Saya tidak puas jika hanya IPDN yang dibubarkan. Lihat saja ospek-ospek di universitas tanah air. Walaupun kegiatan ospek universitas-universitas ini cuma terlihat seperti pelajaran TK ketika dibandingkan dengan IPDN, tetap saja itu bentuk kekerasan mental dan pembodohan. Konyol sekali, karena tujuan masuk universitas itu mau pintar, bukan bodoh. Itu saja baru universitas, belum di sekolah-sekolah menengah.

Dulu ketika saya sekolah di SMA 3 Yogyakarta, saya dan teman-teman berinisiatif membuat panitia pemantau Ospek SMA. Tujuannya supaya budaya ospek yang membodohi itu bisa dipadamkan. Tapi apa daya, organsisasi saya tidak punya badan resmi di bawah OSIS, jadi ditolak mentah-mentah oleh OSIS dan sejumlah komunitas sekolah. Merusak budaya sekolah yang sudah lama dijalankan, katanya.

Sewaktu kuliah, saya sempat menjadi ketua himpunan mahasiswa Elektro UGM. Saya mengajukan ospek jurusan yang tidak mengandung pembodohan. Itupun diprotes banyak kalangan. Oleh karena saya harus mengakomodir konstituen saya (bodoh sekali saya waktu itu), akhirnya dibuatlah sebuah win-win solution. Acara ospek yang utama tidak ada pembodohan, tapi pada malam terakhir diperkenankan.

Karena sudah ritual, kata orang.

Akhirnya pada malam terakhir, ospek Elektro yang semula menyenangkan menjadi menyeramkan, penuh pembodohan, penuh bentak-bentak, dan dilengkapi acara penyetruman listrik. Betul, mahasiswa baru yang masih polos itu disetrum dengan listrik, walaupun arusnya masih kecil dan tidak mematikan. Entah jaman sekarang tradisi setrum menyetrum itu masih ada apa tidak. Yang jelas ketua KMTE setelah saya berkomitmen tidak akan melanjutkan ospek saya yang halus dan civil itu.

Pada akhirnya, kekerasan masih direstui oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, menurut saya, pembubaran IPDN bukan wacana main-main. Pemerintah perlu memotong budaya kekerasan. Selanjutnya, pemerintah dapat mentransfer mahasiswa IPDN yang tersisa ke universitas yang memiliki program administrasi publik guna memberi kesempatan para calon pamong praja untuk belajar di lingkungan yang lebih civil. Di masa yang akan datang dana untuk IPDN bisa dijadikan beasiswa pamong praja.

Tetapi saya tidak puas jika hanya IPDN yang ditindak. Pemerintah harus tegas menindak segala macam kekerasan. Dan membubarkan IPDN adalah cara yang tepat untuk memberikan contoh ke seluruh elemen rakyat bahwa segala bentuk kekerasan tidak dapat ditolerir, apapun alasannya.

Perlukah IPDN Dibubarkan?
Tagged on:         

33 thoughts on “Perlukah IPDN Dibubarkan?

  • April 20, 2007 at 12:57 am
    Permalink

    wah pertamax nihh….

    setuju aja IPDN dibubarin… uang hasil keringat kita masa diiklasin buat acara gebuk2an di IPDN.. mending buat yang lain aja…. okeh?

    Reply
  • April 20, 2007 at 1:23 am
    Permalink

    setuju mas, tuntutan pembubaran IPDN bukan hanya asal tuntut bubar dan selesai.
    setidaknya dengan adanya wacana kekerasan di dunia pendidikan ini akan membuat publik mulai “peduli”.
    dan semoga akan ada yang berani macam2 menerapkan kekerasan di pendidikan. bisa rame2 diganyang blogger. halah.

    Reply
  • April 20, 2007 at 3:50 am
    Permalink

    ehm, bubar??? hehehe,apa ga ada keputusan yg lebih bijak? ^_^

    Reply
  • April 20, 2007 at 8:06 am
    Permalink

    Bubarkan dulu biar biang kekejaman itu musnah, baru cari lagi cara cetak calon pemimpin yang baik dan benar.
    Uang rakyat kok diselewengkan buat biayain mencetak calon pemimpin rakyat bengis nan pembunuh.

    Reply
  • April 20, 2007 at 8:31 am
    Permalink

    susah jadi orang indonesia. mau breakthrough tapi mentok di tradisi.

