Sejak hasil Ujian Nasional SMU dipublikasikan Senin lalu dan banyak siswa yang tidak lulus karena nilainya dibawah 4.25, bertubi-tubi kritikan terus melayang ke pemerintah. Mulai dari “tidak sensitif terhadap permasalahan”, sampai ke “pemerintah melanggar HAM!”. Sayangnya hampir semua kritikan tidak konstruktif. Misalnya, pernah ada siswa yang memprotes kenapa belajar 3 tahun ditentukan 3 jam? Ada juga yang protes kenapa kelulusan ditentukan hanya dengan 3 mata pelajaran.

Kalau ujian 3 mata pelajaran saja tidak lulus, kalau ditambah lagi, jangan-jangan semakin tidak lulus?

Ujian 3 jam untuk menilai proses belajar 3 tahun juga tidak dapat terlalu disalahkan. Tentu saja hasil ujian nasional bisa lebih mencerminkan kualitas akademik siswa kalau frekuensinya lebih sering (contoh: 3 bulan sekali). Tetapi dengan kekurangan anggaran nasional yang terus terjadi, akan terasa lebih pantas kalau dana pemerintah dipakai untuk memperbaiki kualitas guru dan sarana pengajaran.

Ini kembali mengingatkan kita kalau UN bukan masalah gampang. Di satu sisi eksekutif ditekan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dan di sisi yang lain juga dituntut untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa.

Ada dua rantai dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pertama meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri, dan yang kedua adalah mengevaluasi output dari hasil pendidikan, antara lain dengan UN. Jika kualitas sudah diupayakan untuk meningkat, tapi tidak pernah dievaluasi, lalu dari mana pemerintah tahu kalau kualitas pendidikan sudah lebih baik. Kalau sudah dievaluasi, dan siswa-siswa yang kualitasnya dibawah standar tetap diluluskan, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik.

Atau standarnya diturunkan? Nilai minimum 4,25 saja sudah terdengar sangat rendah, kalau diturunkan berarti kualitas akademik pelajar Indonesia semakin rendah. Atau standar kelulusan ditentukan secara regional (apalagi dengan semangat otonomi daerah)? Berarti si Fulan bisa jadi orang pintar di provinsi A tapi jadi orang geblek di provinsi B. Bukannya seharusnya kepintaran adalah sesuatu yang universal?

Oleh karena itu, ujian nasional harus tetap diadakan, dengan standar (yang kalau bisa) terus menerus dinaikkan. Tetapi ini tidak berarti pemerintah tinggal berpangku tangan, karena anda, pemerintah, punya ujian yang jauh lebih berat, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan.

Dilema Ujian Nasional (UN)
Tagged on:

34 thoughts on “Dilema Ujian Nasional (UN)

  • June 25, 2006 at 12:58 pm
    Permalink

    Ujian nasional memang perlu dilaksanakan sebagi evaluasi. Tp evaluasi jangan spt menjadi hukuman lulus dan tidak tanpa ada kesempatan memperbaiki. Untuk itu evaluasi tdk cukup hanya 1 kali pada kelulusan tp minimal sejak klas 1. Dengan begitu sekolah (guru, murid dan wali murid) mempunyai kesempatan untuk menyiapkan diri, mengevaluasi apakah yg proses pembelajaran sudah sesuai dengan yang digariskan (standard) pemerintah. Jika tidak/belum masih ada waktu untuk memperbaikan dan meningkatkannya, shg pd evaluasi terakhir (UN) tidak perlu terjadi lagi kasus serupa tahun ini. Hingga akhirnya semua sekolah mempunyai kualitas yang seimbang/setara. TIdak hanya setara dalam kurikulum, tp juga setara dr cara pembelajarannya, dan outputnya.

    Reply
  • June 25, 2006 at 3:34 pm
    Permalink

    huehehehe.. nulis juga akhirnya bab UN. Uh, nyontek ideku lagi..

    Hehe..

    Ya, wacana sistem pendidikan kita yang agak-agak emang udah agak basi aku pikir. Tapi walopun dah basi, tetep aja gak dibuang-buang.. Masalah klasik ya..

    Kayaknya udah ada usulan kebijakan baru, kalo bakal ada UN susulan tapi khusus yang udah ketrima di perguruan tinggi.

    Gak tau deh, jalan apa gak itu usulan..

