Pria bule yang sedang disidak polisi syariat Aceh itu namanya Bryan. Dia tidak meniduri pelacur, atau madat dengan obat-obatan terlarang di Serambi Mekah. Ia hanya berada di Aceh untuk melihat berbagai situs bersejarah di sana.
Namun sekitar pukul 3 pagi, ketika Bryan sedang terlelap, pintu hotelnya di Banda Aceh dibuka dari luar. Tanpa pemberitahuan, tanpa permisi, dan tanpa adab polisi-polisi syariat langsung menerobos masuk begitu saja. Dan setelah menginspeksi sejenak, gerombolan itu keluar dari kamar hotel.
Bryan yang setengah terbangun akibat disidak polisi syariah langsung keluar kamar kamar, dan mendapati puluhan orang di lobby. Menurut mahasiswa S3 Sejarah Islam Harvard itu ada wartawan, polisi, hingga pejabat di sana.
“Apa ini, kenapa kamar saya digedor? Saya baru pertama kali ke Aceh. Apa salah saya? Apakah ini budaya Aceh menyambut tamu?” teriak Bryan di antara kerumunan orang itu.
Wakil walikota Banda Aceh, Hj. Illiza Saaduddin Djamal yang mengikuti sidak itu langsung turun tangan dan minta maaf.
Apa gerangan yang dilakukan pejabat seperti Bu Hj. Illiza tengah malam di hotel di antara wartawan dan sidak syariat tentu akan menjadi kajian yang menarik.
Yang jelas, usaha pemkot menjadikan Aceh tujuan wisata (dengan mencanangkan Visit Banda Aceh Year 2011) nampaknya akan sia-sia kalau hanya melihat turis sebagai kantong uang, tanpa adanya niat untuk lebih toleran terhadap perbedaan.
“Saya mengunjungi Aceh dengan pikiran terbuka dan niat untuk memahami budayanya, tapi di malam pertama, kamar saya malah diserang,” ujar Bryan melalui SMS.
loh kok tiba-tiba di gerebek sih? kasian kan gak salah..
kok sepi nih komen nya
Wah.. syariat ya syariat tapi kan hukum juga ada aturanya. niat promo wisata malah bikin takut tamu gimana tih ini?
Yakin seperti itu kejadiannya, Mon?
WH di Aceh sudah kurang hidup, jadi mencuatkan isu syariat, tidak begitu diacuhkan masyarakat lagi. Penggerebakan kini menjadi urusan (atau didominasi oleh) Satpol PP (selain karena di bawah satu dinas, juga karena Satpol PP tidak lebih menarik kritikan dibanding dengan WH yang jika tertulis namanya saja, pasti akan membuat Aceh dilirik benar, dengan imej negatif tentunya).
Penggerebekan (tepatnya itu razia) di kawasan hotel Peunayong, kawasan jantung Banda Aceh, razia jelang ramadhan, termasuk miras dan pelacuran, serta zina. Menarik wisatawan ke Aceh, tentu tidak serta-merta melonggarkan aturan khas suatu daerah. Meski di Aceh sendiri masih ada perdebatan soal syariat, tapi hukum-hukum daerah dalam bentuk qanun adalah aturan juga. Turis tentu tak termasuk makhluk kebal hukum, tak kena hukum menurut syariat di sini, kena hukum negara. Kata kawanku -kebetulan saat ini aku di Banda Aceh- razia begitu juga ada unsur POM dan Provost. Isu syariat di sini, termasuk di postingan ini, dan di media, tidak sesensitif dikira, kalau bukan malah dibesarkan dan dialihkan ke sana.