    Reply
  • April 20, 2007 at 9:24 am
    Permalink

    ya sekalian aja pemerintahannya. bukankah semua pejabatnya produk dari ipdn?

    nah sekarang biarin “swasta” yang ngurus. pasti lebih efisien. buktinya perusahaan swasta lebih keren dibanding departemen2.

    gimana?

    Reply
  • April 20, 2007 at 10:01 am
    Permalink

    Tradisi yang kek gini ini yang harus diilangin, aku gak mao sekolahin anakku di indo deh klo gitu hi3..

    Reply
  • April 20, 2007 at 10:21 am
    Permalink

    hmmm…untunglah anak2 IPDN tidak cukup cerdas untuk menyerang balik dan menyebutkan daftar kematian mahasiswa baru saat ospek yang terjadi di universitas.

    Dukung pendidikan tanpa kekerasan, intimidasi dan manipulasi!!!

    Reply
  • April 20, 2007 at 10:36 am
    Permalink

    humm … kalau pihak-pihak yang melakukan kekerasan perlu dibubarkan tidak mon??

    Eh … Jangan-jangan (beberapa) mahasiswa itu anarkis waktu demo gara-gara didikan awal ketika masuk juga penuh kekerasan dan pembodohan kali yah … huehehehe …

    @kw
    keren juga tuh. Kalo misalnya negara ini diserahkan ke swasta semua aja gimana yah kekekek … negara swasta :)) j/k

    Reply
  • April 20, 2007 at 11:22 am
    Permalink

    Gak usah.. ubah aja lulusannya menjadi Satpol PP.

    Reply
  • April 20, 2007 at 11:56 am
    Permalink

    Mas Herman, makasih telah mendukung pembubaran IPDN.

    Saya juga sama dengan Sampeyan, sangat tidak setuju dengan ospek-ospekan di kalangan perguruan tinggi. Dalam pandangan saya, ospek yang selama ini dilaksanakan sangat tidak mencerminkan intelektualisme yang seharusnya dikembangkan di perguruan tinggi. Ospek yang selama ini dijalankan di perguruan tinggi saya lihat sebagai kegiatan yang hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah makan bangku sekolah sama sekali. Kegiatan itu tidak memiliki manfaat untuk mahasiswa baru yang akan menuntut ilmu di perguruan tinggi yang bersangkutan.

    Alhamdulillah waktu kulish di UPH dulu saya angkatan pertama sehingga tidak ada ospek. Saya juga tidak pernah mau melibatkan diri dalam kegiatan ospek karena malas kalau ujung-ujungnya dalam kegiatan ospek itu nanti akan ada kegiatan tidak bermanfaat untuk mahasiswa baru.

    Sudah saatnya kegiatan ospek di perguruan tinggi dilihat lagi apa masih perlu dilaksanakan. Kalau nggak ada manfaatnya kecuali buat melampiaskan niat mengerjai mahasiswa baru sih sebaiknya dihapus saja.

    Reply
  • April 20, 2007 at 5:56 pm
    Permalink

    Sebagai rakyat kecil yang menbayar Pajak , saya tdk ridho uang keringat saya dinngo ndidik preman -preman kemaki macam anak IPDN dan sekolah2 lain. Ini hanya pendapat pribadi saya, saya mencermati sipil yg diseragami pasti kementhus2 jangankan IPDN di salah satu sekolah kedinasan dekat rumah saya di Yogya saja, para mahasiswanya kalo jalan kaki mentang2 berseragam dan merasa sudah pasti jadi pemimpin ndak mau minggir tapi kalo ndak berseragam ngga berani, dulu pernah malah menendang adik wanita saya yg kebetulan melintas dengan motor dan dia merasa kecipratan air, setalah waktu itu saya kejar dengan golok dan tantang satu lawan satu sebagai laki-laki ,kabur terkencing2 dan besoknya orang tua saya kesana mengancam akan menuntut secara hukum (adik saya terluka karena tendangan si oknum calon pemimpin negara itu )pihak institusi minta maaf kepada kami.
    pengalaman lain tentunya banyak , Sipil2 berseragam yang lebih sok militer dari militer, para “pasukan” khusus partai politik misale atau SATPOL PP.
    Saya sendiri kuliah di UPN Yogya yang nota bene di jaman saya under DEPHANKAM dan dibina militer boleh percaya atau tidak di jaman angkatan saya masuk nda ada tuh OSPEK2an, baris baris sih ada tapi nda ada bentak bentakan apalgi pukul-pukulan tuh.