    Reply
  • June 26, 2006 at 8:55 am
    Permalink

    Yang tidak lulus kurang dari 10%, menurut Kompas (20/6) dari seluruh siswa yang mengikuti ujian. Jadi aneh kalau UN dipermasalahkan. Lah, yang lulus lebih dari 90% kok!

    Namun, Kompas (23 atau 24? lupa gue /6 CMIIW), juga secara berimbang memuat pertanyaan ttg Sistem Bimbel dari guru-guru yang sebenarnya adalah bocoran dari soal-soal UN hampir 50% soal). Nah ini topik yang menarik.

    Iseng2, saya ngobrol ama Om Google, dan dikasih tahu salah satu bacaan menarik ttg kecurangan dalam pelaksanaan UN di http://www.sampoernafoundation.org/content/view/376/48/lang,id/

    …berbagai kecurangan muncul dalam pelaksanaan UAN, seperti membiarkan siswa menyontek, bocoran jawaban melalui layanan pesan singkat telepon seluler, sampai koreksi jawaban siswa oleh guru sebelum lembar jawaban diperiksa. Di beberapa tempat, guru membiarkan siswa menyontek meskipun situasi tersebut menjadi pertengkaran antara guru dan pengawas.

    Reply
  • June 26, 2006 at 9:57 am
    Permalink

    Setuju…. :) Masalahnya, kalau semata-mata penentuan kelulusan diberikan pada sekolah, aku rasa sih NGGAK akan semua sekolah itu jujur. Ini kan kembali ke sistem yang lama, dimana kelulusan ditentukan juga dengan nilai pada caturwulan I dan II (pas itu masih sistem caturwulan, belum semester) kelas terakhir (SD kelas 6, SMP/SMA kelas 3). Aku denger dulu banyak sekolah yang mempermainkan nilai siswa disini, misalnya aja waktu kelas 5 pelajaran matematika di raport mendapatkan nilai 5-6, tapi begitu di kelas 6 nilainya bisa mencapai 9 (jadi kalo UAN/EBTANASnya dapet nilai 2-3 pun nggak masalah, PASTI masih lulus). Jadi, aku rasa kalau penentuan kelulusan diberikan pada sekolah juga agak nggak valid karena sekolah sangat mungkin untuk mempermainkan nilai. Memang nggak semua sekolah seperti itu, tapi nggak ada yang menjamin kan??

    Reply
  • June 26, 2006 at 12:40 pm
    Permalink

    emang jadi dilema buat kita semua. Katanya pingin peringkat pendidikan Indonesia meningkat, eh giliran begini banyak yang protes juga…bejo banget taon wingi durung ana ketentuan ngene iki(fiuhhh!:D)
    tapi gimana juga kasian banget yang anak UN b.ing dan B.ind dapet 9 tapi matematika dapet 3,..

    Reply
  • June 26, 2006 at 3:32 pm
    Permalink

    Kalo menurutku kita gak usah men-sakralkan kenaikan kelas, ujian nasional dsb…sehingga anak gak begitu merasa ‘paling menderita sedunia’ ketika mereka gagal. Plus, pendidikan juga harus mendidik para siswa/mahasiswa untuk berjiwa besar. Memberikan kompetisi memang bagus, tapi ingat manusia itu berbeda-beda kelebihannya. Kita harus mendukung semua manusia.. bukan cuma yang punya bakat-bakat akademik saja…

    Mmmmhh maaf tapi aku blm bisa ngasih contoh konkret dukungannya kaya apa, dulu waktu kuliah di MIPA gak diajarin sih :D

    Reply
  • June 27, 2006 at 7:47 am
    Permalink

    nilai 4.25 standar kelulusan matematika itu, artinya asal siswa menjawab 13 benar dari 30 soal yg diberikan sudah lulus.

    13 benar doang! silahkan yg sisanya kosongkan sudah lulus.

    Reply
  • June 27, 2006 at 8:38 am
    Permalink

    Dari penelitian di Amerika diketahui bahwa ada 100 faktor yang menentukan pencapaian keberhasilan hidup. Faktor “IQ yang tinggi” berada pada urutan 21, masuk sekolah top pada urutan 23, dan lulus dengan nilai sangat baik atau cum laude pada urutan 30. Faktor-faktor sukses yang menempati urutan 1 hingga 10, yaitu: (1) bersikap jujur kepada semua orang; (2) mempunyai disiplin yang baik; (3) pintar bergaul; (4) bekerja lebih keras daripada orang lain; (5) memiliki semangat/kepribadian yang sangat kompetitif; (6) memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan kuat; (7) mengatur hidup dengan sangat baik; (8) memiliki kemampuan untuk menjual ide atau produk; (9) melihat peluang yang tidak dilihat orang lain; dan (10) berani mengambil risiko keuangan bila memberikan hasil yang baik.

