakuna Matata. Jonathan Andrew Hume yang berasal dari Lion King produksi Inggris, menghayati betul karakter Simba dan memegang kendali di babak 2, hingga akhirnya musikal Disney itu tamat dengan baik.

Ini adalah event yang sayang untuk dilewatkan. Musikal the Lion King sangat populer di bilangan Broadway, New York—tempat pertunjukan perdananya tahun 1998. Rasanya sayang membiarkan pertunjukan kelas dunia ini lewat begitu saja. Terlepas dari kekurangan aktornya, Anda masih bisa menikmati kualitas vokal pemainnya, set yang mutakhir, dan seni panggung yang luar biasa.

Lion King Musical-Singapura

______

Musikal Disney’s The Lion King pentas di Marina Bay Sands, Singapura selama Maret – Mei 2011. Harga tiket bervariasi, tapi saya menyarankan tiket harga menengah (kelas C, Rp 900rb) yang sedekat mungkin dengan panggung. Tiket bisa dibeli online.

 

The Lion King Musical, Singapura
Tagged on:

13 thoughts on “The Lion King Musical, Singapura

  • Pingback:Teater Musikal - Misc - hermansaksono

  • April 4, 2011 at 6:56 am
    Permalink

    Bersyukur untuk ‘jarak’ Indonesia ke Singapura yang semakin dekat ya.

    Reply
  • April 4, 2011 at 11:16 am
    Permalink

    errrr harga 900rb itu worth it ga? kayaknya kalo cerita kamu di atas ngga deh ya..
    *nunggu yang gratisan aja*
    :D

    Reply
    • April 4, 2011 at 1:51 pm
      Permalink

      Antara ya dan tidak sih, karena dari segi musik dan teater bagus. Tapi dari akting, babak pertama kurang kuat.

      Reply
  • April 4, 2011 at 5:22 pm
    Permalink

    aku dulu (nyaris) nangis sih nonton kartunnya. tapi keknya males banget sengaja2 ke spore cuma nonton ini :))
    nunggu di jakarta aja kalo ada #mlarat

    Reply
  • April 4, 2011 at 5:24 pm
    Permalink

    menarik..
    jd penasaran..
    harusnya jgn setengah2, carilah orang yg pinter akting dlm teater hehe

    CMIIW

    Reply
  • April 4, 2011 at 8:11 pm
    Permalink

    kok aku ndak begitu suka sama beginian ya? kenapa ya?

    Reply
  • April 5, 2011 at 4:00 am
    Permalink

    Rada OOT: Lirik Tim Rice selalu menghidupkan aneka musikal, sejak zaman Jesus Christ Superstar :)

    Reply
  • June 14, 2011 at 11:24 am
    Permalink

    Nice review. makin semangat nonton!

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.