    Reply
  • April 21, 2007 at 2:18 am
    Permalink

    ospek2x-an masih ada ya ? orang kita kok seneng sih ngeliat orang laen tertindas, terlihat bodoh dan menderita ?

    dulu aku cuma disuruh nyanyi hikhik

    Reply
  • April 21, 2007 at 12:10 pm
    Permalink

    nanti lulus ipdn jadi stuntman pilm silat (lha biasa digebukin..)

    Reply
  • April 21, 2007 at 8:43 pm
    Permalink

    Setuju mas Herman, Eh iya mau nanya sama mas Norman, Dirimu masuk UPN angkatan brapa? Diangkatanku dulu baris iya bentak juga iya. Plus hari terakhir kerusuhan karena ada pertunjukan kekerasan dari panitia heuheuhe. Lumayan lah langsung bisa bales saat itu juga gak perlu nunggu adik angkatan :)

    Reply
  • April 22, 2007 at 9:17 am
    Permalink

    Pak Herman, maaf kalau menyinggung atau “off-side”, tapi kenapa kok masih ada OSIS segala sich tahun 2000an sekarang ini? Kalau mahasiswa bener mau demokrasi, kenapa tidak mulai di kampus dengan mengapuskan keharusan plonco. Dalam demokrasi, harus ada kebebasan memilih dan berpartisipasi (atau tidak) dalam organisasi2. [TH]

    Reply
  • April 22, 2007 at 12:02 pm
    Permalink

    setuju, mon. pokoke aku setuju :D

    Reply
  • April 23, 2007 at 11:45 am
    Permalink

    IPDN ga perlu dibubarkan.
    kalo dibubarkan sama aja dengan buang-buang energi dan materi.

    Mending orang-orang di dalamnya yang diganti bersama dengan sistem dan aturannya yang lebih tegas.

    Kaya Elang dan Semut. Nggak hanya me-metakan dan melihat permasalahan dari lingkup luas, tapi memperbaiki sedetail2nya dengan aturan yang tegas.

    Kalo aja orang-orang didalamnya, baik petinggi dan calon praja mengerti, STPDN yang sekarang jadi IPDN, adalah wadah membentuk para Birokrat, bukan Militan yang akan berdiri di depan garis perang, IPDN ga perlu dibubarkan.

    Masalahanya, mereka tidak mengerti.
    Solusinya, mereka perlu mengenyam kembali pendidikan SD dan mendalami kembali mata pelajaran ” Pendidikan Moral Pancasila”

    Reply
  • April 23, 2007 at 8:59 pm
    Permalink

    kalopun dibubarkan, beberapa daerah berencana membangun IPDN daerah…

    patah satu tumbuh seribu…
    sama aja bo’ong…

    kebiasaan itu udah mengakar dari jaman 70 ato 80-an…jadi kalo mo mengharapkan perubahan drastis, gak bakalan bisa.

    at least usaha kita sekarang untuk menghapus kekerasan di dunia pendidikan akan dirasakan minimal 5 tahun ato 10 tahun lagi.

    lama banget..
    But we’ve gotta make our move…

    IT’S NOW OR NEVER!!

    .:Reny:.

    renrendkv.blogs.friendster.com

    Reply
  • April 24, 2007 at 9:33 am
    Permalink

    @ bimosaurus *LOL*

    Loh kata pak SBY memang tidak dibubarkan… tapi tidak menerima mahasiswa baru.
    Kata gue itu tindakan bijaksana sekali (hidup pak presiden!). Lulusin aja dulu tuh yang ada. Terus mulai lembaran baru, sambil nunggu kita cari dosen-dosen yang baru dari swasta.

    Reply
  • April 24, 2007 at 9:00 pm
    Permalink

    Rupanya ada kecenderungan orang lama merasa superior terhadap orang baru, dan ternyata ini didukung oleh kultur kita. Lihat saja, OSPEK/Posma sudah ada sejak lama di hampir semua universitas tanah air. Setelah itu malah merambat ke tingkat SMA. Institusi “pinjam tangan” mahasiswa senior untuk mendidik dan mengkader mahasiswa baru. Sayang, prakteknya jadi meracuni junior untuk jadi kejam dan kasar.

