Apa sebetulnya maksud pidato Taufik Ismail tentang Gerakan Syahwat Merdeka?

Pidato ini berisi 37 paragraf tentang keluh-kesah Pak Ismail yang memojokkan esensi kemerdekaan pribadi. Paragraf-paragraf yang tidak konstruktif dan terasa hanya untuk kepuasan diri. Seperti onani saja. Heheheh.

Saya jadi ingat pelajaran sewaktu SD kalau kemerdekaan lahir dari semangat sebangsa dan setanah air. Persatuan ini membuahkan Republik Indonesia yang bebas dari penjajahan politik. Yang sering dilupakan, rasa persatuan pada waktu itu juga disertai kesadaran para pendiri negara bahwa kita ini tidak homogen, tapi terdiri dari agama, suku, dan kelompok yang sangat beragam. Dan kebhinekaan ini masih ada sampai saat ini.

Saya rasa itu alasan kenapa pendiri negara ini memilih demokrasi, bukan format negara yang lain, karena demokrasi menjunjung personal freedom, alias kemerdekaan pribadi. Personal freedom melindungi keberagaman kita.

Pidato Pak Ismail meragukan esensi keberagaman ini dengan menghakimi berbagai hal yang masuk ranah pribadi. Lebih parah lagi, beliau juga mencampur isu pribadi dengan kejahatan tangible, seperti aborsi dan penggunaan narkoba. Taktik semacam ini membuat sesuatu yang belum tentu salah, menjadi salah.

Sayang sekali kalau sosok sekaliber beliau menggunakan metode yang tidak santun untuk mengkritisi masyarakat. Para pendukung pidato ini sepantasnya kecewa karena ketidak-santunan ini berbuntut mentidak-efektifkan ajakan beliau.

Mohon maaf Pak Ismail, saya rasa menunjukkan flaw pada tiap baris di pidato tersebut bukanlah sebuah pekerjaan yang susah.

Masalahnya, nggak ada yang mau ngganggu orang onani.

Addendum: Link ke liputan kejadian ini di Republika. Mohon maaf karena saya lupa mencantumkan link tersebut, sehingga membuat beberapa teman bingung.
Gerakan Syahwat Merdeka
Tagged on:     

31 thoughts on “Gerakan Syahwat Merdeka

  • January 19, 2007 at 1:05 am
    Permalink

    taufik ismail == pramoedya wannabe ??

    sayang dia salah blok :p

    Reply
  • January 19, 2007 at 6:03 am
    Permalink

    *ngangguin momon onani ahh*

    Reply
  • January 19, 2007 at 7:25 am
    Permalink

    demokrasi kadang bukan solusi yang baik. Malahan jadinya bisa menimbulkan ego yang besar.

    Reply
  • January 19, 2007 at 8:05 am
    Permalink

    Mico, bisa dijelaskan kenapa demokrasi bisa menimbulkan ego yang besar? Dan, apakah ego yang besar itu salah ;)

    Starchie: Salah blok gimana chie?

    Reply
  • January 19, 2007 at 8:54 am
    Permalink

    simpel aja, emang tuhan ada? kalo terbukti ada mungkin kata2 opa taufik bener. tapi mungkin juga tuhan nggak mikirin masalah gini. trus, kalo emang mikirin, manusia kan berhak nggak mikirin.

    ah capek mikirin simbah2 senewen

    starchie: salah blok? maksute kenapa nggak di blok kiri kayak alm. pram? yah starchie, equilibrum needed lah

    Reply
  • January 19, 2007 at 9:15 am
    Permalink

    jah boeng, koweorang maimang tijada perna terpoewasken olih sasoewatoe jang soedah ada di sakitar poen. Tjuman, melakoekan tindak tjemar tangan ataoe onanih djangan sering2, bisa tjopot koweorang poenja awroth.

    Reply
  • January 19, 2007 at 10:09 am
    Permalink

    mon, posting yang beginian yang tak membuatku kapok ke sini. jadi, rasah minder biarpun kau tak pasang shoutbox … :P

    Reply
  • January 19, 2007 at 10:39 am
    Permalink

    link yang kamu kasi itu mon, itu apa bukan udah kecampuran ama tulisan pribadi si empunya blog?

