Kekurangan naik becak itu adalah jarak kepala penumpang dengan kepala abang becak yang terlalu jauh. Apalagi kedua kepala tadi disekat oleh kanopi, sehingga ngobrol dengan si abang itu sulit sekali. Bis sama saja. Pak sopir biasanya sibuk mencari cara menyisipkan bis segede gaban agar bisa menembus kerumuman kendaraan. Sementara keneknya lebih lebih concern pada proses penarikan ongkos penumpang yang jauh dekat sama saja itu.
Nah, enaknya naik taksi itu kita bisa ngobrol dengan leluasa dengan pak sopir taksi, terutama kalau pak sopirnya ramah. Ada banyak hal menarik yang dapat kita ketahui dari mereka. Ada yang menawarkan jasa makelar tanah, ada pula yang menawari PSK. Tetapi pada umumnya mereka bercerita tentang betapa beratnya beban seorang sopir taksi.
Di Jogja, supply taksi itu memang melebihi demand. Ada 800 armada taksi, sementara permintaan transportasi taksi menurun sejak tarif taksi dinaikkan (yang dinaikkan karena harga BBM dinaikkan). Setoran taksi ke perusahaan taksi itu lumayan besar, Rp 150.000 per hari. Padahal, katanya, sehari bisa dapat Rp 100.000 itu sudah banyak. Alhasil banyak supir taksi yang mengutang setoran.
Cara mereka memandang masalah ini sangat beragam. Ada yang pasrah mengadapi cekikan setoran. Ada juga yang menyalahkan reformasi. Kata salah satu sopir, dulu pas jamannya Pak Harto jauh lebih enak: sopir taksi bisa menabung banyak. Sekarang sehari cuma bisa membawa pulang Rp 15.000 bersih. Mungkin Pak Sopir itu lupa kalau yang menyebabkan itu juga Pak Harto. :)
Ada juga yang lebih prihatin. Putranya tiga, sekolah semua, satu mahasiswa. Padahal uang dari narik taksi tidak seberapa untuk biaya hidup, apalagi untuk sekolah. Waktu saya tanya, bagaimana caranya nutup kebutuhan biaya sekolah, pak sopir itu menjawab
“Ya harus bisa mas. Dicariin caranya, biar anak saya besok pekerjaannya lebih baik.”
Ah hebatnya pak sopir ini, pendidikan memang kunci kemajuan bangsa bukan? Andai saja yang di pemerintahan sana semangatnya bisa sehebat itu.
Kemarin saya naik taksi lagi, si pak sopir yang ini juga bercerita tentang setoran yang tinggi dan rendahnya pendapatan taksi, katanya:
“Berat mas. Kalau yang duniawi sudah tidak terkejar, tidak sanggup saya. Saya ngejar yang akherat saja.”
Wah jadi malu saya. Kalau Anda, ngejar yang mana? ;)
wah topiknya kog sama ya sama postingan Paman, kayaknya semua prihatin sama pilot Taksi
Kalo sekarang, gue pribadi mungkin ngejar dua2nya.
Kalo ngejar akherat saja, sepertinya gue bakal jadi sufi dan hidup di pegunungan.
ngejar yang pasti-pasti aja :)
ngejar yang penting penting saja.. kalo perlu kejar kejaran.. karena saat sekarang semua serba susah euy
ngejar apa yah? ngejar proyek aja kayaknya..
saya setuju dengan ‘a’.. yang pasti, dan menurut saya itu akherat :)
ngejar yang mungkin aja…..
kayaknya semua taksi emang lagi susah, di jkt pun bahkan yang “tarif lama” tetap susah cari penumpang
aku ngejar kamuuuu, mon…blog jack bauer-ku masih dipinggir.
weeekk
hidup adalah tentang menemukan keseimbangan. betulll????
Kejarlah daku kau kudekap…
ngejar perempuan
dua duanya dong. kan Tuhan maha pemurah. mengabulkan semua permintaan hambanya.
heheh
kesimpulan gw sih, jadi sopir taksi itu nggak enak…
mungkin gw terlalu matre ya, cuma gimana bisa tenang mencari akhirat kalo dunia nggak nyampe? anak susah makan, susah sekolah misalnya
pikir2, enak juga kali jadi orang yg gak percaya akhirat. eh enak gak ya?