    Reply
  • April 27, 2007 at 12:57 pm
    Permalink

    wah, bubar atau tetap sama aja…kalau yang membubarkan tikus itu tikus lagi mana ada perubahan…

    Reply
  • April 29, 2007 at 8:19 pm
    Permalink

    Praja IPDN Dan Kebohongan Publik
    *1. Kebohongan Publik*Pada acara Talkshow di Metro-TV, tanggal 25 April 2007 semalam yang dipandu oleh reporter 2-C (cerdas — cantik) Najwa Shihab, salah seorang praja IPDN mengatakan bahwa penyiksaan terhadap praja junior hanya dilakukan oleh OKNUM dan dilakukan pada MALAM hari setelah jam 10 malam. Memang dikira semua pemirsa televisi itu BUTA atau PIKUN barangkali? Tayangan lakon penendangan dan peninjuan terhadap praja junior yang sedang BERBARIS serta BERSERAGAM lengkap (bukan pakai piyama bukan?) jelas-jelas dilakukan pada waktu SIANG hari. Lakon ini telah ditayangkan oleh Metro-TV berulang-ulang kali. Hanya orang
    RABUN atau BUTA barangkali yang mau menelan kebohongan kasar bahwa adegan sadis itu dilakukan pada MALAM hari lewat jam 10. Atau adegan itu barangkali telah dilakukan di Kutub Utara saat matahari tidak
    terbenam beberapa bulan dan bukannya di Jatinangor. Jadi jelas sekali bahwa praja tersebut telah BERBOHONG kepada publik. Dan jangan enak-enak mengira bahwa suatu kebohongan publik tidak dapat/bakal disomasi oleh publik suatu saat nanti. Atau kemungkinan lain ialah ia (atau para praja lainnya) harus melafalkan dalih yang SERAGAM untuk disampaikan kepada publik apabila ditanya pihak luar atau saat diinterogasi oleh pihak yang berwajib.
    *2. Saksi Tidak Melapor*Reporter TV yang mengambil adegan tersebut telah melaporkan hasil karyanya ke stasiun TV yang mempekerjakannya. Hasilnya juga sudah ditayangkan kepada publik. Tetapi karena hal itu merupakan tindakan PIDANA kekerasan maka baik dilaporkan maupun tidak, para penegak hukum harus menyelidiki kejahatan tersebut. Demikian pula reporter TV tersebut seharusnya dapat menjadi SAKSI pelapor. Tetapi inipun tidak dilakukannya dan mengira tugasnya cukup hanya meliput saja.
    Dengan kemajuan teknologi IT sekarang ini dengan mudah wajah pelaku kejahatan itu dapat di zoom dan diidentifikasi dari antara kalangan praja senior maupun alumni IPDN.
    *3. Paradigma Yang Menyesatkan*Hampir semua pihak yang berkepentingan dengan IPDN menyatakan bahwa “bila hendak menangkap tikus tidak perlu sampai membakar rumah”.
    Di samping itu ada juga yang berpendapat “bukankah para tersangka sudah dihukum lalu mengapa lembaganya yang harus dilikuidasi?”
    Kedua paradigma ini sama MENYESATKAN. Kalau benar semua kejadian penyiksaan ini adalah karena salah sistem mengapa pasca kematian
    praja tahun 2003 kemudian terulang kembali kematian paraja pada tahun 2007? Bukankah sistem STPDN sudah diganti dengan sistem IPDN yang tentunya sudah harus jauh lebih baik. Ini BELUM berbicara tentang kematian praja lainnya yang melebihi angka puluhan menurut laporan dosen Inu.
    Dengan demikian jelas bahwa kejadian ini bukan sekedar EKSES daripada sistem melainkan sesuatu yang CACAT pada substansi lembaga itu
    sendiri.
    Akibatnya walaupun nama lembaga itu diubah-ubah berkali-kali tetap saja bakalan ada praja yang menjadi korban pati kekejaman para
    seniornya.
    *4. Penyesatan Pendapat Publik*Publik digiring supaya berpikir bahwa “tidak ada yang salah dalam substansi IPDN” itu sendiri, karena kesalahan hanya pada sistem operasional. Karena sistem selalu dapat diubah dan diperbaiki maka lembaga itu sendiri tidak sepantasnya dan tidak boleh dihapuskan. Kalimat yang kerap dipakai ialah: “Ini bukan soal apakah IPDN itu harus dibubarkan atau tidak. Kita masih sangat membutuhkan lembaga IPDN ini untuk mendidik para praja untuk mengisi tenaga birokrat negara kita. Kita perlu melihat permasalahan ini secara lebih komprehendif dan holistik.” Bukan main indahnya permainan kata-kata untuk tetap mempertahankan eksistensi IPDN ini, mau apapun namanya dulu dan kelak.