    Reply
  • January 19, 2007 at 12:45 pm
    Permalink

    Mon, siapapun tokoh besar ada kalanya terselip di sebuah jalan licin. Alasannya bisa macamĀ², capek, ada masalah, dsb-nya :D

    Reply
  • January 19, 2007 at 1:29 pm
    Permalink

    A:Bangsa Indonesia lebih demokrat dan lebih bebas dalam berekspresi.
    B:Fakta-fakta yang diajukan berupa hasil penelitian dan lain2 terbukti kebenarannya.

    kalau A (benar), B (benar), Jika A maka B (benar)

    pertanyaannya
    A benar gak?
    B benar gak?
    trus A dan B punya hubungan sebab dan akibat gak?

    after all, is’nt free expression a vehicle and not a purpose?

    Reply
  • January 19, 2007 at 1:31 pm
    Permalink

    kalo kemerdekaan pribadiku ternyata membuat ketidaknyamanan padamu gimana mon? apa iya selamanya kamu menerima? tidakkah akan menjadi suatu ledakan yang teramat eksplosif? suatu saat ntar?

    Reply
  • January 19, 2007 at 4:08 pm
    Permalink

    Jangan-jangan persepsimu tentang kebebasan pribadi itu salah dik?

    Jika definisi kebebasan pribadi Sidik itu… menawari aku gaya hidup MLM tiap hari (misalnya)… itu bukan lagi kebebasan pribadi kan?

    Reply
  • January 19, 2007 at 6:48 pm
    Permalink

    herman : Yah contohnya dinegara kita ini, yang besar monya menang sendiri ;-D.

    Tapi gak tau apanya yang “besar” yah..??

    Reply
  • January 19, 2007 at 7:14 pm
    Permalink

    Justru itu mas Mico, demokrasi itu seharusnya memungkinkan kendali atas kekuatan besar. Para wakil rakyat di DPR itu kan yang milih rakyat bukan? :) Seharusnya mereka bekerja mewakili konstituen mereka, para pemilih.

    Yang terjadi di Indonesia, para wakil diharapkan memiliki hati mulia, sementara rakyat cenderung berdiam diri mengharapkan para wakilnya melakukan yang terbaik.

    Menurut saya ini kok salah ya. Seharusnya para wakil ini mewakili kehendak konstituennya, dan bermusyawarah dengan wakil-wakil yang lain untuk menentukan arah kebijakan negara. Jika para wakil ini tidak bekerja sesuai harapan, tahun depan jangan dipilih lagi dong. :)

    Lucunya, saat pemilu, sebagian dari masyarakat cenderung melupakan histori perilaku para wakil, dan dengan mata dibutakan, mereka sembarang mencoblos partai. Otomatis, para wakil tadi tidak pernah merasa khawatir kalau pemilu depan mereka tidak terpilih lagi.

    Ada satu proses kontrol yang hilang, yaitu semasa pemilu :) Kita perlu memeperbaiki itu.

    Reply
  • January 19, 2007 at 7:54 pm
    Permalink

    Pertama aku baca tulisan di REPUBLIKA itu (dan sampe sekarang) aku setuju ama beliau tu Mon.

    Pendapat beliau itu meski terlihat “radikal kanan” tapi ada benarnya, dan dia memang sedang mengekspresikan kebebasan pribadinya dengan onani dengan cara dia.

    aku setuju ama victor : equilibrium needed.

    Taufik Ismail sedang kepepet nafsu mengungkapkan pendapat karena beliau frustasi memandang negara ini dari sudut kamar beliau.

    Bicara soal sastra … memang kebebasan ekspresi yang tidak disertai dengan nilai-nilai dalam sastra modern sekarang terlalu dominan. Bukan jelek. Tapi butuh penyeimbangan.

    Sayangnya Taufik Ismail itu penyair, bukan penulis sekaliber Pram (Pramono?) yang bisa menulis sesuatu yang menggerakkan. Jadi beliau bisanya ya “nggresula”.

    Dan industri tidak berpihak kepada nilai … kalo’ ada orang yang bisa mengemas nilai-nilai itu sehingga nilai-nilai itu menjual, maka barulah ada equilibrium.

