The Jewel of Muscat ship

Sorak sorai menyambut datangnya perahu dari Oman ke daratan Singapura. Perahu layar itu dinamai Sang Manikam Muskat, The Jewel of Muscat. Ia adalah replika puing kapal Oman dari abad 9 yang ditemukan nelayan Indonesia di kepulauan Belitung.

Setelah mendarat di Singapura, Sang Manikam akan diboyong ke Resorts World Sentosa, untuk dipamerkan selamanya di sana. Ia akan duduk bersebelahan dengan kapal aslinya, memamerkan kegagahan para pelaut di eranya.

Memang menyebalkan. Walaupun benda bersejarah itu ditemukan di Indonesia, tetapi ia bukan lagi milik kita. Puing kapal kuno itu, beserta harta karun emas-perak di dalamnya sudah dibeli menjadi milik Singapura. Para peneliti sejarah perdagangan di jalan sutera akan lari ke Singapura kalau ingin tahu peralatan yang digunakan pada jaman itu.

Hal-hal seperti ini kadang-kadang membuat dongkol. Bagaimana mungkin harta karun sehebat ini lepas dari tangan kita? Bukankah ini bisa menjadi kebanggaan Indonesia? Sebelum diskusi itu dibawa maju, ada satu pertanyaan yang musti mendahului pertanyaan pertama.

Mampukah kita mengelola harta karun sehebat itu?

Kalau boleh jujur, kita payah. Museum Sonobudoyo Jogja misalnya, baru saja kebobolan 17 koleksi perhiasan emas dari abad ke-8. Museum Radya Pustaka Surakarta, kerampokan arca batu yang beratnya berkilo-kilo. Andaikata harta karun itu kita simpan sendiri, apakah kita mampu memberikan penghormatan yang pantas kepadanya?

Nampaknya tidak. Belum.

Pemerintah tidak punya alokasi dana dan birokrasi yang memadai untuk merawat peninggalan-peninggalan sejarah itu. Melepasnya ke Singapura, mungkin, adalah cara terbaik kita untuk menghormati saksi peradaban itu. Mungkin. Entah.

Sebetulnya ada alternatif ke dua, menjualnya ke swasta lokal. Tapi ini rentan diprotes karena kata “swasta” akan terdengar seperti mengkomersialisasikan budaya. “Bukankah kebudayaan itu semestinya gratis?” begitu protesnya. Kalau sudah sampai argumentasi seperti itu. rasanya malah seperti memutar ulang kontroversi UU BHP.

Usul saya untuk penentang swastanisasi museum cuma satu. Datanglah ke Museum Ullen Sentalu Jogja, dan saksikan perbedaan tiket Rp 250 dan Rp 25.000.

Museum The Jewel of Muscat
Tagged on:

16 thoughts on “Museum The Jewel of Muscat

  • August 23, 2010 at 7:30 am
    Permalink

    Ullen Sentalu memang terlalu dahsyat,
    eh maksudnya tak hanya harga tiket tapi juga isi museumnya

    tapi yang begitu kadang bikin kita berpikir 2 kali,
    “buat apa buang-buang uang di museum?”

    Reply
    • August 23, 2010 at 11:34 am
      Permalink

      kalau mikire nihilistis gitu, nanti akhirnya mikir “buat apa mandi, toh nanti penguk lagi” :P

      Reply
  • August 23, 2010 at 11:42 am
    Permalink

    ketika dikelola pemerintah malah jadi hilang, rusak, dan penuh rayap, sebetulnya ya, lebih baik diserahkan ke swasta. yang penting kan sejarah tetap tersimpan dengan baik, dan tetap jadi milik Indonesia. mungkin pasalnya, kalau diserahkan ke swasta, budget pemerintah buat ‘maintenance’ jadi berkurang dong ;) hihihi.

    Reply
  • August 23, 2010 at 2:14 pm
    Permalink

    Sorry, untuk klarifikasi aja Mon…
    Tiket di Museum Ullen Sentalu :

    Pelajar (hingga S1) : Rp 15.000,00
    Umum : Rp 25.000,00

    Negeri ini, memang sepertinya terlalu sibuk dengan persoalan ekonomis sehari-hari yang (juga tetap) tak kunjung terselesaikan (dengan baik). Hal-hal yang berbau Non Ekonomis, kemudian menjadi sesuatu yang tidak utama lagi.

