Berita banjir di ibu kota yang membanjiri headline berita hari ini, mengingatkan saya pada sebuah obrolan kecil, belum lama ini. Cuma obrolan biasa sebetulnya, dengan dua teman saya, Nene dan Heru. Tentu, mereka yang bicara, saya cukup diam mendengarkan saja
Seperti layaknya obrolan saya yang lain, obrolan yang ini pada akhirnya menyasar ke sebuah topik wajib, yaitu seputar keprihatinan pada kondisi negara. Nene yang scholar ilmu sosial, memaparkan kalau negara ini, serta budayanya, memang sudah busuk sejak dulu. Bahwa para sultan, bupati, lurah, demang—yang seharusnya menahkodai rakyatnya supaya makmur—kenyataannya justru dimabuk uang dan harta. Kenikmatan ini biayanya besar, dan semuanya ditanggung dengan derita rakyat kecil. Nene memberi contoh penerapan cultuurstelsel—alias tanam paksa—pada jaman penjajahan Belanda. Sistem yang disusun oleh Gubernur Van Den Bosch dengan tujuan memberikan sedikit keadilan bagi penduduk pribumi ini implementasinya berantakan, karena para pejabat lokal yang merangkap supervisor itu justru mengeruk keuntungan tambahan. Kuota 20% hasil bumi yang harus diserahkan ke Belanda, di-naikkan oleh para priyayi-priyayi itu. Saking banyaknya hasil bumi yang harus disetorkan ke Belanda, sistem ini berakhir mencekik penduduk pribumi. Lagi-lagi, buntutnya sama, rakyat jelata yang harus menanggung pahitnya.
Heru mengangguk mengamini paparan Nene. Heru lalu menambahkan kalau semua itu tidak lepas dari budaya serba gampang dan oportunis. Sejak dahulu kala, orang Indonesia itu sudah biasa hidup penak. Hidup tanpa kesusahan, tanpa banyak berjuang. Bandingkan dengan orang-orang di Eropa yang tiap setengah tahun diterpa musim dingin. Tiap musim dingin, hasil bumi nyaris tidak ada dan dinginnya mematikan luar biasa. Sehingga, mau tidak mau, selama 6 bulan sisanya, mereka harus berpikir dan kerja keras, supaya ketika musim dingin tiba, persediaan makan tidak habis dan badan tidak membeku kedinginan. Kegigihan ini, membuat mereka menjadi bangsa yang tangguh dan pandai. Mereka rela berperang dan menjajah demi mendapatkan sepetak tanah yang lebih baik. Bangsa mereka juga berani berlayar ke ujung dunia, sampai akhirnya menemukan ujung-ujung peta. Itu prestasi yang bukan main-main untuk jamannya. Bangsa Amerika yang besar itu, juga dimulai dan dikembangkan oleh orang-orang tangguh, yang biasa menghadapi alam yang tidak bersahabat.
Bangsa kita ini, menurut Heru, justru dimanjakan oleh alam. Bagaimana tidak, di negeri ini, selama satu tahun penuh tidak pernah ada musim dingin, apalagi sampai di bawah nol derajat Celcius. Tanahnya banyak yang subur, bertani tidak susah dan buah-buahan rutin berbuah. Batang ketela saja, kalau ditancapkan ke tanah, akan menjadi umbi ketela siap direbus. Sangat bertolak belakang dengan kondisi orang-orang yang di negara barat sana. Singkat kata, alam itu selalu menjadi sahabat kita, bangsa ini.
Sahabat, ujar teman saya. Satu-satunya sahabat malah.
Kalau alam selalu menjadi sahabat kita, kenapa selama ini sepertinya kita justru terus-menerus menusuk alam dari belakang? Hutan, air, satwa, atmosfir… ah terlalu banyak dan terlalu keseharian untuk dipetakan di sini. Tetapi, ketika kita terus-menerus menusuk alam dari belakang, mungkinkah alam akan berbalik menusuk kita?
emang alam punya kesadaran yah? :)
yang nyiptain alam, yang ngatur serta yang nyiptain bencana ‘alam’, beda lah sama alam itu sendiri.
huhuh.. sekedar mengoreksi pikiran konvensional sama kata-kata saja.
Ga usah diambil hati :) permisi…
semut aja menggigit kalo keinjek. alam juga dah bosen kali diekploitasi abis2an…mereka melawan skrg!
ah, keliatan sok tau ya?
tanah air yang gemah ripah loh jinawi ini adalah berkah sekaligus kutukan bagi penghuninya, mon.
Kok ngga ada gambar?
Yang lebih parahnya lagi, menurut perhitungan sains keadaan alam yang mulai bergeser karena global warming akan dapat mengakibatkan sekitar 2000 pulau di Indonesia tenggelam pada tahun 2030.
http://news.yahoo.com/s/ap/20070129/ap_on_sc/climate_change
orang bilang tanah kita tanah surga…gitulah lagunya koes plus
kitanya gak menghargai alam…eh tapi ditempatku juga banjir kok hehehe…kalo hujan terus menerus, sungainya meluap. pdhl gak satu bijikpun manusia buang sampah disana. cuma ya gak parah. sekitar sungai aja
itu sudah sunatullah kali mon….
percaya karma? nah, kurang lebih seperti itu, mon. iki menurut aku lho yaaaa…
kalo kamu menanam kebaikan, kamu akan memanen kebaikan. begitu juga sebaliknya
bumerang?