    *5. Ketidakseimbangan Praja Dengan Pamong*Isyu ketidakseimbangan ini memang NYATA. Namun, bila fokus terlalu ditekankan pada faktor ini maka saran perbaikannya tidak akan jauh dari PENAMBAHAN tenaga pengajar dan pamong. Artinya jumlah staf akan lebih membengkak lagi. Maka anggaran pendidikan yang akan dikucurkan ke proyek IPDN ini akan lebih MEMBENGKAK lagi. Mungkin diperlukan
    200 atau 300 milyar atau lebih setahunnya. Dengan demikian akan ada
    proyek baru yang akan “membahagiakan” banyak pihak sebagai bonus IPDN tidak jadi dibubarkan.* *
    *6. Berlindung Di Balik Peraturan Normatif*Semua orang juga tahu bahwa semua Peraturan itu selalu indah sebagai wacana di atas kertas. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, realitas dapat terjadi sebaliknya. Bila ada para praja alau alumni mencoba memakai argumen normatif dari peraturan yang berlaku di IPDN maka mereka telah MELECEHKAN kearifan publik. Misalnya, de iure
    semua praja sudah harus tidur pada jam 10 malam, namun secara de facto
    telah terjadi penganiayaan pada jam-jam tersebut. Bagi praja dan publik
    yang penting ialah REALITAS di lapangan dan bukan kata-kata indah di lembar-lembar peraturan.Jelas bahwa tindakan penyiksaan itu dilakukan oleh OKNUM walaupun oknumnya BANYAK sekali. Kecuali kalau SEMUA praja senior terlibat barulah dapat dikatakan bahwa penyiksaan itu BUKAN dilakukan oleh oknum melainkan dilakukan oleh SISTEM.
    *7. Praja Lebih Takut Pada Senior*Ini suatu gejala yang sangat aneh dan berbahaya. Artinya dosen tidak memiliki wibawa yang dibutuhkan. Dosen tidak menjadi tokoh yang disegani atau untuk diteladani boro-boro untuk dicintai. Penyiksaan terjadi tanpa sepengetahuan dosen/dekan/rektor — katanya — dan bila itu benar maka artinya kepemimpinan mereka sangat tidak efektif.Dengan fakta bahwa ada dosen senior yang terlibat dalam kasus pidana penyediaan dan penyuntikan formalin kepada Cliff Muntu untuk mengaburkan jejak penyiksaan membuktikan bahwa isyu “dosen tidak
    tahu” itu harus dibaca lain sebagai “dosen pura-pura tidak tahu”, “tidak perlu tahu” atau “kalaupun tahu bisa apa mereka?”.* *
    *8. IPDN Itu Lembaga Ilegal*Mengapa dikatakan ilegal ialah karena bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Di luar Akademi Militer dan Kepolisian semua lembaga pendidikan harus berada di bawah naungan Departemen Pendidikan. Jadi IPDN tidak seharusnya berada di bawah Departemen Dalam Negeri seperti sekarang ini.
    Pilihan alternatif yang seperti disebut oleh Gubernur Kalteng supaya pendidikan praja ini dilakukan pada tingkat propinsi atau regional juga salah kaprah bila masih berada di bawah Depdagri. Hal itu baru menjadi benar dan legal kalau dalam bentuk Akademi Ketataprajaan yang berada di bawah Departemen Pendidikan secara desentralisasi.
    *9. Isyu Pembangunan Spirit Kesatuan dan Persatuan Bangsa *Argumen yang tidak kalah lucunya ialah IPDN dirancang menumbuhkan
    jiwa persatuan dan kesatuan di kalangan para alumninya. Alasannya karena calon pamong praja dari seluruh pelosok Indoensia ditempa bersama dalam ‘semangat keprihatinan’ di IPDN sehingga merasa seperti bersaudara. Argumen yang sangat lucu karena para anggota Paskibraka tahunan yang digodok hanya sebulan saja juga telah mampu membangun semangat solidaritas semacam itu. Demikian juga dengan para alumni Akademi Militer telah mampu memangun spirit yang sama.
    Para praja junior yang disiksa habis-habisan oleh seniornya dalam masyarakat nantinya justru selalu akan memendam rasa dendam kepada mereka; alih-alih merasa bersaudara. Misalnya, senior A yang dari propinsi X itu dulu yang telah menendang ulu hati saya sampai saya mengalami pendarahan akut, maka seumur hidup saya tidak akan
    melupakan peristiwa naas itu.
    *10. BPK dan KPK Harus Mengaudit Dana IPDN*Uang rakyat yang dibelanjakan untuk mendidik paraja IPDN bukan jumlah yang sedikit karena mencapai angka 150 milyar setiap tahunnya.