    Adi W Gunawan
    “Apakah IQ anak bisa ditingkatkan?”

    Reply
  • June 27, 2006 at 10:06 am
    Permalink

    kebijakan pemerintah memang sering menimbulkan kontroversi. ungkapan “ganti pemerintahan ganti kurikulum” kayaknya harus segera dihentikan. padahal sepertinya kurikulum-kurikulum yang diganti “tidak bermasalah”. bisa jadi ada kepentingan tertentu, seperti contohnya pada PSB Online yg mengeruk keuntungan dari sistem sms itu..

    kadang orang pintar membuat suatu peraturan bodoh..

    tetapi bagaimana pun juga.. Indonesia tetap tanah airku..

    :)

    Reply
  • June 27, 2006 at 11:10 am
    Permalink

    sebenernya mungkin yang bagus itu kalau ujian nasional dibuat sama, tapi passing grade ditentukan per provinsi. kalau gini, nantinya akan ada persaingan antar provinsi. provinsi yang passing gradenya lebih tinggi artinya kualitas pendidikannya lebih baik.

    kalau sekarang gak adil. passing grade DKI jakarta sama dengan papua, tapi fasilitasnya jauh beda.

    Reply
  • June 27, 2006 at 11:41 am
    Permalink

    Hmm…mungkin harus lebih dicari bentuk terbaik dari tes akademik, karena pemerintah tentunya harus berpikir, kalau seluruh nasib masa depan siswa ditentukan pada tes 3×2 jam, lalu apa gunanya 3 tahun belajar penuh? Mending yang 2 tahun setenagh kita belajar alakadarnya aja biar naik kelas, terus belajar mati2an plus belajar ilmu tebak2an biar lulus.

    HIks….2 tahun lagi gw UN….T_T

    Reply
  • June 27, 2006 at 2:07 pm
    Permalink

    saya kok kurang setuju ya dengan model ujian yang cuma sekali aja.
    pertama ini akan sangat riskan. misalnya gini; momon tuh siswa yang cerdas, pinter, rajin. pr selalu dikerjain, tugas selalu di selesaikan dengan memuaskan. pokoknya si momon tuh siswa teladan. tapi pas hari pertama ujian dia diputusin ceweknya, akibatnya ketika momon naik sepeda ke sekolah dia ga konsentrasi dan ketabrak mobil. dia harus di rawat 1 bln di rs. sardjito. ga sempat lagi ikut ujian susulan.
    akhirnya ga lulus deh……
    kasian ya si momon.

    beda mungkin kalo sistem penilaiannya dilakukan secara “berkesinambungan” selama 3 tahun momon sekolah.
    pasti prestasinya bakal jadi bahan pertimbangan walopun dia ga ikut ujian akhir.

    tapi yang lebih penting menurut saya adalah masalah mental.
    sistem penentuan kelulusan yang tidak ditentukan hanya dengan sekali ujian di akhir periode sangat mungkin menjadikan siswa lulusan sekolah menjadi manusia yg ga bersifat “instan”, prestasi harus capai dengan usaha yg terus menerus.
    ????????? gimana???

    Reply
  • June 27, 2006 at 4:53 pm
    Permalink

    Adikku juga pernah mengalami problem dengan UN ini (jaman dulu pas namanya EBTANAS).

    Waktu itu dia adalah juara sekolah (nilai terbaik), tapi nilai NEM-nya dicut sekian poin, entah apa sebabnya.

    Entahlah, saya juga masih bingung dengan sistem pendidikan di negara ini. UU-nya saja sudah nggak beres, nggak heran muncul problem spt ini.

    Mon, nonton Supermannya di Solo aja piye ? :D

    Reply
  • June 29, 2006 at 12:28 am
    Permalink

    Komen OOT:

    Aku gak daftar UM, soalnya emang ga pingin kuliah di Jogja sih… :)

    Reply
  • June 29, 2006 at 5:51 pm
    Permalink

    masalahnya di prosedur penilaiannya saya rasa. Kalau sudah benar (jujur) ya udah lah. Wong cuma 4,25 untuk 3 mata pelajaran.

