Pukul 21 di Dakota Jazz Club, Minnesota. Puluhan aktivis progresif berkumpul blek di situ. Bukan untuk konferensi Netroots Nation. Mereka karaoke. Melantunkan lagu rap hingga boyband, baik dengan irama medu maupun fals.
Tradisi karaoke Netroots Nation berawal sejak konferensi ke-4 mereka di Pittsburgh tahun 2009, jelas Markos Moulitsas, pendiri situs politik DailyKos. Awalnya beberapa peserta cuma iseng karaoke di kota sepi itu. Pemilik kedai karaoke yang awalnya heran mengapa banyak orang asing, akhirnya menantang untuk mengadakan pesta karaoke.
Kelompok kecil itu akhirnya menyiapkan pesta karaoke Netroots dengan memakai email dan brosur sebagai media promosinya. Pesta karaoke itu akhirnya dihadiri puluhan orang, menyesaki kedai karaoke kecil itu, dan tradisi karaoke Netroots Nation dimulai.
“Inilah hebatnya social media,” ujar Markos yang juga inisiator konferensi Netroots Nation ketika berbincang-bincang dengan saya. Markos mengatakan, dengan adanya social media, kesuksesan kegiatan tidak lagi harus mengandalkan tokoh sentral, cukup digarap oleh kelompok-kelompok kecil yang ulet saja.
Konferensi Netroots Nation adalah tentang memberdayakan suara akar rumput di Internet, bagaimana menggunakan social media dan blog untuk membuat perubahan. Sejumlah sesi konferensi sangat terkait dengan isu terkini AS, seperti gaji guru, hak pekerja, dan pemilu; tapi banyak juga sesi teknis seperti cara menulis blog yang mengena dan teknik berbicara di depan kamera andaikata diwawancara televisi.
Netroots Nation merupakan konferensi kelompok progresif (istilah yang lebih halus untuk “liberal”). Pesertanya memiliki agenda-agenda progresif dan menggunakan partai Demokrat AS sebagai kendaraannya.
Maka tidak heran jika pada sesi bincang-bincang dengan direktur komunikasi Gedung Putih, Dan Pfeifer, para hadirin memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan uneg-uneg dan kekecewaan terhadap Obama. Selain mendiskusikan isu domestik seperti gaji guru dan pernikahan gay/lesbian; beberapa juga mengkritisi Obama yang tak kunjung menarik pasukan dari Afganistan (ketika blog ini ditulis sudah ditarik) dan juga keterlibatan AS di Libya.
Ada satu pertanyaan yang agak “konyol”. Seorang hadirin yang nampak frustasi akbiat seringnya kebijakan Obama digagalkan DPR AS (yang dikuasai partai oposisi) menanyakan “Apakah tidak mungkin Presiden bergerak tanpa DPR?”
Aaron Connely yang menanggapi livetwit saya, mengatakan kalau sentimen Anti-Obama di Netroots Nation memang cenderung tribal.
Akan tetapi menghadiri konferensi ini membuka sebuah wawasan baru tentang AS. Kebanyakan peserta memang mendukung marriage equality (pernikahan gay/lesbian) dan pro-choice (pro pilihan untuk aborsi); namun mereka juga prihatin terhadap diskriminasi terhadap kaum muslim di Amerika Serikat. Bahkan ketika dua orang wanita muslim berjilbab diganggu oleh pria bule, para aktivis itu turun tangan dan membela kedua wanita itu.
(Kejadian itu mungkin akan saya ceritakan pada posting terpisah.)
Sungguh menyenangkan jika Indonesia memiliki konferensi seperti ini, di mana gagasan-gagasan politik untuk kebaikan masyarakat disuarakan dengan lantang dan berani; serta kesadaran bahwa partai politik bukan mesin uang politikus, melainkan kendaraan untuk mencapai tujuan kita.
Kemeriahan seperti ini mungkin mengandung biaya yang harus dibayar mahal, yaitu perbedaan yang terlampau kontras hingga menjurus ke perpecahan. Pada saat Netroots Nations 2011 diadakan, kelompok konservatif ikut mengadakan konferensi aktivis online, Right Online, di hotel Hyatt yang cuma sepelemparan batu dari lokasi Netroots Nation.
Kelihatannya seru dan menarik.
Ternyata yang namanya karaokean itu di mana-mana sama aja
hahaha
Nunggu cerita selanjutnya yg lebih seru.
Menarik ya suasananya….. sepertinya lunas sudah mereka yang meminta kamu untuk datang ke sana Mon; menggambarkan bagaimana demokrasinya harusnya diimplementasikan…