Tahun 2004, di antara hiruk-pikuk film-film animasi 3D yang terus bersemai, CEO Walt Disney Company memutuskan untuk stop membuat film animasi 2D, dan selanjutnya hanya membuat film 3D. Tidak ada lagi film-film animasi gambaran tangan sekelas Pinnochio, Beauty and the Beast, Lion King.
Tapi itu 2004.
Tahun 2005 Micheal Eisner, si CEO, mundur dari jabatannya setelah ditekan oleh kampanye Save Disney yang dibidani oleh kemenakan mendiang Walt Disney, Roy Disney. Tahun 2006, Disney mengakuisisi Pixar. Dan di tahun yang sama, Disney dengan lantang dan mengejutkan menyatakan kalau studio animasi itu akan kembali membuat film animasi 2D berjudul The Princess and the Frog.
Jadi musti dimengerti bahwa Princess bukan sekedar film, tetapi juga taruhan. Juga bukan sekadar taruhan di box office, tapi juga taruhan apakah animasi gambaran tangan masih bisa bertarung dengan animasi 3D, atau sudah waktunya pensiun dari pangkat seni komersil dan menyelinap pelan untuk disimpan di museum.
Sayangnya animasi hanyalah medium, pada esensinya ia “cuma” film yang tetap mengadalkan karakter, visual, suara dan alur cerita yang pas. Walaupun animasi Princess sangat halus lentur, dan visualnya sangat cantik, tapi ceritanya terasa baru digarap sebulan yang lalu.
Padahal premisnya sudah sangat menjanjikan. Tahun 1912. Musik jazz. New Orleans yang romantis. Tokoh gadis kulit hitam workaholic di era presiden kulit hitam. Dongeng anak-anak yang diputarbalikkan.
Tiana, princess Disney kulit hitam pertama ini, bercita-cita membuka restoran sendiri. Alih-alih punya restoran, gedung restorannya diserobot oleh orang lain, dan ia justru disihir menjadi katak karena mencium katak. Katak yang ia cium sebetulnya adalah pangeran Naveen yang disihir oleh Doctor Pacifier, dukun voodoo tukang tipu.
Rasanya mustahil kalau Princess bisa disandingkan dengan Lion King atau Beauty and The Beast. Tapi bisa jadi ini adalah film animasi gambaran tangan Disney yang terakhir dalam beberapa tahun ke depan, tidak ada salahnya ditonton sebelum benar-benar punah.
Jadi generasi Steamboat Willie berakhir di seekor kodok?
wah, saya malah baru tahu kalau Pinnochio itu seorang animator,
yah memang semua perlu pembuktian, ditengah semua mata yang sedang tersihir pesona animasi 3D
Habis ngelihat trailernya, animasi yg lentur dan visual yang indah, bikin makin ingin segera mengobati kerinduan nonton hand drawn animation dari Disney yg satu ini.
sudah nonton film ini. keren mon. ceritanya klasik, tapi humornya cukup renyah. worth to see. :)
kalau aku jadi princess kira-kira jadi princess seperti apa, ya? *komen gak mutu eps. 2* (menghapus bayangan jadi princess lalu memutuskan jadi gadis kasir di toko payung saja)
Ha, baru sadar kalo Disney sudah lama tidak mengeluarkan film animasi seperti ini.
Tapi mending sih, daripada film-film live action Disney seperti “Race to Witch Mountain” yang menurut saya malah nanggung. Seru enggak, lucu juga ga begitu :|
@hanny: the princess and the high-calorie diet kali yaa
@nazieb: bener, ada merit tersendiri ketika Disney membuat film ini, untuk menyelamatkan seni tradisional. Kalau Race mah emang gak mutu.
@mawi_wijna: kodok memang, tapi tahun depan ada Rapunzel.
@goenrock: animasinya emang lentur, masih susah kalau mau disaingi 3D
Film ini anak saya suka sekali. Bagus.
secara cerita biasa, alurnya bisa ditebak.
(kecuali waktu si kunang kunang itu mati..)
secara detail humor, asik.
nih film kayaknya bagus, saya tunggu di disney channel aja aahhh heheheheee males ke 21
Pingback:Rapunzel Tangled - Reviews - hermansaksono
anakku juga suka :)
musiknya bagus
Pingback:Rapunzel Tangled | soetta.com