    Reply
  • June 30, 2006 at 7:32 am
    Permalink

    Bikin sebuah standar kelulusan nasional tapi kok perangkat pendidikan yang digunakan ndak standar. Kemampuan mendidik/mengajar dari para guru sudah beda. Fasilitas pendidikannya pun beda. Lha gimana mau di-benchmark? Not fair.

    Mari kita doakan semoga JK tersadar dan memberi kesempatan lagi. Should never stop hoping!

    Reply
  • June 30, 2006 at 4:14 pm
    Permalink

    belajarlah menerima kegagalan
    belajarlah melawan ketidak adilan

    Reply
  • July 2, 2006 at 10:33 pm
    Permalink

    Hhh..Topik ini lagi. Capek tau bahasnya. Teteeeeep aja ga ada endingnya.

    Hmm, inilah aku yang baru saja lulus SMA. Aku merasakan sendiri gimana pemerintah selalu “bermain” dengan pendidikan di Indonesia. Di sekolahku, yang bisa dibilang favorit di Semarang aja yang ga lulus sampe 11 orang. Padahal diantara 11 orang itu ada temen2ku yang juara kelas !! Ada yang udah ketrima di HI UGM !! Nah lo… Dan yang membuatku bete adalah ketika SMA-ku dibandingkan dengan SMA lain yang belum KBK atau sudah KBK tapi beda standar. Padahal ya, soal UN untuk sekolah KBK dan nonKBK tu jelas beda !! Yang sekolah sama2 KBK tapi beda standar aja udah beda soalnya !! Koq bisa gitu aku juga kurang ngerti.

    Pemerintah yang aneh.

    Reply
  • July 3, 2006 at 4:10 am
    Permalink

    UAN kayaknya jadi dilema, kita bisa pro dan bisa kontra juga. Klo menurut gw ne, nilai UAN seseorang tidak hanya ditentukan lewat kecerdasan, bisa aja untung2an, or nyontek juga. Tapi meski ada kasus dimana guru ngasi kesempatan buat nyontek,ngerpek,sms, tapi tetep aja ada yang ga lulus. adanya kenaikan nilai standar kelulusan siswa maksudnya kan buat ningkatin kualitas SDM generasi muda kita yang harusnya bisa bersaing dengan SDM dari negara lain, tapi ada aja yang komentar nginjek2 HAM siswa. Aneh ya. Gimana bisa berkembang ni Indonesia klo masih ada orang punya pikiran kaya gitu…

    Reply
  • July 19, 2006 at 5:46 am
    Permalink

    Pengen ikutan ah. Gw jarang nonton tv so gak bgitu tau berita aslinya kyq gmn. cuman ada temen yg crita, bgini neeh critanye “Yg bener aja masa ada kjadian anak yg ranking mulu gak lulus, trs yg *biasa-biasa* bs lulus”. Wezzz … ntar dulu bro jgn emosi dunks. Okehhh … kite runut nich kjadian….

    1. Orang Tua selalu … alwayz pengen anaknye *KUDU* dapet nilai bagus (biar bisa nyombong neeh critanye), so anaknye disuruh ikut sgala les n bimbingan blajar.

    2. Orang Tua selalu … alwayz pengen anaknye *KUDU* masuk IPA biar bgengsi, padahal anaknya jelas2 kgk demen IPA2-an

    Akibatnye {mungkin … (ini bdsarkan pengamatan gw di lapangan slama kuliah n ngeliat temen2 yg waktu SMA *hoby ikutan kursus, bimbel, TO, dll* –ck…ck…gak menikmati bgt sich SMA–)}

    1. Anak bljr buat ngejar nilai biar Bonyok kgk mencak2 n biar bgengsi, bukan krn die pengen tau, akibatnya biar nilainye bagus sgala macem diapalin. Ujung2nye, okeh … nilainye keren booo … tp otaknye kosong, kgk ngarti yg die plajarin tuh apaan

    2. Akibat dari ikutan kursus, bimbel, TO. Anaknye pinter … tp pinter karbitan. Okeh die jago dunks ngerjain Math,Phys,Chem -MAFIKI- (terutama Math) … tp [maap kbnyakan tp] cuman jago gara2 ngapalin cara cepet n kgk ngarti kalo Math is all about problem solving n logycal analysis…so bgitu nemu case yg gak pernah dia temuin di bimbel,kursus,dll … then Check Mate

