Dulu Pecas Ndahe pernah nyentil sedikit soal AC anti flu. Tulisan itu memancing pertanyaan, apakah tidak ada lembaga yang mengawasi etika iklan-iklan yang beredar di masyarakat. Lembaga yang juga punya otoritas untuk menegur pengiklan yang tidak etis. Untuk kasus iklan AC anti flu burung, tidak etis karena menggunakan data masih belum diuji kebenarannya.

Teman kantor yang namanya Timi, rupanya juga mengamati seluk beluk iklan mengiklan. Sehingga saya memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan yang sama ke Timi:

“Timi, apakah tidak ada lembaga yang mengawasi etika iklan-iklan yang beredar di masyarakat. Lembaga yang juga punya otoritas untuk negur pengiklan yang tidak etis?” (halah diulangi lagi )

Menurut Timi, lembaga itu sudah ada, namanya PPPI dan memang sudah sering kali menghimbau pengiklan yang melanggar etika beriklan. Misalnya iklan rokok yang ada rokoknya, lalu iklan motor Honda yang memanusiakan motor. Itu, yang ada Candil Serieus nyanyi “Motor juga manusia, punya rasa punya hati”. Walaupun tidak kreatif dan jayus, iklan ini diprotes, bukan karena jayus dan tidak kreatif, tapi karena memanusiakan motor. Katanya ada laporan anak kecil jadi sedih karena motor juga manusia.

PPPI memang punya gigi ketika kasus yang dihadapi kasat mata, seperti iklan rokok ada rokoknya, iklan yang mengumbar auroth, atau iklan yang membandingkan produk pesaing. Hal-hal tersebut sudah termaktub di EPI, Etika Pariwara Indonesia. Tetapi, ketika menghadapi iklan yang bermain dengan data, PPPI menjadi gigiless—konon—walaupun batasannya juga sama-sama ada. Beberapa pengiklan mengklaim kalau masihlah wajar bermain dengan kata-kata. Namanya juga iklan. Bukankah iklan lebih menghibur jika seperti itu?

Saya jadi ingat kalau sempat ada usulan membuat Undang-Undang Periklanan. Wah wah, jangan-jangan ini seperti RUU APP compact-edition, yang terlalu mengatur kepatutan terlalu dalam. Tetapi begini… walaupun aturan main itu perlu, iklan banyak bermain di ruang rasa, sehingga hal-hal yang intangible mengaturnya pun gampang-gampang susah. Salah-salah malah membuat iklan-iklan nasional menjadi kering, hambar, dan kaku. Saya suka iklan, khususnya iklan-iklan kreatif yang lucu bikin ngakak maupun juga yang bikin terharu. Menghadirkan aturan mengikat dan menghukum, apalagi berbentuk UU, harus hati-hati.

Dari obrolan ngalor ngidul ini kok muncul sebuah… istilah kerennya kesepahaman, kalau upaya mengkoridori iklan selayaknya dilakukan secara tandem antara aturan baku dan kontrol sosial masyarakat. Bahkan, ada baiknya masyarakat diberdayakan terlebih dahulu. Dikondisikan untuk kritis tetapi cerdas. Seharusnya, ada acara TV yang memantau iklan. Atau cukuplah sebuah section dari sebuah acara perlindungan konsumen

Ealah. Katanya si Timi, acara semacam itu juga pernah ada di TV swasta. Tetapi umurnya cuma sebentar. Nggak laku. Kalah sama sinetron.

Ah, rupanya yang namanya pasar kembali mendikte. Tetapi, bukankah kita punya TVRI? Kenapa stasiun ini tidak pernah terasa dijadikan sebagai media untuk mewartakan fakta dan memberdayakan rakyat. Seperti ABC, Australian Broadcasting Corporation yang bukan corong penguasa dan independen. Yang jelas harus didanai oleh negara supaya tidak didikte oleh pasar.

Hus! Mimpi apa to saya ini. Australia itu bukan Indonesia, dan Australia tidak miskin.

