Suatu saat, setiap orang berkemungkinan sampai ke titik asketis(isme), toh badan cuma satu, kaki cuma dua. Tapi kalau semua orang menjalani “laku”, dan semua benda cuma dilihat dari aspek fungsional, maka kebudayaan menjadi kurang ragam dan corak. Begitu, kurang lebih, wejangan dari Mas Paman yang bijak itu.
Apa kata Paman budayawan itu ada benarnya: keserakahan terhadap keindahan membuat bangsa ada dan diingat. Jika keluarga Medici dari Florensia yang kaya raya tidak pernah mengongkosi Michaelangelo, maka generasi 500 tahun kemudian tidak bisa mengagumi keagungan patung David yang mengesankan itu. Jika Rakai Pikatan tidak mempedulikan estetika ketika Prambanan diberdirikan, mungkinkah kita salah mengira kuil dari kebudayaan kerajaan Hindu itu cuma sekadar bongkahan-bongkahan batu?
Pakaian sendiri adalah anak kebudayaan. Dalam banyak hal, pakaian adalah penanda masa. Ketika tahun 1915 Chanel merombak gaya busana wanita dari yang megah dan rumit menjadi sederhana dan manis, sadar atau tidak, Chanel menandai abadnya. Demikian juga ketika sepuluh tahun lalu Hedi Slimane memperkenalkan celana slim untuk laki-laki, ia telah memulai revolusi potongan pakaian pria menjadi ramping. Sampai-sampai desainer utama rumah mode Chanel, Karl Lagerfeld, rela dan ikhlas diet keras supaya bisa muat mengenakan celana-celana ramping besutan Hedi Slimane dari Dior itu.
Akan tetapi perubahan membutuhkan keberanian. Dalam soal pakaian, saya tidak memiliki kenakalan yang dimuat Mimit, Iphan, atau Ersa. Pakaian saya cenderung hati-hati dan “terukur” (separo baju di almari berwarna hitam, abu-abu, dan putih), walaupun tidak kuno-kuno juga.
Perubahan juga membutuhkan ongkos. Makanya saya senang pada Shopping Rally kemarin, Centro mentraktir saya merombak gaya berpakaian. Di kelas busana Centro bersama Andre Poernomo, sepuluh onliners (termasuk saya) juga didoping anti-gentar untuk mencoba batas-batas, karena bukankah perubahan selalu dimulai dengan menyentuh garis-garis batas itu?
Hasilnya, saya membeli sepatu warna coklat muda (bertentangan dengan norma umum bahwa warna coklat tua lebih mudah dipadu padan), celana jeans slim warna hitam, kemeja biru muda yang untuk dipadu dengan sweater warna merah cabe. Temanya “pacaran di hongkong”, karena si Mbak itu punya scarf merah cabe. Yaa itungannya masih kurang nakal, tapi kelewat nakal untuk saya.
Dan walaupun cuma dapat empat barang (mustinya saya beli 10 barang), tapi keempatnya selalu kepengen saya pakai karena terlihat bagus. Bukankah tujuan dari semua ini adalah mencapai bagus?
naksir sama sepatunya :D
Kapan-kapan kukenalin deh :D
Sweaternya mantap…
Aku maniak belanja pakaian dan Centro, duh dulu aku banyak ‘nabung’ di sana :)
Centrofriendsnya udah dapet poin berapa mas ;))
cuma empat yang penting puas kan ya Mon? :))
aku kemaren juga cuma dapet 6 item, tapi puas soalnya serumah kebagian semua ;)) ga butuh lah gelar-gelaran itu ;))
anaknya juga dibeliin tho mbak? :))
jadi kemarin itu beli sepatu yg coklat muda atau coklat tua mon?
coklat muda Git
sampean pancen bagus mas momon, hehe
sweaternya bagus, menggairahkan.
Mundur teratur…
wah2… bagus tuh, ada yg biru gak sweaternya? hehe.
Pas kemarin sih ada, tapi tinggal dikit.
Aku naksir sabuknya Mon.
mohon maaf saya milihnya adek sampeyan Mon, :D
aku naksir mbaknya.
mosok bagi momon segitu dah nakal tho?
Yeay!
Tentang ini juga udah published di blogku lhooo.. http://thepicnicgirl.blogspot.com/2010/04/shopaholic-dreamland-centro-fashion.html
cek deeeeh.. I’ve linked you too. ;)
*smoochies*
-miy-
thepicnicgirl.blogspot.com
mohon maaf saya milihnya adek sampeyan Mon, :D
suka sweaternya. good!
Pingback:Dian Paramita » Centro Jogja Most Stylist Onliner