    But afterall .. nice posting Mon :) you always make me step down the mountain (javanese english bangget)

    Reply
  • January 20, 2007 at 12:26 am
    Permalink

    @herman; tuh dijawab sama victor

    @victor; iyah hehehe bingung kali kalau kiri sekarang udah pasaran jadi ultra kanan saja … huahahaha

    Reply
  • January 20, 2007 at 12:37 am
    Permalink

    wah, byk jg yg nganalisa yaks…..

    Reply
  • January 20, 2007 at 10:43 am
    Permalink

    Arka: Makasih :) Aku juga cuma jadi equilibrum bagi Taufik Ismail kok. :)

    Ndoro Kakung Pecas Ndahe ini sakjane muji apa ngenyek aku sih? :D

    Reply
  • January 21, 2007 at 1:28 pm
    Permalink

    Baca comment2nya jadi terasa, beginilah kebebasan berpendapat itu. Masalahnya yang begini ini, mangsutnya orang2 yang bisa comment seperti ini cuman sebagian kecil masyarakat Indo, mayortiasnya bahkan gak ngerti apa itu www. Itu sbenernya yg menjelaskan knapa kebebasan berpendapat bisa menjadi sangat berbahaya, karena rakyat Indo mayoritas (maaf) kurang wawasan, sehingga picik. Akibat langsung kepicikan adalah mudah terpengaruh. Kapan Indo akan bebas dari kepicikan ini? Jawabannya ada pada anggaran pendidikan dalam RAPBN. Gimana rakyat mau berwawasan luas kalau gaji guru sangat rendah, otomatis orang yang mau jadi guru ya hanya (maaf lagi) orang2 desa dengan wawasan sempit. Dengan guru2 yang (lagi-lagi maaf) ndeso, bagaimana anak2 kita akan berwawasan luas dan tidak mudah terpengaruh?

    Eh relevan ga sih comment-ku?

    Reply
  • January 22, 2007 at 9:25 am
    Permalink

    @memeh

    anda bebas kok buat ngomong apa aja, jadi kenapa mesti pusing dengan relevansi ? huahaha :p

    Reply
  • January 22, 2007 at 12:05 pm
    Permalink

    setuju sama memeh, demokrasi akan berjalan dengan baik jika orang-orangnya well educated..
    jangankan guru2nya, guru2nya calon guru pun perlu dipertanyakan kualitasnya *piss hehe..

    Reply
  • January 22, 2007 at 1:51 pm
    Permalink

    Saya mahasiswa teknik elektro yang ingin jadi guru …

    Reply
  • January 22, 2007 at 9:37 pm
    Permalink

    duh, momon, so glad you choose to function as an equilizer to TA’s orasi budaya.

    secara pribadi sih,lewat satu penugasan, aku bisa menilai dan sampai ke kesimpulan untuk tak menganggap serius orasi-orasi TA.

    terus, yang ini sempat baca di sebuah milis, and i guess bisa jadi penyeimbang juga. bahwa sekarang tuh, kita juga lagi dilanda gelombang lain, gerakan tuhan merdeka.

    kan ada tuh perintah yang ‘thy must not mention god’s name in vain'(? kalo nggak salah…) tapi kayaknya malah itu yang terjadi sekarang deh. bahwa kita seriiiiiing banget ngobral nama tuhan di produk-produk budaya. and for what? menurutku sih, produk budaya pop yang ngumbar nama tuhan itu juga cuman buat nyari keuntungan aja akhirnya. jatuh-jatuhnya merebut hati konsumen.

    so, aku nggak ngerti bedanya, how can you overlook pengobralan tuhan dibanding pengobralan pornografi (yang lewat orasinya taufik sih, rada dicampur-campur pendefinisiannya…). cause for me, it’s actually two sides of the same coin.

    *rant mode off*

    Reply
  • January 24, 2007 at 1:37 pm
    Permalink

    Saya bisa mengerti keprihatinan beliau atas maraknya pornografi, dan saya setuju kalau seharusnya ada hukum yang mengatur dan melindungi anak2 dari pengaruh pornografi.