    Pengalaman … he3, boleh yaq bg2 pengalaman …

    1. Gw kgk pernah ikutan bimbel,kursus,dll (bukannye sok pinter, tp emank malez n untungnya BONYOK jg kgk pernah tuh nyuruh … asik jaman SMA maen abiez)

    2. Gw waktu SD dah diajarin ama Bokap, klo bljr math (trutama bgt perkalian, beuh bt bgt dulu nich pas SD) *kudu* jgn diapalin rumusnye tp dipahamin, klo diapalin kgk bakal pernah bs Math. Nah … klo ktauan ngapal dijitak n kgk boleh maen sega 1 minggu penuh (msh jaman sega gw dulu)

    3. Pas SMP dah krasa klo gw emank kgk bakat ngapal (IPS jeblok smua dah). Jdnya pas skolah (klo lg gak bolos buat nongkrongin ding-dong) gw perhatiin tuh bener2 biar ngarti, klo kgk ngarti gw nanya dah ke gurunya…knp sich rumusnya kudu bgitu ? drmn sich dptnye ? (klo dah ktalar sendiri ya … gw diem aje, klo kseringan nanya BT jg tuh gurunye)

    4. Gr2 kbiasaan buat brusaha nalar make otak n kgk ngapal, jdnye pas gw EBTANAS bs puas2in dah nonton Final Champion pdhl paginya kudu EBTANAS Math. N hasilnya jauh dr memuaskan (Padahal gw hampir kgk pernah masuk 5 besar kelas)

    So bs aje yg ranking itu krn die emank ngapal bgt materi waktu tes knaikan kelas…but edun aje ngapalin materi 3 taon buat EBTANAS —skrg UAN yaq ?— Salut euy yg sukses dng cr bgini.
    Trs bs aje yg *biasa-biasa* tuh emank gak ranking krn die gak pernah ngapal tp brusaha buat mahamin apa yg die plajarin.
    (Tarohan da yg kyq gini bljrnya, jarang2 nilai di bwh 6 biarpun bnykan mah 7 … he3, pengalaman neeh), so pas UAN nyante2 aje die tinggal review dikit … udeh deh inget lg smua.
    Ya gak ??? maybe … its just my opinion. yg gak stuju ya silakan

    Trs … [trakhir neeh, klo dah bosen baca maap yaq] Plz dunks Math (knp gua ngomong Math mulu, soalnye bnyk yg kgk lulus gr2 ini, lgan gua alumni math … boleh dunks) jgn dijadiin setan-lah. Math itu jd setan klo elu2 smua brusaha buat ngapalin tuh rumus2 (ya iye gak bakal bs org bukan bhs manusia, bhs dewa ntu). Samain aja ama bljr filosofi … dipahamin n ditalar problemnya biar ketemu solusinye. bukannya ngeliat problem (soal) trs mikir hmmmm … rumusnya paan yaq ? beuh … gak bakal nemu udeh rumusnye klo pas ujian n tegang.

    He3 … bingung mo nulis apa lg. Maap yaq buat yg punya blog … udeh ngetik panjang2, gi isenk neh subuh2.

    Tulisan ini bukan buat mrotes ato nyalahin pihak2 tertentu … gw tau sistem pendidikan qta ancur (total). but bukan brarti sistem itu kudu terus disalahin khan. Maybe … just maybe … qta butuh refleksi … apa bener sich sistemnya doank yg salah ?
    Klo emank sistemnya satu2nye yg salah … then what next ? maybe … just maybe we need revolution, coz satu sub-sistem gak bakal bs dirubah tanpa ngerubah smua sub-sistem laen yg saling membangun jd satu sistem utuh. Peace All …

    Reply
  • November 7, 2006 at 3:05 pm
    Permalink

    Saya sendiri mengawasi jalannya UAN di sekolah X. Saya kaget sendiri melihat banyak kecurangan yang terjadi. Banyak guru yang terang2an ngasih jawaban, bahkan ada yang ditulis di papan tulis.
    Cerita itu diceritakan sendiri dari mulut orang yang sudah lama pengalaman di bidang pendidikan. Jangan bangga dulu jika persentase kelulusan meningkat.