    Contoh-contoh warisan budaya yang terabaikan dan akhirnya terambil alih jadi sesuatu yang biasa meskipun digembar-gemborkan. Solusinya, memang kemudian harus ada pihak-pihak yang mau berinisiatif untuk melakukan sesuatu untuk kebudayaan dan warisan budaya negeri ini. Ya selama tidak ada kemauan ataupun dihalang-halangi niat orang menjadi tenaga ahli/profesional di bidang2 perlindungan warisan budaya dan pelestarian kebudayaan ini, memang bakal jadi satu hambatan yang cukup besar bagi negeri ini untuk bisa menjaga identitas kebudayaannya.. :)

    Reply
  • August 23, 2010 at 9:32 pm
    Permalink

    jujur… tulisannya mengalir yang sempurna… enak dibaca dan dipahami…. i like it

    Reply
  • August 24, 2010 at 3:02 am
    Permalink

    laen kali klo ke jogja, aku kudu mesti ke ulen sentalu

    Reply
  • August 24, 2010 at 3:05 am
    Permalink

    “Solusinya, memang kemudian harus ada pihak-pihak yang mau berinisiatif untuk melakukan sesuatu untuk kebudayaan dan warisan budaya negeri ini. Ya selama tidak ada kemauan ataupun dihalang-halangi niat orang menjadi tenaga ahli/profesional di bidang2 perlindungan warisan budaya dan pelestarian kebudayaan ini,”

    waw, setauku udah banyak orang yang interest di bidang warisan budaya jeng, masalahnya adalah akses terhadap semua benda warisan sejarah yang kita miliki, harusnya ada pembendaharaan/kearsipan yang terintegrasi dan bisa diawasi oleh publik tentang keberadaannya secara realtime…
    memang it will cost (huge number) of money, tapi mengingat concern pemerintah kali ini lebih banyak ngurusi politik, birokrasi, sama memperkuat wilayah biar wilayah nya gag di kerokotin sama si “jiran” yang Njarani itu, maka perlu foundation yang lepas dari pemerintah yang kegiatannya jadi watchdog buat semua masalah itu… hwah, btw selamat menyaksikan liverpol while waiting for Imsak… selamat beribadah…

    Reply
  • August 24, 2010 at 9:51 am
    Permalink

    kalo ada tamu LN aku paling suka ajak mereka ke Ullen Sentalu, mahalan dikit gpp yg penting bisa kasi liat kultur dan sejarah jawa yg kental banget di sana.
    Analogimu tentang museum dan pendidikan menarik mon, hehehe. Swastanisasi sepertinya perlu, tapi audit dan transparansi juga tidak kalah penting. Muaranya kupikir: profesionalitas.

    Reply
  • August 24, 2010 at 12:41 pm
    Permalink

    Beberapa tahun lalu ketika sering main ke Ullen Sentalu terkait kerjaan, saya berdialog dengan Pak Thomas.. Salah satu yang kuingat dari beliau adalah demikian “Ben, museum ini kubikin mahal… nggak laku nggak papa yang penting kami beda!”

    Setuju dengan pola pikirmu dan pola pikir Pak Thomas.. Ono rego ono rupo!

    Reply
  • August 25, 2010 at 2:12 pm
    Permalink

    pemerintah kita emangnya sanggupnya mlihara apa to?
    btw, masih penasaran ma ullen sentallu. pokoke suatu saat hrs ke sana

    Reply
  • August 25, 2010 at 3:20 pm
    Permalink

    teringat lagu anak-anak yang berlirik “nenek moyangku seorang pelaut”

    Reply
  • August 28, 2010 at 9:51 pm
    Permalink

    Maunya idealis (swasta bukan rakyat!) tapi usahanya nol besar.
    Sesuatu yg tidak dipahami memang seringnya jadi nakutin.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.