    Tapi saya juga merasa lucu dengan tulisan beliau. Kayaknya beliau itu nggak bisa membedakan antara pornografi dan seksualitas. Lebih lucunya lagi, beliau bisa berkoar2 menentang eksploitasi kaum hawa akibat pornografi. But a few paragraphs later… malah “muak” sama kaum feminis yang memperjuangkan kesetaraan wanita dengan pria.

    Belum lagi cuap2 masalah “congkak luar biasa”. If those who want control over their bodies are considered arrogant… then what should we call self-righteous moral absolutists like him? “Arrogant” seems to be an understatement, to say the least.

    Reply
  • March 5, 2007 at 12:53 pm
    Permalink

    Pak Taufik khawatir dengan akibatnya. Di negeri lain yang mengaku pakar kebebasan HAM hal-hal seperti ini diatur sedangkan di Indonesia tidak sehingga dikhawatirkan bisa menyebabkan kerusakan. Tentu orang-orang yang tidak atau belum punya anak atau tidak peduli pada anaknya sendiri akan mencela pidato Pak Taufik karena mereka hanya mencintai dirinya sendiri.

    Reply
  • March 5, 2007 at 4:03 pm
    Permalink

    Mas Kaldu Ayam,

    krisbiantoro rahmatkartolo
    Maksud Lo?

    gw punya bini, punya anak, dan jangan coba2 lo bilang gw kagak sayang anak-bini gw. tapi hak gw dong buat nggak setuju ama TA. etdah…. ada2 aja pikiran ente

    Reply
  • July 3, 2007 at 2:00 pm
    Permalink

    Niat baik melindungi anak-anak…eh malah dikomentari negatif sama ahli mesum

    emang kalo otak udah kotor semua yang baik juga dipandang “kotor”

    Reply
  • July 3, 2007 at 2:10 pm
    Permalink

    Niat baik, kalau hasilnya buruk, ya sama saja.

    Makanya… sebelum berbuat, dengan niat sebaik apapun, dipikir dulu akibatnya.

    Reply
  • July 15, 2007 at 1:47 pm
    Permalink

    Wah, cukup panas juga diskusi disini. Di sisi lainm aku setuju dengan pendapat Pak Taufik. fakta2 yang diuraikan beliau, itu memang sudah membawa Indonesia ke jurang permisif yaitu mengkapitalisasikan selangkangan. Kita hharusnya segera paham, bahwa Kapitalis itu ialah menangguk keuntungan sebanyak2nya dan berusaha untuk mengrem pengeluaran sekecil2nya. Itu prinsip kapitalisme zaman modern yang harus segera kita sadari bahwa itulah yang membawa Indonesia ke jurang kehancuran. Eh, Indonesia sudah ketinggalan kereta api Postmodernisme lo? Sekarang ya tinggal kita memilih. Bagi yang mau terus berkecimpung dengan kapitalisme kelamin ya silahkan, mau mengkapitalisasikan nama Tuhan (ESQ) ya silahkan juga…. Namun, harus diingat, segala konsekuensi dan akibatnya tanggung sendiri. Jangan bawa2 orang lain. Sama aja dengan: “kalau mau mati, ya mati aja jangan bawa2 gua.” hahahahahha

    Reply
  • August 14, 2007 at 7:24 pm
    Permalink

    demokrasi itu seharusnya memungkinkan kendali atas kekuatan besar. Para wakil rakyat di DPR itu kan yang milih rakyat bukan? Seharusnya mereka bekerja mewakili konstituen mereka, para pemilih.

    Ya, saya kira satu lagi niat baik tapi hasil buruk. Jadinya sama saja :)

    Anyway, demokrasi saat ini kurang tepat dilaksanakan karena masyarakat kita belum tercerahkan. Masih banyak yang bisa dibeli suaranya dengan membelanjakan uang dalam jumlah besar secara tepat. Bahkan di Amerika sekalipun.

    Demokrasi jadi mencelakakan karena brand yang baik, padahal justru membuka jalan kepada para fasis untuk berkuasa. Mengecoh, because the devil is in the details.

    Saya setuju dengan Neo / Ryo Saeba bahwa pada saat ini kita memerlukan white dictator.

    Eh maaf jadi OOT dengan topik posting ini.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.