Spesial hari ini, ada guest blogger yang mengisi blog ini. Perkenalkan Noor Rahmani, ibu saya, yang menulis soal individualis. :D
***
Pagi ini sambil menyapu, Si Mbak pembantu rumah ngobrol dengan saya. Dia bertanya, kalau hubungan dengan tetangga kurang akrab, nanti kalau meninggal siapa yang menggali liang kubur?
Saya jawab: kita bayar orang.
“Oooo.. kalau di desa saya, tetangga desalah yang menggali,” jawab si Mbak.
Dalam hati saya geli, membayangkan tetangga RT saya Pak Bambang Sudibyo, dr. Sunarto, Pak Zaki Baridwan dan Pak Samsubar menggali liang kubur saya.
Kemudian si Mbak bertanya lagi: “Kalau tidak dekat dengan tetangga, siapa yang layat?”
Dalam masyarakat kolektif, kehidupan sangat tergantung pada pertolongan dan bantuan dari orang2 yang tinggal disekeliling kita, yaitu tetangga. Bagaimana dengan masyarakat individualis? Orang sering salah persepsi, mengatakan bahwa masyarakat individualis itu asosial.
Bagaimana mungkin? Bukankah manusia itu makhluk sosial?
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara masyarakat individualis dengan masyarakat kolektif, tetap sama2 makhluk sosial. Hanya bedanya, pada masyarakat kolektif, hubungan sosial default dengan tetangga.
Kondisi ini berasal dari kehidupan jaman dahulu, ketika manusia masih hidup di tengah hutan yang penuh dengan mara bahaya. Manusia harus bersatu agar bisa selamat bahu membahu menghadapi kekerasan alam. Mereka menciptakan norma-norma bermasyarakat dalam suku, yang harus dipatuhi agar suku menjadi solid dan kuat menghadapi mara bahaya. Hubungan baik, kedekatan dan interaksi intensif harus dilakukan oleh anggota suku untuk memaintain eksistensinya di dalam suku. Kalau melanggar norma-norma suku, seseorang bisa dibenci dan dibuang dari suku, ujung-ujungnya harus hidup sendiri berhadapan dengan singa, ular, dan marabahaya alam lainnya.
Semakin maju suatu masyarakat, terjadi pembagian tugas. Ada yang bercocok tanam, ada yang menjaga keamanan yang diberi bagian dari hasil bercocok tanam. Muncullah tata kehidupan baru yakni membayar pajak dan mendapat fasilitas keamanan dan kenyamanan. Kita tidak perlu bersatu lagi menghadapi mara bahaya. Kita sudah membayar pajak untuk menggaji polisi dan tentara guna mengamankan lingkungan kita.
Kemajuan teknologi sangat besar pengaruhnya pada interaksi sosial.
Ketika kita punya kendaraan, kita bisa berteman dengan mereka yang ada dalam jangkauan kendaraan kita. Munculnya layanan transportasi umum semakin mendekatkan kita dengan sahabat-sahabat yang jauh. HP dan internet, lebih-lebih lagi. Bisa terjadi sambil nongkrong di toilet, kita bisa ngobrol dengan teman yang lagi sekolah di Inggris. :)
Di sinilah bedanya, masyarakat kolektif tidak bisa memilih komunitas mereka sesuai dengan keinginan mereka. Mau tidak mau, ya hanya tetangga kita. Masyarakat individualis tetap bergaul dan bermasyarakat, tapi kita bisa memilih sendiri komunitas kita.
Jadi bapak ibu tidak usah merasa rikuh kalau tidak akrab dengan tetangga, karena teman-teman kita tersebar baik di kantor, milis teman alumni kuliah, BBM Group alumni SMA, alumni SMP, alumni SD, kelompok diskusi penggemar tas, penggemar kucing, grup keluarga, grup keluarga mertua, dlsb dlsb.
Kalau meninggal, siapa yang layat? Yah kalau Bapak Ibu populer dan baik perilakunya dalam kelompok-kelompok yang bapak ibu ikuti, bisa saja pelayat membludag dan membuat tetangga melongo.
Jangan merasa bersalah jika bapak ibu individualis, karena kolektif-individualis itu bukan dikotomi tapi kontinum. Semua masyarakat, akibat kemajuan sosial dan teknologi, pada akhirnya akan menjadi individualis, sooner or later :)
HaH! I knew it!
Setiap masyarakat akan menata diri seiring kemajuan teknologi dan keragaman pekerjaan. Memang itu sebuah proses tiada henti. Dala m konteks masyarakat, pengertian “gotong royong” pun bergeser, dari keterlibatan total dalam sebuah wadah partisipatoris menjadi keterlibatan parsial. Itu wajar.
Maka jadi aneh jika masih ada pengurus RT di kompleks perumahan yang meminta kerja bakti atas nama kegotongroyangan. Lebih masuk akal memanggil pasukan tukang kebun tetapi ongkosnya ditanggung kolektif oleh warga. Itulah makna baru kegotongroyongan.
Pak RT lupa bahwa tak setiap rumah punya sabit dan pacul. Pembagian kerja modern menjadikan alat-alat itu cukup dimiliki oleh tukang kebun langganan.
Akibatnya demand terhadap sabit dan pacul tidak meningkat seiring dengan lonjakan populasi manusia ya?
