Mari kita definisikan malu.
Malu itu celana melorot pas lagi ngecengi cewek cakep. Malu itu jatuh tersandung pas kita lagi berusaha tampak cool. Malu itu lupa tidak mengancingkan celana sehabis kentjing di toilet umum (syukurlah baru terjadi 3 kali).
Satu lagi, malu itu kalau kita sudah terlanjur sok tahu ke orang-orang kalau upacara detik-detik proklamasi 17 Agustus akan diadakan di monas, padahal ternyata itu baru wacana dan baru akan direalisasikan tahun depan (jika jadi).
Saya terlanjur kelewatan mendemonstrasikan luasnya pengetahuan umum saya ke teman-teman saya kalau upacara detik-detik proklamasi tahun ini akan diadakan di lapangan monas. Cukup nggonduk juga sih setelah liat di TVRI kalau ternyata akan mulai direalisasikan tahun depan.
Terlepas dari saya malu atau tidak, tentunya inisiatif ini akan menjadi sebuah perubahan yang menarik. Selain menjaga agar sang merah putih yang original tidak terlalu sering dipindah dari Monas-istana negara, tentunya akan merubah aura upacara detik-detik proklamasi yang semula tertutup, eksklusif dan istana-centric; menjadi sebuah event publik yang terbuka dan alun-alun-centric.
Tapi pindah ke Monas bukannya tanpa resiko. Selain nyawa presiden dan tamu bisa menjadi taruhan… Diorama Monas di Museum Sejarah Indonesia, juga ternyata mengandung banyak deviasi atas kebenaran sejarah, seperti tidak adanya hari kelahiran Pancasila (diganti hari kesaktian Pancasila) dan hilangnya peran Sukarno, yang jelek atau baik memiliki peran penting dalam sejarah. Jika upacara jadi diadakan di monas, rasanya seperti ada ironi (atau paradox?), karena di satu sisi kita merayakan proklamasi dan di sisi lain tempat kita merayakan proklamasi mengandung pemuntiran sejarah.
Sebenarnya sudah ada desas-desus untuk memperbaiki diorama dan areal Monas. Jadi, kita tunggu 17 Agustus 2006 untuk melihat format baru perayaan proklamasi lepasnya Indonesia dari Belanda.
ke monas, biasanya aku beli sate, tapi waktu masih kecil, bete aja byk bancinya, sekrg kyknya udah ga deh