yg kebanjiran malah nyalahin kota Bogor “air kiriman dari Bogor!!!” hahahaha dr jaman nenek moyang ga pke baju yg namanya air itu mengalir dr tempat yg tinggi ke tempat yg rendah…lha wong Bogor lebih “tinggi” dr Jkt gitu! ya gitu orgindonesia suka mencari kambing hitam…mbok ya sekali2 kmbing putih..trus ntar dibikin kambing guling? apa sech??!
regards
gessh
ah.. dulu saya pernah bikin essay tentang bagaimana keadaan iklim/cuaca mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir orang2. Di negeri2 4 musim (ato yang musimnya jahat2), rakyat diserang terus-menerus sama kondisi yang silih berganti dalam 1 tahun, memaksa mereka untuk beradaptasi atau ga ya punah. Proses adaptasi ini yang seperti anda sudah bilang, membuat mereka membangun dan menciptakan ‘jalanan2’nya sendiri untuk bertahan hidup.
Jadi inget cerita tentang apa tu, saya juga ga terlalu tau. Tapi kalo ga salah tentang 3 angin yang mau coba jatuhin monyet dari pohon. Yang pertama terlalu lemah dan si monyet pun ga tergubris sama sekali. Yang satu niup kuat2 tapi si monyet malah pegangan makin kuat. yang terakhir ditiup deh angin sepoi2.. si monyet ketiduran dan jatoh…..
alam itu ya gitu-gitu aja.. bergerak sesuai hukum-hukum yang ditetapkan untuk berfungsinya alam.
Alam itu nggak bisa mbales perbuatan kita..
Bencana blablabla itu hadir karena kesalahan manusia yang tidak mau memahami hukum berfungsinya alam.
Termasuk saya…
kata ebiet coba tanya sama rumput yang bergoyang…
sip mon! tulisannya asik! aku jadi ingat easter island, dan kenapa orang aztec pergi meninggalkan peradaban
bisa kita lihat bukan dengan air saja kota besar nan megah jakarta dapat dilumpuhkan. Bagaimana jika ada musibah yang lebih besar (pasti terjadi).
aku ndak komen. lg streeeesssssss…
bikin objek wisata banjir aja..
mampir mas…
antara stuju dan tidak…
secara sejarah ada betulnya itu, tapi lantas masa kita mau jadi bangsa yang terus-menerus “nyalahin” sejarah si…
jadi kayanya, apa pun yang terjadi skarang ini adalah “nasib” yang harus diterima bgitu saja… “gampang” banget nyalahin karena leluhur kita terjajah gitu… hehehehe…. kayanya kok lama-lama malah jadi “kabur” dari tanggungjawab :)
aku jadi kangen ma jogja yang tidak mengalami bajir yang parah seperti jakarta ini…hiks…
Kami tinggal di Cipinang Muara
tempat dimana sejarah banjir
amat panjang tercatat di media
banjir datang menenggelamkan
rumah tetangga kami
bahkan … ada korban yang jatuh
meninggal di cuaca dingin
semoga Allah menerimanya
(Pemda DKI bisa diminta bertanggung jawab?)
Turut berduka cita untuk tetangganya Dedi, serta korban-koraban yang lain. Semoga Pemda DKi bisa belajar untuk lebih antisipatif, dan masyarakat juga lebih demadnignkepada Pemda DKI.
Ancilla said…
secara sejarah ada betulnya itu, tapi lantas masa kita mau jadi bangsa yang terus-menerus “nyalahin” sejarah si…
lho siapa yang nyalahin sejarah :)
Dendi:
Alam itu nggak bisa mbales perbuatan kita..
Bencana blablabla itu hadir karena kesalahan manusia yang tidak mau memahami hukum berfungsinya alam.
Termasuk saya…
Betul, alam itu memang tidak membalas. Tapi rusak kalau dirusak :)
tito
sip mon! tulisannya asik! aku jadi ingat easter island, dan kenapa orang aztec pergi meninggalkan peradaban
Tit, mbok tulisanmu soal orang Easter Island itu dilink ke sini. Atau aku link boleh?
Setuju sama Ancilla, gk boleh menyalahkan orang lain!
Itu gimane seh kok bisa-bisanya malah proyek busway yang goal???! Padahal udah ngerti banjirnya taunan!!! Bisa bikin prioritas gk sih??!!
:p
Untuk Dedi, saya turut berduka cita.
Untuk HS, “alam nggak bakalan nusuk kita. Kalo emang mau nusuk kita. Peradaban manusia yang kejam ini udah dihukum ama alam sejak dulu”
Kayaknya sih, ini feedback saja. Makin buruk memperlakukan alam, maka membal ke diri sendiri.
Sekedar analogi:
Walaupun nggak punya metromini… Membiarkan asep knalpot metromini mengepul gila-gilaan seperti itu, sama saja menusuk alam loh.
Richard Gere said”
Bangsa ini butuh Attitude!Attitude yang merubah pola hidup bangsa menjadi lebih baik. Misalnya siapkan peti mati kalo yang memimpin enggak bisa atasin banjir gitu aja kok susah!
kalo orang kena musibah terus biasanya jadi kuat, tangguh dan sukses..kalo bangsa ndonesa ini bisa ga ya jadi kuat? negara dimalingin tetep aja masih kaya kok, oran2pinter juga masih banyak, musibah dan cobaan sebagai salah satu syarat keberhasilan juga dah makanan sehari hari…
trus nunggu apa kita?
Thx atas simpatinya…
class action?
bANJIR ITU ENAK YAH??? kan bisa berenang gratis..