    Reply
  • November 17, 2006 at 1:47 pm
    Permalink

    eummm…emang ukuran or indikator kualitas pendidikan bagus gimana sih? aku gag ngerti deh? apa cuma ditentukan angka2 itu aja? gimana dengan yang lain? kemandirian, kreatifitas, keberanian, dll yang gag bisa keukur dengan angka? bagaimana dengan mereka2 yg terbukti berhasil dalam hidup tapi angka sekolahnya biasa2 aja…just because their creativity…. bukan menafikan sekolah, tapi sekolah itu bukan pengadilan hidup siswa. Bayangkan gimana rasanya mereka yang gag lulus, minder, rendah diri, malu, hanya karna angka2 itu..pdhl selama ini mereka bersosialisasi dgn bagus, kreatif, berani, dll… kasian deh mereka… Hakikat pembelajaran bukankah pembebasan?? untuk menentukan hidup, mereka sendiri yang atur, bukan ujian nasional. Biar proses yang menyaringnya… *sorry, no offense*

    Reply
  • November 28, 2006 at 9:09 pm
    Permalink

    he 3x. Ujian Nasional SD tidak terlalu sulit. Tapi begitu SMP aku mulai kesulitan dengan UAS di sekolahku.Masalahnya aku belum belajar kelas 1 dan 2. Yang kutakutkan adalah pelajaran FIsika dan Biologi. Hafalannya banyak. dan kalo tidak salah digabung kan?jadi SAINS. gawat! dapat berapa aku nanti

    Reply
  • March 15, 2007 at 7:50 pm
    Permalink

    Wonderful and informative web site. I used information from that site its great. »

    Reply
  • April 19, 2007 at 3:36 pm
    Permalink

    Sebenernya nggak ada salahnya juga kalau ada orang yang protes kenapa kelulusan hanya ditentukan oleh waktu enam jam dan menghapus habis usaha kita selam tiga tahun di sekolah. Kalau dibilang sakit hati, emang bener2 sakit hati sampai mau mati! saking sedihnya!
    Kalau menurut aku seharusnya kalau ingin menguji kemampuan akademik siswa selama belajar di sekolah, sudah cukup perguruan tinggi yang ingin mereka masuki yang menguji mereka, karena jika memang mereka lulus berarti memang anak itu cerdas dan kalau tidak lulus, berarti hasil belajar selama SMA dan usaha mereka kurang. Jadi cukuplah perguruan tinggi yang menyaring siswa2 terpilih. Dengan begitu cukup sudah Indonesia mendapatkan lulusaa-lulusan yang berkualitas. Toh perguruan tinggi yang memang berkualitas, lebih dipercaya oleh masyarakat…

    Reply
  • June 19, 2007 at 8:44 pm
    Permalink

    POLISI MASUK SEKOLAH, ANUGERAH ATAU BENCANA?

    Saya…guru tak bisa dipercaya…

    Setengah terpana saya melihat seorang polisi yang masuk sekolah dengan menenteng senjata apinya mengawal guru yang membawa soal, sungguh hati ini terenyuh, sebagai seorang pendidik saya merasa dicampakkan, betapa sang guru, sudah tidak dipercaya lagi sebagai orang jujur di negeri ini…Hari berikutnya saya melihat kawan-kawan di televisi mengatasnamakan Komunitas Air Mata Guru menangisi temen guru lain yang berbuat curang, betapa aku tersentak, sebegitu rusakkah moral para guru sampai tidak takut terhadap polisi?

    Entahlah apakah ini gugatan ataukah keluhan, dilamunanku muncul rentetan kata kata,…siapa sebenarnya yang tahu kondisi anak didik dikelas? apa sih maunya para birokrat yang memberikan kewenangan kurikulum tingkat satuan pendidikan kalau nasib anak ujung-ujungnya ditentukan hanya tiga hari dengan materi yang itu-itu juga? benarkah anak di jakarta dan di luar jawa mampu berkutat dengan soal diatas angka 5? kalau memang para guru tidak dipercaya, jujurkah para birokrat disana?