Aku tidak di posisi membela syariat. Tapi tidak juga langsung negatif dengan kehadiran WH dan kata “syariat” jika ada di media seperti kabar ini. Syariat di sini sebenarnya lebih bermakna aturan, persis perda daerah yang berlaku di propinsi mana pun. Digodok menurut undang-undang dengan parlemen yang -suka tidak suka- adalah utusan masyarakat yang datang dari candu-candu berbentuk kotak pemilu. Tanpa aturan nasional, tanpa ada legitimasi dari nasional untuk asas legal hadirnya perda (di aceh disebut qanun) maka aturan daerah juga tak akan ada.
Bahwa sikap arogan yang dipertunjukkan dalam razia (disebut penggerebakan oleh media) itu, kita sama tak setuju. Tapi untuk menolerir perbedaan (cuma karena turis) lalu memberi imunitas dan melumpuhkan aturan di suatu daerah, kurasa itu sulit juga untuk diterima, mengingat justru turis dan non-muslim di Aceh paling istimewa, paling jarang diperiksa. Apakah karena turis lalu mereka lepas dari segala razia yang mungkin, baik menurut aturan daerah berbasis agama atau kah menurut aturan hukum? Kurasa kita tidak mau juga begitu bermental inlander jaman kompeni yang mengistimewakan seorang bule.
*just my cepek*
Tambahan:
Dengan kata lain, apa yang terjadi di Aceh sama seperti kelatahan di berbagai daerah lain menjelang ramadhan. Tak ada kaitan dengan isu syariat, selain karena “kebetulan” syariat Islam disematkan ke Aceh (kalau bukan malah disodorkan oleh politisi-politisi nasional yang dengan idiotnya mencoba mengesankan konflik di Aceh adalah masalah agama dan selesai dengan isu agama, dulunya, bukan masalah ekonomi dan sospol).
Jadi itu semacam operasi trantib yang juga kita tahu ditunjukkan dengan latah juga di Jakarta dan kota-kota lain. Bahwa ada kritikan berkenaan dengan “pariwisata”, semestinya memang menjadi introspeksi bagi pemda Aceh, terutama pemkot kota Banda Aceh, tapi untuk membuat ini terkesan Aceh alergi dengan turis dan bule, karena syariat, berita itu sedang bermain dengan isu yang bodoh. Di pantai Lampu Uk, Banda Aceh, turis pun boleh berbikini, dan mereka juga boleh menyimpan minuman keras untuk konsumsi pribadi. Silakan ditanya pada sesiapa kenalan yang ada di Banda Aceh lainnya. Istimewa sekali. Di daerah dimana wanita muslim diserukan menutup aurat, mereka diizinkan melepas aurat. Sebuah kelonggaran tersendiri, Mon, yang aku tak akan dapatkan sebagai orang Aceh di sini.
Jadi… ya begitulah. Kasus ini benar sama seperti ragam aksi bodoh petugas negara, petugas pemda seperti di Jakarta, Medan dan lain kota, yang kadang-kadang otaknya lebih kecil dari ototnya, tidak ada sangkut-paut dengan isu agama seperti syariat. Khas aparat, apakah itu berseragam Satpol PP, WH, Polisi atau TNI.
BTW, tambah satu lagi deh: sepertinya masih ada asumsi keliru bahwa Aceh itu (cuma) Banda Aceh. Aceh itu luas. Jadi kalimat,
agak terlalu meluaskan Banda Aceh menjadi Aceh keseluruhan. Visit Banda Aceh Year 2011 itu tahun wisata di kota Banda Aceh, bukan Aceh sebagai propinsi. Jika dimaksudkan bahwa dengan kejadian di Banda Aceh, maka propinsi Aceh mesti bercermin, bisa disetujui. Tapi bahwa Banda Aceh itu Aceh keseluruhan, sama seperti menyebut bahwa Surabaya itu Jawa Timur (bukan cuma ibukota, tapi propinsi dan penduduk Jawa Timur keseluruhan). Bisa dibayangkan dong kalau dituliskan Cara Jawa Menyambut Tamu dengan berbasis kejadian di Jogja atau di Semarang, misalnya. Menggiring ke asumsi yang keliru.
