Happy Feet »
Sesuai dengan nama dan posternya, Happy Feet memang seperti film untuk balita. Tidak salah: film tentang Mumble seekor penguin emperor yang tidak bisa menyanyi dan suka menari, memang tema yang cocok untuk anak-anak. Sangat membosankan pada awalnya.

Akan tetapi, tema cerita film yang semula kekanak-kanakan ini, perlahan-lahan menjadi matang dan dewasa. Seolah-olah seperti mengikuti perkembangan karakter si protagonis Mumble. Ada alegori liberalisme vs. nilai-nilai klasik, lalu ada pula kritik soal mass-fishing, perusakan ekosistem, dan animal ethic. Agak drastis bukan? Dari cerita ala Teletubbies menjadi Republik BBM. FPI perlu nonton ini.

Kenapa George Miller membuat filmnya seperti gado-gado, saya ndak tahu. Tetapi upaya mendobrak tata cerita film animasi yang selama ini sudah terlalu predicatable, adalah langkah yang harus disoraki. Lagipula, siapa bilang animasi tidak bisa melontarkan kritik sosial yang tajam?


Curse of the Golden Flower »
Kesuksesan Crouching Tiger Hidden Dragon di ajang Oscar dan box office, ternyata menimbulkan prekondisi bahwa Curse of the Golden Flower adalah film yang mirip. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Walaupun kedua film ini jelas-jelas menghibur mata dengan tata visual yang cantik, CotGF bukanlah balada wuxia yang lamban dan mendayu-dayu.

Curse of the Golden Flower berkisah tentang Kaisar Ping yang rezim kekuasaannya terancam karena konflik internal di keluarganya. Di film garapan Zhang Yimou ini, tidak ada balada cinta ataupun jurus-jurus silat yang cantik, karena CotGF adalah political thriller yang kebetulan terjadi pada masa dinasti Tang. Film tahun 2006 yang tegangnya mirip adalah The Departed garapan Martin Scorsese, yang kebetulan adalah saduran film Infernal Affairs (juga dari Hong Kong).

Adegan perang yang prajuritnya orang betulan (bukan simulasi komputer), terasa sangat menyejukkan. Sudah berapa lama penonton dibuat eneg oleh prajurit-prajurit virtual di LotR, Troy, Narnia, dan Eragon? Pujian khusus untuk Gong Li yang aktingnya mengulirkan emosi film ini. Dan jangan lupa untuk melihat Jay Chou Chow—penyanyi Taiwan yang salah kaprah disangka menyanyikan lagu My Lecon—menjadi pangeran yang namanya gak kreatip banget: Pangeran Jai.

Lady in the Water »
Ya maafkan saya karena nulis film ini. Walaupun sebenarnya sudah basi, film ini rasanya kurang mendapatkan penghargaan yang sepantasnya. Ok lanjut. Film terbaru M. Nught Night Shyamalan ini sejak awal memang bermasalah. Lady in the Water sebenarnya adalah dongeng sebelum tidur yang diceritakan Shyamalan kepada anak-anaknya. Semula, LitW diproduksi di bawah bendera Touchstone Pictures (divisi Walt Disney Pictures yang khusus merilis film-film non-keluarga). Di tengah jalan, karena ada ketidakcocokan antara Shyamalan dan Disney, Shyamalan memutuskan untuk cabut dan memboyong filmnya ke Warner Bros.

Dongeng yang difilmkan ini bertutur tentang Cleveland Heep (Paul Giamatti), seorang pegawai maintenance di sebuah rumah susun. Suatu hari dia mendapati seseorang gadis misterius yang tinggal di bawah kolam renang. Gadis itu ternyata seorang narf yang dikirim untuk membawa pesan penting. Ternyata, pesan itu melibatkan beberapa orang yang tinggal di apartemen tersebut. Para penghuni apartemen harus berlomba dengan waktu untuk mengembalikan si narf kembali ke asalnya, sebelum semuanya terlambat.