Nambah: Kalau soal pemakaman, serahkanlah kepada layanan rumah duka. Sama seperti orang punya gawe (mantu), semua urusan diserahkan ke jasa boga (katering) dan pengelola acara (organizer)
Tapi kan nggak semua orang mampu bayar jasa itu, paman :P
hallo dosenku ^^
*sembunyi dr pertanyaan akademis*
soal meninggal dan urusan pemakaman, krn sering layat, jd punya banyak bahan observasi.
umumnya mau ga mau, tetangga memang yg dtg pertama. baru teman dan sodara yg sekota.
apalagi kl yg ditinggali itu ga pengalaman soal ngurusi pemakaman, yg in charge semua orang lain.
oot, mungkin krn itu, dr awal perlu dipikirkan utk bergabung dg yayasan yg bergerak di bidang pemakaman. mereka ini nanti yg ngurusi dr pemandian jenazah dan doa2. utk makanan yg dtg layat gitu, bs keluarga. kl tenda, entah. kl makam, biasanya keluarga sih.
dan hal tsb sebaiknya disosialisasikan ke keluarga.
Di Jogja ada yayasan jasa pemakaman, tapi aku lupa namanya. Mereka prof bgt kalau mengelola pemakaman.
Dewasa ini kadang kita mudah menyederhanakan persoalan dengan ungkapan “asalkan ada uang semuanya beres”. Mungkin karena itu perlahan demi perlahan, kita kehilangan sifat tanpa pamrih ketika orang-orang terdekat membutuhkan bantuan kita.
Saya kok nggak melihat ada korelasi langsung antara kemajuan teknologi dengan sifat individualistis ya.
Kita tdk akrab dgn tetangga ya karena jarang berinteraksi langsung tersebab kesibukan masing2. Di lingkungan rumah saya, kebetulan bapak2nya (kecuali saya) hampir semua punya jadwal kantor yg sama dan pulang rata2 sore hari (sebelum malam). Jadi mereka masih pny banyak waktu untuk ngobrol, atau berinteraksi langsung. Akhirnya, mereka kompak sekali. Padahal mereka orang mampu dan sangat melek teknologi (sejauh pengamatan saya).
Dan mesti diingat, terminologi individualisme itu bukan muncul baru-baru ini, tapi sejak abad ke-19. Dan latar belakang/penyebabnya beragam sekali, rata-rata sifatnya ideologis.
Mungkin, kemajuan teknologi betul membuat komunikasi jarak jauh menjadi semakin mudah tanpa perlu berinteraksi, tapi kemampuan interaksi personal tidak ada hubungannya dengan perangkat/medium komunikasi yg kita gunakan.
Soal pemakaman, menurut saya lebih ke kolektivisme dalam budaya dan peradaban manusia dalam sebuah komunitas saja. Kebanyakan kita relatif merasa punya kewajiban moral dan kemanusiaan jika ada tetangga/kerabat yg meninggal, walau pada kenyataannya kita sama sekali nggak kenal sama orang yg meninggal tersebut.
Mas Daud salah tangkap, artikel ini tidak mengatakan bahwa teknologi menyebabkan sikap individualistis.
Artikel ini mengatakan bahwa adanya teknologi tetap membuat manusia menjadi sosok kolektif, hanya saja kolektifnya tidak lagi harus dengan tetangga. :)
Di sini, para seniors malah di encourage untuk menyicil biaya kematiannya sendiri :)
Aku sepakat dengan tulisan ini dan mengangguk dalam untuk komentar Paman Tyo. Makna kegotongroyongan tak kan pernah berubah meski prakteknya yang bergeser…
tetangganya Pak Zaki baridwan ya mas?
Pak Zaki yang nulis buku Akuntansi referensi untuk kuliah itu kan ya?
Titip salam ya, dari pembaca. Hehe
Maaf, OOT.
:)
tapi bagiku, kenal dekat dengan tetangga itu tetep penting. bukan karena apa, khawatir aja kalo orang rumah ada apa2 dan mereka tidak sempat/bisa ngabari kita. kan ada tetangga yang ngabari. kita tidak tau apa yang terjadi dihari2 berikut. gitu…
this. ada sebuah kerugian besar – bagi saya sendiri – jika sampai pada tahap kehilangan kontak dengan “yang pertama melihat”.
dan saya bersyukur, waktu rumah saya tinggal kosong, dan pompa air saya nyala terus sampe mbludak dari tempat penampungannya, ibu di depan rumahlah yang berinisiatif mematikan meteran listrik saya.
yeah, meskipun perkara ini bisa teratasi dengan menyewa pembantu yang 24 jam standby di rumah kita, sih ;)
uang memang perantara untuk melakukan segalanya…
Bu, bu… Kita sekarang tetanggaan loh… Aku di seberang kafe sinamons itu…
walaupun bagaimanapun tetangga itu penting bung, karna mereka yang paling dekat dengan akses ke rumah.
semisal rumah bung kebakaran, yang nolongin pasti tetangga duluan bukan komunitas yang jauh lokasinya.
tetangga yang baik tidak jarang ikut membantu keamanan rumah yang lebih efektif daripada satpam. dan banyak hal-hal lain yang tidak bisa dilakukan oleh komunitas yang jauh
saran saya hubungan baik dengan tetangga tetap harus dijaga, tetap sisihkan waktu kita untuk mengenal mereka.
Artinya anda itu masih kolektif. Tidak masalah.