Jika anda sudah membaca koran hari ini, kemungkinan anda sudah membaca berita sejumlah tokoh seperti Gus Dur, Ali Sadikin, Kharis Suhud, Frans Seda, dan Guruh Sukarno Putra, yang memprotes amandemen UUD 1945, dan meminta agar kita semua kembali ke UUD 1945 yang asli (Kompas, 12 Agustus 2005, hal 2).
Saya pribadi merasa prihatin dengan protes para tokoh tsb karena UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali sejak Oktober 1999 sampai dengan Agustus 2002 dapat mengantar Indonesia ke sebuah tatanan politik dalam negeri yang lebih adil dan terjaga.
Pertama, UUD 1945 hasil amandemen membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden yang semula seumur hidup menjadi dua kali masa jabatan. Ini adalah elemen penting yang menjaga RI agar tidak kembali dikuasai oleh diktator.
Kedua, UUD 1945 hasil amandemen memberi batasan yang jelas tentang keanggotan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam UUD 1945 yang asli, MPR diisi oleh DPR hasil pemilu dan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, tanpa menyebutkan secara eksplisit siapa saja yang menjadi utusan-utusan tsb serta mekanisme pemilihannya. Dalam UUD hasil amandemen, MPR diisi oleh DPR dan DPD yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat yang mencerminkan demokrasi yang transparan.
Ketiga, UUD 1945 hasil amandemen memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih badan eksekutif negara, yaitu presiden, secara langsung. Semula, Presiden dipilih oleh MPR (yap, ini MPR yang terdiri dari anggota DPR dan utusan-utusan yang tidak jelas siapa yang memilih). Dengan demikian tercipta demokrasi yang riil serta tidak rawan permainan politik belakang panggung seperti pada jaman Pak Harto.
Keempat, UUD 1945 amandemen memperkenalkan Dewan Perwakilan Daerah, yang merupakan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat daerah. Karena setiap provinsi mendapat jatah kursi DPD yang sama, propinsi-propinsi berpopulasi kecil mendapat kesempatan untuk lebih terwakilkan di DPD daripada di DPR. Walaupun saat ini peran DPD sangat-sangat terbatas, setidaknya ini adalah awal yang baik.
Kelima, UUD 1945 amandemen mendefinisikan konsep otonomi daerah, terutama dengan memperkenalkan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Keenam, amandemen UUD 1945 menambahkan 10 pasal tentang Hak Asasi Manusia yang sangat komprehensif, mungkin salah satu yang paling komprehensif di dunia, sehingga memberikan landasan kerja bagi undang-undang HAM yang akan datang. Walaupun begitu pasal-pasal tentang HAM tersebut sedikit dimentahkan dengan adanya Pasal 28J ayat 2, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan HAM tetap memperhatikan: nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Sayang sekali para protester tersebut tidak menyebutkan apa kekurangan UUD 1945 hasil amandemen, dan lebih menekankan aspek romantis UUD 1945 seperti yang dikatakan Guruh Soekarno Putra:
Guruh yang nampak berapi-api dalam pidatonya menggambarkan, Bung Karno dan Bung Hatta jika masih hidup akan menangis karena apa yang telah diproklamasikan 17 Agustus 1945 telah bubrah diobrak-abrik. UUD 1945 telah diamandemen secara kebablasan.
Guruh dan teman-temanya mungkin lupa bahwa konstitusi bukan sebuah puisi atau lukisan yang harus dijaga keasliannya. Konstitusi adalah produk hukum yang harus senantiasa berevolusi dan menyesuaikan perkembangan jaman (saya rasa Guruh lebih baik membuat operet Mahadaya Cinta daripada protes yang tidak relevan soal konstitusi negara). UUD 1945 sendiri direncanakan sebagai UUD sementara (makanya banyak bolongnya), hingga UUD baru selesai digodog.
Menurut hemat saya, ketujuh poin plus dalam amandemen tadi akan membawa tatanan politik RI yang lebih bersih dan sehat dan pada akhirnya membawa ke kemakmuran. UUD adalah koridor kerja yang mengatur cara kerja negara kita.
Mungkin ada yang merasa sinis dengan UUD 1945 hasil amandemen tadi. Mungkin akan terlontar ucarapan seperti: “Buat apa UUD bagus, kalau wakil rakyat dan pejabat nya tetap busuk?”
Kalau anda ingin wakil rakyat dan pejbat yang tidak busuk, mulailah untuk memilih anggota DPR & DPD dan calon Presiden yang memiliki akhlak baik dan visioner terhadap kebangkitan bangsa. Gunakan logika dan perhatikan kinerja partai/orang tersebut di masa lalu. Jangan pilih partai/orang karena dia istri Sultan kek, karena semua orang memilih dia kek, karena iklannya bagus kek, atau karena anda diberi segepok uang.
Saya tidak terlalu banyak mengerti masalah sosial politik, meski secara pribadi saya mengagumi sosok Gus Dur dan pemikiran2nya. Namun untuk kasus ini, saya tidak sepenuhnya sepaham dengan beliau, namun juga tidak sepenuhnya menentang karena saya tidak tahu apa maksud yang lebih detail dari aksi itu.
Tapi kalau saya liat, memang ada hal-hal yang mungkin risky dengan adanya amandemen itu :
1. Dengan mudahnya proses amandemen, khawatirnya suatu saat UUD (konsitusi tertinggi negara) akan mudah berubah2 dan dipermainkan (jadi objek politik)–karena toh amandemen dan tidaknya juga bergantung pada DPR (“DPR juga manusia, butuh duit dan pintar politik”). Bukan bermaksud menjadikan sakral, tapi juga ini juga bukan dokumen biasa. Toh juga pasal2nya sifatnya masih banyak yang normatif, tidak detail, dan bisa didetailkan di level di bawahnya, jika perlu.