Saya benar-benar suka film ini, walaupun akhirnya LitW jeblok di pasaran. Mungkin orang mengharapkan film ini segenre dengan Sixth Sense atau Signs. Tetapi film ini bukanlah sebuah thriller psikologis, tetapi hanyalah sebuah dongeng indah yang charming di hati.

Happy Feet and Curse of the Golden Flower
Tagged on:

10 thoughts on “Happy Feet and Curse of the Golden Flower

  • December 31, 2006 at 6:22 am
    Permalink

    M. Nught Syamalan? Siapa yaa???

    *ngikik*

    Reply
  • December 31, 2006 at 11:07 am
    Permalink

    oooo, rupanya gak mau jalan-jalan tu keburu mo nulis review film to, mon?ayo mon nonton film lagi…

    Reply
  • December 31, 2006 at 11:51 am
    Permalink

    Itu film udah di tonton semuah..???
    Lagi males nonton nih, tapi penasaran ama “Curse of the Golden Flower”, kayaknya tu film keren banget.

    Reply
  • December 31, 2006 at 11:58 am
    Permalink

    untuk bisa menonton happy feet dengan agak advance, kaya’nya harus berbekal pengentahuan musik
    trus mungkin additional things, ada baeknya nonton La Marche de l’empereur (March Of The Penguins) dulu

    Reply
  • December 31, 2006 at 5:38 pm
    Permalink

    Saya tertarik nonton Lady in The Water karena barusan selesein bukunya ‘The Man Who Heard Voices’ tentang pertaruhan M. Night Syamalan di film dongeng ini. karena Disney menganggap ini film gak bakal laku, termasuk keberatan Syhyamalan main jadi Vick Ran: jadi deh pindahan ke Warner Bross.

    Tapi ini proses yang harus dialami setiap orang yang hidup di dunia kreatif. Up and down-nya. Biarpun jeblok, saya pikir film ini menarik. Saya yakin, Shyamalan akan datang lagi dengan film yang unpredict. Resiko terbesar sdh diambilnya di LitW.

    Mungkin msh tetep di Warner sbg ‘balas budi’. Btw, thx dah join kemarin… Kpn2 ktmu lg deh Mas :)

    Reply
  • January 2, 2007 at 1:37 pm
    Permalink

    mon.. yang bener Jay Chou, bukan Jay Chow. Btw, aku suka banget ama soundtracknya.

    Reply
  • January 2, 2007 at 2:26 pm
    Permalink

    mon…di Curse of the golden flower banyak kekerasan di dalam rumah tangga yaaa…
    hihihihi..

    Reply
  • January 2, 2007 at 2:27 pm
    Permalink

    seabiscuit nya kok gak ada…??

    Reply
  • January 2, 2007 at 10:59 pm
    Permalink

    M. Nught Shyamalan itu coklat kacang. Enak lho.

    Mico: Udah semua :D Malah, nontonnya Happy Feet dan Golden Flower berturut turut, sama Toni.

    Snydex: Tanpa nontonpun tetap bisa dinikmati kok hehehe. Cuman, nonton March of The Penguin memang akan sangat meembantu memahami alur ceritanya. Saya sendiri awalnya tidak paham kenapa kok penguin harus belajar nyanyi.

    Arif: Mungkin WB sebenarnya sudah sadar kalau LitW bakal jeblok, cuman dengan meng-greenlit film kesayangan otomatis memboyong Shyamalan pindah studio dari Disney ke WB. Saya malah heran, kenapa Disney tidak seskali membiarkan Shyamalan berkreasi bebas, mengingat shyamalan sudah banyak berjasa membawakan rejeki box office ke Disney.

    Mas Arif maturnuwun, sudah diundang hari Jum’at kemarin. Kapan2 kalau saya undang bisa datang nggak :D

    Dina: Berarti… film ini cocok buat ibu-ibu yang demo kemarin doong.

    Mas Heruw: Nah itu, kalau Seabiscuit direview ntar saya dituduh jadul karena seabiscuit kan filem jaman jebot :(

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.