Ini bermula dari sebuah acara kongkow biasa di angkringan tugu, bersama teman-teman kuliah. Suasana angkringan tugu memang kondusif. Teh manis anget dan kopi joss menambah hangat obrolan soal politik, perhubungan, hingga budaya dan free-speech. Sampai tidak sadar kalau sudah jam 4 pagi.

“Mikir masalah negara ini nggak ada habis-habisnya e, sepertinya Indonesia tidak akan pernah bisa diperbaiki,” ujar teman saya Sidik, yang kini mencari nafkah di sebuah BUMN.

Teman saya yang seorang wiraswasta, Oggy, menanggapi, “Mungkin… karena selama ini kita selalu jadi elang dik.”

Kok elang? Pikir saya.

“Elang selalu di atas, terbang ke sana sini, mengamati dan memetakan masalah. Tetapi, karena masalah yang dipetakan banyak sekali, elang malah bingung bagaimana memperbaiki semua masalah yang saling terkait tadi. Selama ini kita, elang, selalu berusaha mencari ujung masalah. Padahal masalah kita itu ujungnya banyak sekali,” jelas Oggy. “Mungkin, sekarang kita harus menjadi semut, berpijak di bumi dan berusaha membangun. Hasilnya tentu saja tidak besar, tetapi setidaknya kita sudah menyumbang sesuatu.”

“Tetapi gik,” saya menimpali. “Bukankah selama itu di sekolah dan di kampus kita diarahkan untuk melihat masalah dari lingkup makro. Ciri pola pikir akademik bukankah seperti itu? Apa menjadi elang itu salah?”

Semuanya diam.

Tiba-tiba Dina yang sekarang jadi dosen nyeletuk, “Memang gitu mon, ketika mengidentifikasi masalah kita harus jadi elang. Melihat segala sesuatu secara sistemik, menyeluruh. Tetapi ketika akan memperbaiki masalah kita harus mendarat, memijak bumi dan memperbaiki satu masalah demi masalah secara terkoordinir. Menjadi semut.”

Semua masih diam, tetapi kali ini manggut-manggut setuju.

Elang dan Semut
Tagged on:

21 thoughts on “Elang dan Semut

  • April 12, 2007 at 2:42 pm
    Permalink

    Dialog yg bermanfaat :)

    Btw, tanggal tulisan dibuat kok 4 Dec 2007 ya?

    Reply
  • April 12, 2007 at 3:06 pm
    Permalink

    waduh, temannya bijaksana sekali :)

    Reply
  • April 12, 2007 at 3:50 pm
    Permalink

    woh, gini toh obrolan orang dewasa
    *manggut-manggut*

    Reply
  • April 12, 2007 at 4:00 pm
    Permalink

    angkringan tugu sekarang rame sekali bung! kondusif dlm konteks gimana? hehehe..tapi kalo dateng kesana dengan banyak teman yang semua bersemangat memang sih seru..
    kangen kopi jos.

    Reply
  • April 12, 2007 at 4:13 pm
    Permalink

    hiks..
    padahal aku ikutan waktu itu..
    tapi ndak disebutkan sama sekali..

    *sedih di pojokan, nyobek nyobek kertas..*

    Reply
  • April 12, 2007 at 5:59 pm
    Permalink

    @dean: loh, siapa bilang rame?

    SEPI!!

    *liat arloji, ah baru jam 2 lewat..*

    Reply
  • April 12, 2007 at 6:31 pm
    Permalink

    Tapi sesuai dengan rantai makanannya elang terbiasa memangsa yang kecil (emang dari sononya sih). Tapi klo di lihat indonesia bener-bener banyak orang yg kuat mangsa yg lemah, pemerintah memangsa rakyat. Haduh pusing mikirin negara miskin ini, tapi banyak orang kaya raya :-(

    Reply
  • April 12, 2007 at 6:51 pm
    Permalink

    hmm.. kalian hebat, masih ada waktu untuk memikirkan negeri yang bener kata sidik: gak ada abis-abisnye. salut!

    orang indo (pajabatnya) bukan menjadi elang, tapi burung nazar yang rakus, melahap semua “bangkai”. termasuk tak segan menungguin mangsa yang masih hidup.

    (ilustrasi ini aku dapat dari sebuah foto yang menang pulitzer(kl gak salah)

    Reply
    • January 15, 2015 at 4:04 pm
      Permalink

      I am forever indebted to you for this inimaortfon.

      Reply
  • April 12, 2007 at 9:39 pm
    Permalink

    *ikut manggut manggut*

    Reply
  • April 13, 2007 at 4:38 am
    Permalink

    manggut2x jetlag…..

    Reply
  • April 14, 2007 at 11:11 am
    Permalink

    ooo…oggik itu temenmu? hebat, euy :D

    Reply
  • April 15, 2007 at 10:42 pm
    Permalink

    angkringan tugu tuh dimana seeh?
    Disitu omongannya pada kayak gini?

    Reply
  • April 16, 2007 at 3:12 pm
    Permalink

    mengguGah hatii,,
    semoGa para peLayan masyaRakat bisa meneraPkan priNsip ini,,
    biSa sii..taPi mau gakh ??

    Reply
  • April 16, 2007 at 4:16 pm
    Permalink

    Elang itu mewakili kebijakan sedangkan semut itu mewakili bekerja. Jadi tidak ada yang salah dengan analogi elang dan semut.

    Untuk membuat sebuah kebijakan, diperlukan pandangan yang luas. Karena masalah disatu tempat belum tentu sama ditempat yang lain.

    Sedangkan untuk menjalankan kebijakan tersebut perlu dijabarkan lebih detail biasanya disebut dengan juklak (petunjuk pelaksanaan).

    Reply
  • April 19, 2007 at 10:08 am
    Permalink

    jadi ‘bangkai’ sepertinya lebih adil. dikerubungi semut sekaligus dicabik elang.

    angkringannya lek man bukan sih, mas? sekarang rame banget, ndak kondusip lagi buat nggedebus..

    Reply
  • April 19, 2007 at 5:06 pm
    Permalink

    semoga untuk masalah bangsa yang sekarang, setiap orang biarkan menjadi elang sebentar. Lalu semua turun ke tanah, menjadi semut.

    *mas herman, salam kenal, saya trekbek tulisannya yah? hihihihi

    Reply
  • April 19, 2007 at 5:16 pm
    Permalink

    Saya persilahkan kalau mau ditrackback. :D Terima kasih

    Salama kenal juga! Walaupauns aya sudah lama kenal anda lewat blog :D

    Reply
  • Pingback:Menyisipkan Tika Diantara Elang dan Semut - Life - hermansaksono

  • June 19, 2013 at 5:25 pm
    Permalink

    Tremendous things here. I am very glad to see your post. Thanks so much and I am looking forward to contact you. Will you please drop me a e-mail?

    Reply
  • July 15, 2013 at 3:10 pm
    Permalink

    Excellent post. I was checking constantly this weblog and I’m impressed! Extremely helpful information specifically the final part :) I take care of such information a lot. I used to be looking for this certain information for a very long time. Thanks and best of luck.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.