    Tahukah publik bahwa banyak propinsi yang APBDnya saja kurang dari 5 milyar setahun? Jadi angka 150 milyar itu dapat dipakai untuk APBD berapa banyak Kabupaten dan Kotamadya untuk tujuan pembangunan yang lebih bermanfaat bagi rakyat? Angka 150 milyar itu artinya IPBN membelanjakan uang sebesar 12,5 milyar per bulan atau rata-rata 420 juta per hari? Lalu mengapa mereka masih tidur bersesak-sesakan seperti ikan dalam kaleng sardencis? Ke maan saja dana itu dibelanjakan ataukah di sana juga terdapat banyak tikus berkeliaran?Kalu dihitung-hitung berapa total biaya pendidikan rata-rata seorang praja itu sampai ia tamat? It’s worthwhile?
    *11. Mengapa Sampai Perlu Akademi Khusus?*Ilmu apa yang tidak dapat diajarkan di Perguruan Tinggi atau Akademi pada zaman sekarang ini? Ilmu apakah yang demikian istimewa dan khasnya sampai-sampai hanya dapat diajarkan di kampus IPDN saja
    secara eksklusif? Apa semua negeri lain di dunia ini memiliki lembaga
    khusus semi-militer seperti IPDN ini? SMA Nusantara juga semi-militer
    tetapi tak ada kabar siswa yang mati dibantai senior mereka. Saya sangat yakin bahwa jawabannya serba negatif. Karena negara Indonesia sangat luas dan heterogen? Apakah situasi semacam itu hanya monopoli Indonesia? Apakah Amerika Serikat, India, Rusia atau Cina tidak sama heterogennya? Apakah lalu ouput IPDN merupakan praja dengan dedikasi dan performance yang lebih baik dari para praja di negara-negara lain? Rasanya kok tidak demikian dan masih sangat jauh dari kualitas rata-rata dalam realitasnya. Kita semua masih ingat pemeo: “Kalau dapat dipersulit mengapa dipermudah?” Padahal para praja negara lain berlomba-lomba untuk memberikan public service yang cepat, efisien, ramah dan low cost. Untuk memperpanjang Permanent Resident di Amerika saja kata seroang kawan ternyata sangat simple dan cepat.
    *12. Seragam Oriented Yang Gigih Dipertahankan *Menurut laporan Rektor baru IPDN ternyata SEMUA praja berkeberatan
    dan menolak menanggalkan seragam dan atributnya. Fenomen ini jelas menunjukkan bahwa paradigma berpikir semi-militerisme di kalangan praja sudah solid terbentuk. Tanpa seragam dan atribut maka mereka sama saja dengan mahasiswa akademi dan perguruan tinggi lainnya.
    Tidak ada kebanggannya sama sekali. Perlu diingat bahwa bahkan para Hansip saja sangat concern dan bangga atas seragam hijaunya. Begitu pula dengan para pemuda ormas model banser dengan seragam lorengnya.
    Alasan bahwa bila seragam dihilangkan akan membuat dosen dan publik BINGUNG mana yang praja atau bukan, adalah suatu dalih yang sangat dangkal, naif dan dicari-cari. Di kampus UI Depok terdapat ribuan mahasiswa dan tidak ada kebingungan para dosen seperti itu karena masing-masing mahasiswa tahu mana fakultasnya dan mana ruang kuliahnya. Lagi pula
    tidak ada orang awam yang ingin masuk ke kampus IPDN untuk dibantai
    oleh mereka yang merasa diri mereka senior. Kalau ada yang sampai
    berani masuk ke kampus itu pastilah nasibnya lebih buruk bila
    dibandingkan nasib maling sepeda motor ojeg yang ketangkap basah…
    *13. Resistensi Yang Dapat Dipahami*
    Adakah alumni suatu Akademi atau Universitas yang rela kalau Alma
    Maternya sampai dibubarkan? UI? Unpar? Unpad? ITB? ITS? Unair?
    Relakah? Jawaban semuanya ialah tentu tidak rela. Jadi dapatlah dipahami mengapa para alumni termasuk wakil ketua umumnya begitu
    gigih mempertahankan opsi reformasi daripada likuidasi sekalipun IPDN itu ilegal statusnya. Maka siapapun yang terlibat dalam urusan reformasi apalagi likuidasi IPDN ini haruslah bersikap dan bertindak sangat cermat, adil dan bijaksana sekaligus tepat guna tentunya.Kita tidak perlu terlarut-larut oleh dikotomi apakah IPDN perlu dibubarkan atau tidak, karena jelas tidak ada pilihan ganda dalam kasus ini kecuali kalau tetap mau melanggar UU yang berlaku. Juga kalau ada pihak elit yang gigih ingin mempertahankan ‘comfort zone’ tertentu karena adanya kepentingan khusus mereka di dalamnya. Namun demikian biarlah Tim yang dipimpin oleh pakar Ryaas Rasyid melakukan tugasnya genap dua bulan sampai mampu memberikan saran dan solusi
    yang KOMPREHENSIF kepada Presiden. Biarlah masyarakat yang akan menilai apakah tindakan NYATA Presiden nantinya akan sesuai dengan harapan MASYARAKAT banyak atau hanya demi kepentingan sekelompok oknum elit politik tertentu.