Etika Iklan Mengiklan
Tagged on:     

17 thoughts on “Etika Iklan Mengiklan

  • February 11, 2007 at 10:31 pm
    Permalink

    Kita mulai dari diri kita sendiri dulu Mas, setiap agency harusnya paham bahwa menghasilkan iklan yang membodohi masyarakat berarti menggali sumur buat bunuh dirinya sendiri.. Dan saya percaya, setiap perubahan yang revolusioner – di bidang etika iklan atau bentuk iklan yang lebih memanusiakan manusia – selalu dimulai dari kelompok kecil, jarang dari kumpulan besar yang terjebak comfort zone.. That’s the start.. Btw, commnet pertama nih, bisa masuk Muri dunk ;)

    Reply
  • February 12, 2007 at 2:01 am
    Permalink

    ada iklan ac anti flu burung? walah, itu sih udah kelewatan gak masuk akalnya

    Reply
  • February 12, 2007 at 3:51 am
    Permalink

    dah lama gak liat iklan indo. ingatnya sih dulu, ngoceh doank kayak iklan amerika. iklan singapore lebih bagus2x.

    yg aku sebel sih kalo menyesatkan and menjatuhkan. and pengennya sih iklan rokok dihapus

    Reply
  • February 12, 2007 at 8:59 am
    Permalink

    ini iklan:

    dijual: burung tahan flu [bukan milik saya]
    hubungi: hermansaksakno.. :D

    Reply
  • February 12, 2007 at 11:52 am
    Permalink

    saya lebih suka ngeliat iklan yang lucu…
    daripada ngeliat iklan yang nunjukin ampuuuuhnya produk

    kek iklan iklan dr barat sono

    Reply
  • February 12, 2007 at 3:10 pm
    Permalink

    pemikiran jenius…! pasar memang selalu mendikte. tapi susah juga utk beriklan tanpa menyesuaikan pasar. iklan2 yg bgus, selalu berasal dr produk2 yg cult branding. itu nomer satu. nomer duanya, jika ingin beriklan yg bgus, haruslah siap bentrok dgn kultur dr tiap2 daerah. baru2 ini, polisi palembang menyayangkan iklan rokok bertajuk ‘hati2 polisi lg tidur’ dgn alasan kesopanan.

    Reply
  • February 12, 2007 at 3:18 pm
    Permalink

    btw, aku punya banyak klip2 iklan dr luar negeri. mau ku buatin copy-nya? bgus2 loh. lucu2 lg. dan,.. ini yg menarik. ada iklan lokal yg sama persis ama iklan yg ada di koleksiku. hehehe…

    Reply
  • February 12, 2007 at 4:16 pm
    Permalink

    Tapi banyak juga kok iklan rokok yang kreatip, kayak yg a-mild itu loh, yg “patuh kalo ada yg liat”

    Reply
  • February 12, 2007 at 9:23 pm
    Permalink

    kalo iklannya bagus dan menghibur, seneng juga nontonnya ya, mon? paling sebel liat iklan yang ‘terang benderang’. lightingnya kayak video pengantin. masih banyak tuh yang asal2an kayak gitu.

    Reply
  • February 13, 2007 at 8:40 am
    Permalink

    ada sebuah ungkapan yg sreing saya dengar,

    bikin iklan itu, supaya mudah diingat, kalo ndak BAGUS BANGET ya bikin aja yang JELEK BANGET.. jangan bikin yang BIASA-BIASA.. :)

    Reply
  • February 13, 2007 at 12:03 pm
    Permalink

    seni beriklan gampang susah, kadang pesan yang disampaikan implisit, bikin orang menafsirkan artinya bedha-bedha.

    Reply
  • February 15, 2007 at 4:07 am
    Permalink

    walah, etika beriklan ya…

    terus terang batasan-batasan yang ada di indonesia itu secara umum sudah lebih ketat daripada yang ada di luar negeri…

    iklan itu hanya permainan membangun presepsi aja, karena pada akhirnya mayoritas orang beli barang itu karena like – dislike aja, bukan spek lagi yang mayoritas…

    menciptakan presepsi itu memang perlu “keterampilan” khusus, salah satunya bermain kata-kata… dan batasan permainan kata ini sangat subyektif…

    sebenarnya perbedaan menipu dan bermain kata itu sangat tipis…

    Reply
  • May 15, 2007 at 11:05 pm
    Permalink

    help me pls..

    lagi bikin penelitian ttg iklan a mild versi “gampang kok dibikin susah” atau versi “takut kalo ada yang ngeliat”… da info ttg ituw gak yahhh…

    thznksss bgt…

    email me pls: dita_octavia@yahoo.com.au

    thx…

    Reply
  • September 12, 2009 at 6:14 am
    Permalink

    bos, kalau misalnya kita membuat pemberitahuan (atau iklan kali yaaa..) di situs web sendiri, tetapi kemudian memaparkan fakta situs web lain yang sejenis tetapi dengan gamblang menyebutkan merk dagang pesaingnya, apa ini termasuk pelanggaran?

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.