Pembaca yang budiman dan budiwati, hari ini ada guest blogger yang akan mengisi blog yang tidak masuk 100 besar ini. Dia juga dokter, tapi bukan semacam dr. Monika yang sintal tapi identitasnya tidak jelas, tapi seorang dokter tidak sintal yang identitasnya jelas (halah), dan teman baik saya sejak SMA. Saya perkenalkan, Robertus Arian:

***

Death is a final destination. Tidak ada jalan kembali. Dan karena itulah kematian diasosiasikan dengan kehilangan, duka cita, dan ratapan. Semua makhluk hidup mati, pilihannya adalah bagaimana anda akan mati.

Saya dibekali dengan tiga karakter di depan nama saya: karakter ‘d’, ‘r’, dan ‘.’. Ketiga karakter ini membawa konsekuensi yang menyesakkan: berada di antara kematian dan kehidupan. Kadang hanya dipisahkan tiga menit pemeriksaan fisik. Percayalah, ini bukan pengalaman yang menyenangkan!

Ada beberapa premis yang akan kita gunakan untuk meneruskan bacaan ini:

  1. Semua orang berharap orang sakit yang masuk rumah sakit keluar dalam keadaan sembuh
  2. Dokter berharap semua pasien yang masuk rumah sakit keluar dalam keadaan sembuh
  3. Beberapa penyakit menyebabkan kematian
  4. Harapan tidak sama dengan usaha


Pada minggu-minggu pertama saya bertugas, ada satu konsep yang tidak saya pahami tentang premis yang keempat. RS kecil tempat saya bekerja punya keterbatasan yang bisa dipecahkan dengan dua setengah jam bermobil ke kotamadya sebelah. Walaupun premis keempat itu berlaku baik pada pasien, keluarga, dokter, dan perawat, kadang pengingkaran terhadap premis itu membawa konsekuensi bahwa pasien harus ditransfer ke RS yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih lengkap. Sebagian kecil ‘transfer’ ini bermakna “anda akan mati di tempat ini, tapi anda punya kemungkinan untuk hidup lebih besar di RS yang lebih besar itu”. Dan biasanya mereka menolak.

Ternyata ketidakpahaman saya terhadap konsep ini berawal pada ketidakpahaman saya bahwa dari sudut pandang pasien dan keluarga, permasalahan kesehatan ini bersaing sama kuat dengan pendidikan, makan-minum, pekerjaan, ladang, dan lain-lain. Sulit bagi mereka untuk meninggalkan penghidupan mereka sehari-hari demi si sakit. Bagi saya, kesehatan pasien paling penting. Dia berada di urutan paling atas daftar prioritas karena menyangkut hidup dan mati seseorang. Dengan pemahaman seperti ini, saya melakukan premis yang kedua dan mengingkari premis keempat dengan catatan bahwa semua orang setuju dengan premis ketiga. Pasien dan keluarga di lain pihak seringkali melakukan premis pertama dan keempat sekaligus. Kemungkinan gagalnya lebih besar daripada apa yang saya lakukan bila premis ketiga kebetulan benar.

Pada kasus seperti ini, ketika ada ketidakcocokan premis yang kami yakini, saya berkata kepada pasien walau tak pernah terucap, “Saya persilakan anda untuk mati.” Sebagian besar diikuti dengan penyesalan karena masalah pasien tidak terselesaikan menurut standar saya. Tapi selesai dan lebih baik bagi pasien dan keluarganya untuk membiarkan si sakit meninggal, karena di depan mereka masih ada daftar prioritas yang sama tinggi untuk dilakukan dan akan lebih mudah dilakukan tanpa si sakit di sekitar mereka.

Pemerintah kita masih punya banyak pekerjaan rumah.

Dan saya mengatupkan kedua bibir setiap kali ini terjadi.

Percayalah bahwa ini sangat menyakitkan bagi saya. Sakit sesakit-sakitnya.

Robertus Arian pernah menjadi teman sebangku Herman Saksono pada kurun waktu 1997-1998, lulus sebagai dokter dari FK UGM akhir tahun 2006, saat ini bertugas di sebuah RS di kota tanpa traffic light, kira-kira 123 km dari Palembang.
“Saya persilakan anda untuk mati…”
Tagged on:         

9 thoughts on ““Saya persilakan anda untuk mati…”

  • December 13, 2007 at 3:07 pm
    Permalink

    Silakan memberi komentar disini. Semakin banyak sawerannya, semakin asik goyangannya.

    Reply
  • December 13, 2007 at 3:19 pm
    Permalink

    Bacaan yang asyik dan menggelitik.
    Menurut saya kematian harus dipandang dengan sudut pandang yang benar. Pandangan saya terhadap kematian saya tuangkan dalam posting-posting saya di http://WWW.MyBecause.com.
    Jika ada yang ingin nyentil dan beri saweran, silahkan kesana dan beri komentar. Saya akan sangat berterima kasih….
    Thanks God.

    Salam hangat dari Banjarmasin.

    Isyaias Sawing
    MyBecause.com
    MySurfingNotes.blogspot.com

    Reply
  • December 13, 2007 at 11:14 pm
    Permalink

    karena faktor ekonomi?bukankah sebagian org mlh berlomba2 check up k rs d negeri tetangga…
    sudut pandang yg berbeda kadang bs membuat kt lebih menyadari rahmat tuhan..

    Reply
  • December 13, 2007 at 11:32 pm
    Permalink

    buat saya, premis keempat itu bergantung pada “business minded” rumah sakit…

    Reply
  • December 14, 2007 at 4:53 am
    Permalink

    OOT: Blog sampeyan wis mlebu Top 100 Kang ^_^

    Reply
  • December 14, 2007 at 10:02 am
    Permalink

    koq iseh posted by HermanSaksono?

    Reply
  • December 14, 2007 at 11:27 pm
    Permalink

    Lho lho lho, sebentar. paragraf pertama saja sudah tidak akurat:

    “Pilihannya adalah bagaimana Anda mati…”

    Cara mati itu bukan pilihan, you cannot choose how to die.

    Reply
  • March 19, 2008 at 12:30 am
    Permalink

    1. Semua orang berharap orang sakit yang masuk rumah sakit keluar dalam keadaan sembuh
    2. Dokter berharap semua pasien yang masuk rumah sakit keluar dalam keadaan sembuh

    Premis pertama dan kedua berusaha menunjukkan kalau ‘dokter’ bukan bagian dari ‘semua orang’. Saya kurang jelas apa maksud sebenarnya pembedaan premis ini.

    Yang jelas ongkos ke dokter di Indonesia murah lho. Pernahkah anda bisulan di Indonesia bayar Rp 500 ribu. Di Afrika saya harus bayar lebih dari itu untuk sekedar bisul saya ‘dilihat’ dokter dan diberi 15 butir tablet antibiotik.

    Reply
  • March 25, 2008 at 12:54 am
    Permalink

    hmm…menarik, menurut saya, Arian itu jelas sintal dan jelas ^_^ saya juga temannya, dokter yang sintal dan jelas juga :D. anyaway, saya suka tulisan2mu. keep on writing.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.