    Reply
  • May 1, 2007 at 6:53 am
    Permalink

    Menurut perhitungan, bangsa kita sudah merdeka > 60 thn yl. Itu waktu yg sudah cukup lama. Kalu diukur dgn usia orang, sudah tua bau tanah, menjelang mati. Tapi untuk ukuran kemerdekaan “bangsa” Indonesia, masih muda. Jangan2 malah belum. Begini nalarnya.
    Ciri2 atau tanda2 orang baru merdeka adalah ingin berkuasa atau menguasai. Carilah kemanapun, persoalan baru merdeka adalah kekuasaan. Contohnya yo tetangga kita sendiri. Orang baru merdeka ingin berkuasa. Mengapa? Ya jelas to, sebelum merdeka kan dikuasai terus2an. Jadi setelah merdeka yo gantian ingin berkuasa atau menguasai. Celakanya di Indonesia banyak hal yg semu, tdk riil. Banyak hal yg menggunakan “rasa”. Contohnya, kalo mau menikmati rasa daging ayam atau daging sapi, cukuplah makan mie “rasa” daging ayam, atau daging sapi. Kita sudah terbiasa menikmati hal2 semu. Maka demikianlah ketika mereka2 tdk atau belum bisa meraih kekuasaan yg sesungguhnya, merekapun menggunakan kekuasaan semu. Kekuasaan palsu. Apa itu? Ya sok berkuasa ala ploncoan itu (bhs kerennya OSPEK). Dlm ploncoan mereka kan “berkuasa” scr semu. Betul2 irasionil. Bgmn mungkin lembaga pnedidikan yg ber7an memintarkan anak didik menggunakan gaya pembodohan. Membentak, menabok, menempeleng, mendugang, menendang, meninju, memukul, …, bukanlah cara mendidik anak menjadi pandai. Sebaliknya, dari semua tindakan itu hanya akan muncul dendam dan masa bodoh. Setahu saya mereka yg main bentak itu goblok2 ko. Kebanyakan IP-nya ngepas. Mungkin terus pelarian kali ya. Biar disangka oleh mhs baru “Weh mas iki, huebat lo!?”
    So, saya setuju bahwa IPDN tdk perlu dibubarkan, tetapi perploncoan atau OSPEK itu harus dibubarkan. Menurut saya hukumnya sudah “wajib” dibubarkan (bukan lagi “sunnah muakad”). Sebagai lembaga, IPDN memang ada masalah sejak lahir. Lihat saja, mhs-nya kan keturunan penguasa-pengusaha atau penjabat-penjahat. Tapi bisa didandani (mungkin perlu lembaga semacam KPK).