    Lamunanku semakin beranjak tinggi, ah seandainya bukan UN sebagai penjegal siswa yang berprestasi dibidang non 3 pelajaran itu, seandainya sekolah sebagai penentu kebijakan kelulusan, ah seandainya UN hanya sebagai parameter keberhasilan sekolah oleh pemerintah, seandainya UN diganti dengan uji sertifikasi siswa berprestasi masuk universitas, seandainya para guru mempunyai sikap mulia seperti komunitas para guru, seandainya para guru tidak merasa tega melihat anak yang sudah berkutat 3 tahun, yang jujur, yang sopan, yang tertib, yang begitu hormat, yang suka bermusik, yang suka meneliti, yang suka menggambar, yang penari, yang pecinta budaya pribumi yang hobby pramuka, paskibra, bela bangsa ternyata terjegal hanya karena tidak mampu berhitung dan ngomong bahasa orang, tentu tidak harus pak polisi repot-repot masuk sekolah, tidak perlu ada kecurigaan antar guru, tidak perlu ada kepala sekolah yang dipecat akibat terlalu sayang pada anak-anaknya…

    PERCAYA PAK! SAMPAI SAAT INI GURU MASIH MENJADI KOMUNITAS NEGERI YANG BERMORAL, YANG EMPATI, YANG INGIN MENSUKSESKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL, IKHLAS BERKARYA, RELA BERGELIMANG PELUH, YANG SIAP MENCETAK GENERASI PENERUS SEBAGAI CALON PRESIDEN, MENTERI PENDIDIKAN, BAPAK GUBERNUR, BAPAK KANWIL, KEPALA SEKOLAH, PARA TPI, PARA POLISI…SEKOLAH TINGGI YA NAK, YANG JUJUR, YANG MAMPU BERBUAT BIJAK, JANGAN SEPERTI BAPAK DISINI…CUKUP BAPAK SAJA YANG JADI GURU…

    Lamunanku buyar ketika seraut muka dengan gemerincing perhiasan muncul tiba-tiba di depan mata, “Pak, katanya PSB sudah dibuka ya? saya mau daftarkan anak, tapi gratis ya pak, kan katanya sekarang sekolah itu gratis?””Alhamdulillah, iya Bu, sekarang pemerintah sudah banyak membantu kita, jadi anak Ibu tinggal ikut test saja besok”.”Aku meraih anak kecil itu dengan pandangan iba, “kamu nanti mau jadi apa nak, ayo cerita sama bapak”, Insya Allah dana BOS masih mencukupi untuk menghantarkan masa depanmu, tapi tolong ya nak, Bapak mohon jangan tertawakan Gurumu ini yang nanti pulang pake motor butut lain daripada Ibumu yang sanggup bayar tujuh kali lipat dari SPP tahun lalu…

    Aam Amarullah
    Be A Best Teacher Or Nothing

    Reply
  • December 4, 2007 at 9:10 pm
    Permalink

    Salam,
    Sejak awal UNAS ada merupakan jawaban pemerintah untuk menaikkan kualitas pendidikan Indonesia secara berkelanjutan. Hal ini karena pemerintah dituduh ‘tidak becus’ memanajemeni pendidikan hasil laporan dari Penelitian Human Develompment Index (HDI, 2002), kualitas SDM dan pendidikan rangking 114 dari 175 negara. Kualitas kita sebanding dengan negara-negara miskin di Afrika, dan Vietnam yang baru merdeka tahun 1975.
    Dalam perkembangannya banyak tentangan, dari berbagai kalangan.
    Memang mau kita apa ya? Trus untuk meningkatkan SDM kita dengan apa ya?
    Saya paling setuju, standar kelulusan minimal ada di tangan UNAS / Pemerintah. Bila dikembalikan ke sekolah, yakin banyak tidak beresnya (seperti jaman EBTANAS dulu).
    Yang selalu menimbulkan kecurangan adalah di lapangan sendiri. Kiranya pemerintah sudah berusaha baik dengan selalu memperbaiki sistemnya.
    Karena itu UNAS harus tetap ada, cuma perbaiki sistemnya.

    Wassalam,
    http://www.smart-unas.blogspot.com

    Reply
  • December 16, 2007 at 9:29 pm
    Permalink

    Salam,
    Topik : Polisi Masuk Sekolah Saat Unas

    Komentar Anda sangat bagus sekali. Menunjukkan betapa tidak dapat dipercayanya guru dalam ujian nasional, dan Anda sangat prihatin dan tidak setuju.
    Masalahnya, apakah para guru sudah dapat dipercaya dan amanah? Apabila dilepas sama sekali apakah dapat dijamin akan jujur? Saya justru pesimis. Banyak komentar bahkan dalam blog ini tentang ketidakberesan ulah guru dalam Unas.
    Pemecahannya, untuk mengurangi penyimpangan tersebut usul saya : baiknya pemerintah membuat soal sangat beragam. Satu kelas ada 20 siswa maka buatkan 20 macam soal.
    Perkara koreksinya serahkan pada komputer pasti beres.

