Agak bingung juga enakan tinggal di negara yang sedang struggling (baca: Indonesia), atau di negara yang makmur. Kemaren mas Irfan cerita kalau salah satu program kampanye walikota di Sydney adalah meningkatkan layanan bis kota agar bisa datang on time, karena biasanya telat 5-menit-an! Bayangkan kalau Ibnu Zudianto (walikota DIY) kampanyenya itu, hmmm mungkin perlu lebih dari money politic untuk menang di Pilkada.

Lucu lagi di Singapura, headline koran The Strait Times adalah usaha pemerintah Singapur untuk mengkonservasi pohon tua agar tidak mati kalau jalan tol dibangun di sebelahnya. Hmmm…. heran juga, kok berita yang begitu tersier bisa jadi headline koran. Apa emang karena gak ada hal lain yang lebih krusial untuk dibicarakan ya? Bandingkan dengan headline Kompas yang kebanyakan soal rupiah jatuh, minyak tanah langka, kerusakan hutan dan kelaparan. Itu baru Kompas, kalau dibandingkan sama Pos Kota saya angkat tangan.

Dengan dua perbandingan yang demikian kontras, sepertinya tinggal di Indonesia lebih menarik menantang, karena dinamikanya begitu kuat dan penuh dengan drama dan tragedi. Hal-hal seperti ini menurut saya akan membuat kita merasa insecure dan akhirnya mendorong kita keluar dari comfort zone dan berjuang keras untuk memperbaiki kehidupan kita.

Lagipula, kalau tiap hari dijejali berita soal konservasi pohon tua dan usaha agar bis kota tidak telat 5 menit, sepertinya kok membosankan ya?

Dan omong-omong soal bis dan Indonesia, saya baru dicritani oleh seorang informan dari UKM FKU UGM kalau di Indonesia, kinerja dokter dilihat dari jumlah pasien. Dan karena kinerja berbanding lurus dengan reward (baca: gaji) untuk dokter, dan dokter juga manusia butuh duit buat makan…

Kesimpulannya semakin banyak pasien si dokter, gajinya semakin banyak. Terlepas dari diagnosanya sering salah atau sering salah kasih obat, pokoknya semakin banyak pasien semakin banyak rejekinya. Persis seperti supir bus, yang penting penumpangnya banyak, gak peduli nyopirnya ngawur dan membahayakan yang naik bis.

Situasi ini tentunya sangat memprihatinkan, karena seharusnya reward dihitung berdasar kualitas layanan dokter, bukan kuantitas pasien. Mungkin ini bisa jadi agenda buat Pak SBY untuk memperbaiki kesehatan rakyat indonesia yang tingkat harapan hidupnya cukup rendah (65-70 tahun [1]).

Yang jelas kalau anda lihat bis kota yang jalannya ngebut dan ugal-ugalan, yah kurang lebih itu menggambarkan layanan para dokter kita.

[1] Data dari World Health Report 2005, WHO. Sebagai catatan samping saja, harapan hidup tertinggi ada di Jepang, Kanada dan Australia (80-85). Indonesia terletak dibawah Cina, Malaysia, Thailand & Meksiko; dan diatas Kamboja, India, Papua New Guinea dan semua negara Afrika.

Beda supir bus dengan dokter
Tagged on:

5 thoughts on “Beda supir bus dengan dokter

  • September 10, 2005 at 11:07 am
    Permalink

    singkatnya “produktivitas” di bidang jasa seharusnya memang terpisah dengan bidang manufaktur. Produktivitas pabrik rokok tentu saja = number of products/time. Jasa (services) nggak bisa seperti ini.

    Reply
  • September 12, 2005 at 10:39 am
    Permalink

    Aku tertarik dengan isu comfort zone dan anggapan/kesan bahwa hidup di indonesia lebih menantang. Sepertinya menantang ini relatif ya .. ya memang kalo dibandingkan dengan headline koran luar yang mgk nampak basi karena isunya tidak sesanter “korban mutilasi ditemukan membusuk dalam tas plastik di selokan” ala Pos Kota ;).

    Ada yang mau bercerita padaku lebh banyak tentang comfort zone dan variasinya? Aku akan sangat senang mendengarnya …

    Next post? Hmm, I’ll be loking forward :)

    Reply
  • February 11, 2013 at 8:20 pm
    Permalink

    Also a FREE SAMSUNG galaxy Unlocking guideline

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.