    Tapi ada masalah untuk membubarkan plonco mas. Mhs itu kadang2 smart juga. Mrk minta ijin acara pengabdian masy dlm bentuk kemah bakti dlsb. Ujung2nya yo ploncoan iku. Rektor, Dekan, Kajur, dho ra ngerti. Kalo pun ngerti juga gak berkutik. Di universitas ada lingkaran setan begini: mhs takut sama dosen (berani nggak lulus?), dosen takut sama pimpinan (dekan, rektor), dekan-rektor takut sama mhs. (Yo jelas to, gimana rektor gak takut sama mhs, hla wong presiden Soeharto saja sampe terguling je). Jadi, mungkin MUI perlu mengeluarkan fatwa bahwa plonco alias ospek itu haram hukumnya. Kyai mana ya yg berani mengeluarkan fatwa begini??? (Maksudku tdk hanya kiyai Islam tapi semua tokoh agama)

    Reply
  • August 25, 2007 at 4:18 pm
    Permalink

    Menurut saya, mungkin sulit untuk begitu saja membubarkan IPDN. Lha yang sekolah di sana banyak anaknya pejabat……. Tapi saya salut kalo ada pejabat yang anaknya sekolah di sana ikut memberi dukungan untuk pembubaran IPDN, karena IPDN hanya melahirkan generasi yang statis. Yang ada dipikiran mereka hanya menjadi PNS. Ga kreatif sama sekali, mental-mental pemalas kelas tinggi…..

    Reply
  • April 15, 2009 at 10:21 am
    Permalink

    GiniE….
    wAjaR sIe Klo CommEnt Anda2 SmUA pd nEgatif.
    Qita SbgAi PraJA IPDN teteP ONE CORPS ONE NATION!!!!!!

    tP tELusuRin lAGi DoNK kLo gA sMuanya Kaya getoooo…
    cUMa OknuM dOAnK !!!

    Reply
  • May 1, 2009 at 2:04 pm
    Permalink

    IPDN sebuah kampus kekerasan yang menggila sesuai dengan negaranya yang semakin menggila pula. Baru menjadi Calon-calon pemimpinnya saja sudah bertolak ponggand apalagi kalo sudah jadi pemimpin. IPDN lebih baik dibubarkan dan diserahkan fungsinya kekampus2 lain dengan membentuk fakultas pendidikan dalam negeri. IPDN merupakan sarang preman berseragam yang jauh lebih ksadis dari preman pasar.

    Reply
  • May 1, 2009 at 2:10 pm
    Permalink

    Sebagai warga pendidikan dan memiliki intelektualitas yang tinggi, rasanya sangat memalukan dengan masalah-masalah yang terjadi di IPDN. jangan biarkan pendidikan dikotori oleh org2 yang kotor dan picik dalam berfikir. IPDN saya sebut sebagai institut ilmu pembunuhan dalam negeri (Sorry but it’s real). segeralah bubarkan kita tidak perlu dengan calon pemimpin yang tidak bermoral yang hanya mengandalkan otot dari pada otak. Simbol atas peristiwa IPDN harus menjadi cermin bagi kampus2 lain. Alihkan fungsi IPDN ke kampus-kampus. Sayang sekali kalau anggaran yang digunakan untuk anak-anak IPDN dan ternyata tidak bersyukur. . dan hanya mencoreng nama baik negara kita.

    Reply
  • March 20, 2010 at 6:50 pm
    Permalink

    ayo dukung dan kunjungi pameran budaya SMA 3 Yogya… ANGKRINGAN BUDAYA… ini bukti bhakti muda pada Indonesia, bukan cuma gengsi2an. ini sebuah gerakan budaya, mungkin tidak terlalu besar, tapi sesuatu yg besar dimulai disini… ayo lestarikan budaya kita yg kita cintai….

    @benteng Vredeburg 4-8 april 2010

    Reply
  • May 1, 2011 at 5:36 pm
    Permalink

    Online educational programs can provide students with the necessary skills to pursue careers as paramedics. Customers or merchants will drop bottles.

    Reply
  • September 4, 2015 at 10:35 pm
    Permalink

    Setuju ipdn dibubarkan banyak kolusi dan nepotisme dalam perekruta ipdn coba chek banyak anak sekda atau pejabat daerah yg kelulusanny masuk ipdn yg tidak jelas

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.