    Wassalam,
    http://www.smart-unas.blogspot.com

    Reply
  • August 27, 2008 at 2:20 pm
    Permalink

    Ujian nasional semakin tahun memang di rasa sangat memberatkan untuk siswa. Selain karena standar nilai semakin naik di tambah lagi jumlah mata pelajaran yang di ujikan juga bertambah.

    Mungkin tips yang paling manjur adalah dengan banyak melakukkan latihan-latihan soal (membiasakan diri dengan soal-soal) sehingga siswa menjadi terbiasa.

    http://www.siap-ujian.com

    Reply
  • September 9, 2008 at 9:10 am
    Permalink

    ujian nasional menurutku kurang realistis karena menilai seseorang dengan hasil akhir. seharusnya mereka yang menerapkan keputusan UN juga memikirkan barangkali ketika siswa mengerjakan dalam keadaan sakit atau alasan yang lain sehingga siswa kurang konsentrasi dalam mengerjakan soal ujian. mereka hanya melihat jika hasil kuarang dari standar minimum tidaklah pintar. ya saya juga bisa memahami mendiknas, jika yang menilai guru mereka masing-masing pastilah tidak adil karena tidak bersifat obyektif.tapi itulah yang menjadi mistery yang harus dipecahkan.

    Reply
  • February 5, 2009 at 5:02 pm
    Permalink

    ujian NASIONAL adlh t4 ngw brtduh cause gw bbas dr contekan2 tmn2 gw mgqn gw bs ngash tips2 bwt tmn2 1 berdoa pd TUHAN YESUS 2 bnyk2lh bljr 3 biasakn diri dgn soal2. TUHAN YESUS mmbrkti

    Reply
  • February 14, 2009 at 11:29 pm
    Permalink

    Ujian Nasional sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Di sana sini banyak terjadi kecurangan. BSNP membuat aturan yg sangat ketat. Mulai dari adanya paket A dan paket B, LJK dilem di ruang ujian, adanya TPI (Tim Penonton Independen). Guru mata pelajaran tdk boleh masuk, ketika mata pelajaran yg diampu diujikan. Tapi kecurangan tetap terjadi. bukalah mata BSNP!

    Reply
  • April 29, 2009 at 11:42 pm
    Permalink

    UAN adalah tantangan buat para guru untuk memberi pengertian, memotivasi dan meluruskan niat para muridnya, sehingga tidak melulu nilai yang dikejar.

    Aku rasa tuntutan UN tidak terlalu berlebihan UN mengharapkan agar siswa sedikitnya menguasai ilmu2 dasar yang dianggap penting demi masa depan mereka. nilai 4 (atau sekarang 5,5?) dari 10 sama sekali bukan nilai sempurna, ini artinya siswa diharapkan menguasai setidaknya 40% dari ilmu2 dasar yang telah diberikan sekolah.

    tim sukses (terdiri dari guru2 yang terhormat) di sekolah2 menunjukan kegagalan dan korup yang sangat mengakar dalam dunia pendidikan indonesia. Guru, yang seharusnya memberi suri tauladan, beramai-ramai, bekerjasama tanpa malu mengajarkan kebohongan, menanamkan korupsi serta menyampaikan pesanbahwa kecurangan adalah satu2nya jalan keluar yang dapat menyelamatkan seseorang untuk keluar dari kesulitan. Tim sukses telah melakukan legalisasi kejahatan.

    tim sukses menunjukan kegagalan para guru untuk memenangkan pertarungan antara dorongan berbuat baik melawan dorongan berbuat buruk. Hal yang selama ini mereka ajarkan dan tanamkan pada siswa.

    seharusnya guru menyemangati para siswa yang gagal dan sepenuh hati membantu mereka untuk menerima kenyataan, melakukan perbaikan dan menekankan pada siswa bahwa ketidaklulusan bukanlah kiamat; kesalahan dan kekurangan dapat diperbaiki. Kecurangan yang mereka lakukan menjerumuskan siswa.

    mudah2an para guru dan siswa menjadi para pemenang dalam pertarungan antara dorongan jahat dan hati nurani. Amin

    Reply
  • September 24, 2018 at 7:47 am
    Permalink

    kadang yang sering juara di kelas tidak ulus di UN, sehingga orang berfikir UN itu tergantung nasib.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.