2. Bangsa kita belum siap untuk benar-benar otonom. Salah satu poin di amandemen itu kan soal otonomi daerah. Terkait juga pemilihan langsung, dsb. Memang, visinya bagus, hanya saja kita mungkin perlu tidak hanya melihat dari visi, tapi dampak, risiko yang ditimbulkannya. Liat aja sekarang, Pilkada dimana2 rusuh, muncul (lagi) raja2 daerah, korupsi “masal” DPRD, tindakan anarki, dsb.
3. Sisi “romantisme” sejarah kadang masih diperlukan IMO. Disitulah muncul rasa penghargaan bangsa terhadap sejarah, orang2 yang ada dalam perjalanan bangsa ini. (btw yang terakhir ini saya nggak tau nyambung atau tidak, tapi saya baca hal serupa di Kompas hari ini — statemen dari Presiden SBY)
Tentang amandemen ini sebenarnya menarik. Sebenarnya sejak UUD 1945 sudah disediakan jalan untuk marubah isi UUD 1945, jadi proses amandemen bukan sesuatu yang baru karena sudah ada sedjak 1945.
Kenapa baru ada banyak amandemen? Saya rasa karena memang sudah kebutuhan zaman. Kita belajar banyak selama pemerintahan Bung Karno dan Pak Harto. Kesalahan pada dua rezim tersebut diharapkan dapat diperbaiki dengan amandemen.
Proses amandemen sendiri bisa sebenarnya tidak gampang, karena harus diajukan 1/3 anggota MPR, dihadiri 2/3 anggota, dan dsietujui 50 persen + 1 anggota MPR.
Harapan saya, mungkin setelah amandemen kelima yang diagendakan pada Sidang MPR tahun depan tentang peran DPD (yang menurut saya sangat penting), proses amandemen harus sedikit diperketat. Misalnya setelah lolos dari MPR harus disetujui 2/3 dari DPRD di setiap propinsi di Indonesia (seperti di AS).
Tentang redaksional UUD yang normatif, wah saya angkat tangan deh. ;) Karena itu bisa jadi diskusi tersendiri. Tetapi, dalam pandangan saya, UUD cukup menampung tata laksana pemerintahan dan hukum, dan garis besar visi misi dan negara. Karena jika terlalu detail, sepertinya akan membuat proses penyelengaraan negera menjadi tidak lincah.
Sejak dulu saya sudah ga simpatik dengan pemikiran Gus Dur (kecuali kebijakannya naikkan gaji PNS). Tapi juga kayaknya proses amandemen 1945 dalam bebrapa hal terkesan tergesa-gesa. But that’s not a problem coz i simply don’t care too much.
Oya Mon, cek blog ku deh. Kamu dapet book baton dariku :D
wew, politics, way beyond my reach. Setelah mencaba komen, yang semula saya hendak memilih kamu andasaja kmu mencalonkan diri jadi wakil rakyat, saya menjadi ragu-ragu. Saya tidak boleh asal pilih kmu karena kmu The Momon rite. Hmm, I better start stalking on you .. to see what you are really intent to wth all these political view..
Watch your back! ™
PS.
A nice post indeed. I better start reading newspaper to catch up the pace.
Ton, sebenarnya isu protesnya para tokoh bisa dibilang gagal masuk ke news cycle media kita (yang kebetulan memiliki attention-span yang pendek). So protes amandemen ini setidaknya tidak akan hangat dalam beberapa waktu.
Cuman, saya concern betul saja dengan protes-protes seperti ini, apalagi mayoritas rakyat Indonesia yang, maaf, kurang suka memanfaatkan logika dan lebih mudah terbius oleh romantisme masa lalu (termasuk romantisme Orde Baru).
Inti dari post ini..sebenarnya, cuma mengangkat wacana bahwa UUD 1945 hasil 4 kali amandemen 2002 memang tidak sempurna (terutama masalah peran DPD), tapi jauh lebih baik daripada UUD 1945 yang asli.
Lebih bagus lagi kalau kembali ke piagam jakarta. Dukung piagam jakarta!!!
Mas mas…untuk mengkomentari uud 45 yang asli saya sarankan anda membaca dulu risalah rapat ppki yang dikeluarkan berbentuk buku yang mempunyai 2 jilid sekitar tahun 1960an syukur2 anda mendapat bukunya yang masih dikeluarkan oleh lembaran negara dan dibrikan pengantar oleh mohammad yamin…setau saya…buku itu direvisi kembali oleh sekneg tapi banyak yang tidak menjamin keaslianya…
setuju aja yang penting bisa memajukan masyarakat beragama. al-qur’an dan hadist bagi saya cukup.
sampai sekarang berapa kali uud di amandemen?
Salam kenal, Bung Aryo saya tertarik dengan statement Anda tentang pentingnya pembacaan risalah UUD 45 oleh alm Prof M Yamin yang memang spesialisasi di Bidang Tata NEgara buka Soepomo yang notabene Pakar Hukum Adat. Mohon balasan Mas Aryo..salam mantri
Saya setuju bahwa Amandemen UUD45 perlu dilakukan. Tetapi sayangnya konsistensi terhadap Pancasila tidak disebutkan sebagai kesepakatan Panitia Ad hoc untuk melakukan amandemen?. Ada empat kesepakatan menurut bukunya AM Fatwa. Yaitu : 1) Tidak mengubah Pembukaan Undang-UndangDasar1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3)Mem pertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4)Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
5)Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
Setuju!
Jangankan UUD, agama pun harus peka jaman kok, Mon!