*ini komen hitung2 hetriks, Mon* :D
Alex, faktanya memang terjadi razia, dan dilakukan tanpa adab. Terlepas yang melakukan WH atau Satpol PP, ini adalah tindakan resmi pemerintah.
Soal aturan, itu pilihan masyarakat Aceh. Tapi aturan dan penegakan yang seperti ini membuat orang luar ragu-ragu untuk berwisata ke Aceh.
Permasalahannya: kasus kejadian ini di Banda Aceh. Dan beritanya dipelintir menjadi ACEH. Aceh itu luas. Mon. Kalau satu kasus kekerasan di Cikini, misalnya, lalu aku bilang Jakarta secara keseluruhan, itu generalisasi. Dan itu sama seperti yang kau dan berita ini lakukan. Memang kasus itu kesalahan, tapi itu kesalahan pemkot Banda Aceh. Masa kau menyalahakan kebijakan satu pemkot untuk seluruh propinsi? Kukira itu tak adil juga.
Jadi kalau judulnya kuganti Banda Aceh, case closed?
Dari semua daerah di dunia, aku ga pernah dan ga mau membayangkan wisata ke timur tengah..
Dari semua daerah di indonesia, aku gak bisa membayangkan kalau aku harus berwisata ke Aceh :)
Apapun penjelasan dan sanggahannya, bukti kasat mata adalah ia digedor di ruang privasinya. Dan itu pelanggaran privasi :)
Itu sudah! :)
Razia seperti ini memang menurut aku tak beradab. Melanggar privacy seseorang, baik warga Indonesia ataupun turis.
SUDAH TERBUKTI…TURIS2 DARIMANAPUN TIDAK PERLU MENGINJAKKAN KAKI DI ACEH….PERCUMA BAYAR MAHAL2 MENDAPAT PERLAKUAN BIADAB….
Yah..salah klik..nongolnya di replyan- si DV dooohh
hrusnya tdak prlulha di grebek, malah pake dtang aparat lgi…. kn ad pihak hotelnya, ketok pintu baek2, gledah kmarnya dngan prmisi kn bsa, klu turisnya ndak ngijinkan bru prlu di curigai…
Sungguh tak adil jika Aceh hanya dinilai dari sebuah peristiwa ini (inipun kronologisnya hanya dari sebelah pihak saja). Meminjam sebuah pribahasa : Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Menyedihkan.
Itu yang kukeluhkan selama ini. Aceh itu luas soalnya. Banda Aceh itu cuma Depok, kalau di Jakarta. Dan syariatisasi kebablasan di Aceh itu pun tak merata. Beberapa daerah tak peduli dengan hal itu. Terutama daerah yang lebih toleran dan berbatasan dengan propinsi lain.
Asal tak ada barang yang disita, ‘kan? :D
Tapi hal begitu bisa membuat luka kecil di hati… :(
betulkah seperti itu? sepertinya berita diatas belum lengkap semua deh, yg ditulis diatas hanya adegan penggerebekan turis, dan si turis ga terima, tp tdk ditulis penjelasan aparat atau walikotanya, kadang2 suatu berita kalau ditulis dengan sumber yg belum jelas suka menimbulkan asumsi yg bias, sy kira pemprop aceh takmungkin sebodoh itu, apalagi qanun itu berlandaskan agama. salam kenal buat semua
Beritanya memang seperti itu kok :) Berita lebih lengkap hanya plintiran untuk memperbaiki citra pemerintah Aceh.
Kau sendiri seberapa yakin berita ini bukan pelintiran, Mon? Sudah cross-check saat itu ke orang-orang yang memang ada di Banda Aceh? :D
Yakin dong. Aku kenal bule yang kamarnya digrebek.
sok tau ini yang nulis, orang aceh bukan, siapapun untuk aceh bukan, main coak-coak aja… dasar mulut bauk