Semua berawal dari twit @AlberthieneE yang ini:
Pak Harto emang hebat. Kagak pernah ada bom.
Pernyataan ini tentu saja salah, karena pada jaman Soeharto pernah ada bom. Jika kasus pengeboman sedikit, itu lebih karena pada rezim Soeharto orang tidak salah bisa ditangkap karena tuduhan makar. Jangankan ditangkap, kadang kala orang hilang begitu saja.
Akan tetapi yang terkatakan telah terlanjur menuai kritik tajam. Walaupun @AlberthineE membalas kritik-kritik itu dengan nada yang tidak kalah ketus, namun pada akhirnya ia tidak kuat. Senin 26 Sep, @AlberthineE memutuskan untuk menghapus akunnya di Twitter. (Untuk kronologinya silahkan tilik blognya Alderina)
Sejumlah orang, seperti Mbak Silly, menyesalkan terjadinya bullying terhadap @AlberthieneE. Akan tetapi, apakah benar ini termasuk bullying?
Kalau kita cari di internet, sebetulnya ada beberapa ciri-ciri bullying, yaitu:
- terjadi kekerasan fisik, verbal, tekstual, maupun pskologis.
- terjadi berulang
- ada ketimpangan kekuatan
- korban tidak dapat melawan
- menyebabkan korban mengalami depresi, kesehatan menurun, dan dalam beberapa kasus: bunuh diri
Jika kita mengacu pada ciri-ciri di atas, sebetulnya susah untuk mengatakan bahwa @AlberthieneE telah dibully. Walaupun dia dimaki-maki, namun itu cuma terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Selain itu, tidak ada ketimpangan kekuatan, dan @AlberthieneE juga bisa melawan.
Mengapa sangat penting untuk memisahkan kasus semacam @AlberthieneE dari kategori bullying? Karena masalah bullying ini bukan main-main, dan telah menimbulkan korban. Jangan sampai orang yang kalah debat kemudian mengaku-ngaku telah dibully guna meraih simpati massa.
Yang terjadi pada @AlberthieneE adalah kemerdekaan berekspresi. Ia bebas untuk mengutarakan opininya, namun orang juga boleh mengkritik opininya. Jika kemudian kritik-kritik itu tidak enak didengar, mustahil juga untuk mengatur gaya bicara orang lain. Dan jangan lupa, berbicara di Twitter adalah berbicara di depan jutaan orang. Tidak semua akan menanggapi Anda dengan manis dan halus.
Namun salah kaprah ini tidak cuma di kasus @AlberthieneE. Menkominfo TIfatul Sembiring pernah dibilang korban bullying, gara-gara dia dimaki-maki lantaran bercanda soal pengidap AIDS. Tentu aneh kalau menteri bisa dibully, karena ketimpangan kekuatan justru condong ke Tifatul.
Demikian juga ketika Gilang Perdana—siswa SMA yang sesumbar di Twitter setelah mengeroyok wartawan—diserang onliners, tentu juga tidak termasuk bullying; karena Gilang justru memulai twit kontroversial.
Jika salah kaprah istilah ini berlanjut, saya khawatir istilah bullying akan kehilangan maknanya—dan lebih parah lagi: dipakai untuk lucu-lucuan. Akibatnya, korban bullying akan semakin sulit untuk mencari dukungan yang sangat ia perlukan.
___________
Posting ini didedikasikan untuk semua korban bullying, baik yang sudah melawan maupun yang sedang mengumpulkan kekuatan. :)
Terima kasih untuk informasinya :)
Posting yang tidak memihak, namun informatif.
Posting yang menarik mas Mon. Makna bullying sekarang hanya dimaknai dengan perang kritik saja di twitter. Yang kuat iman tetep bertahan yang gak kuat mundur secara perlahan… Mungkin karna di social media ini orang lebih sering membicarakan cyber bully yang di maknai dengan kritik yang berlebihan saja.. mungkin.
Benar yg kamu bilang Sib, perubahan makna itu sudah cukup lama terjadi.
Berarti kesimpulannya dalam kasus ini mengaku-ngaku telah dibully guna meraih simpati massa ya Mon?
Momon jangan kritik aku! jangan bullying aku! *kabur ke hutan*
Eh enggak lho. Maksudku sih nggak spesifik ke AlberthieneE, melainkan secara umum aja. Jangan sampai orang yang tidak dibully mengaku-aku dibully.
Saya kurang sepakat. *ngacung*. Terutama karena bung menyinggung kasus Gilang.
Saya menggunakan definisi dari sini soal bullying: http://www.nobully.org.nz/advicek.htm
“Bullying is when someone keeps doing or saying things to have power over another person….”
Tapi dengan tdk bermaksud debat soal definisi, to have power over someone itu menurut saya prinsip yang perlu dipegang.
Menurut saya, kasus Gilang itu sudah masuk ranah bullying, bahkan oleh media. Meskipun ia yang memulai kontroversi.
Pertama, ia masih anak-anak. *Kalau per-definisi ttg anak diragukan, bisa lihat UU perlindungan anak.* Saya tidak yakin ia paham betul apa yang ia lakukan. Ia bukan Tifatul Sembiring yang pejabat publik.
Kedua, bagaimana ia bisa melawan media mainstream? Berapa banyak media yang memberitakan kelakuan wartawannya?
Tak perlu masuk pengadilan, Gilang sudah bersalah. Apapun pembelaan dia di pengadilan, masyarakat terlanjur memandang rendah pada Gilang. Bahwa ada beberapa blog siswa yang kemudian jadi ramai karena menuliskan sisi lain yg tak populer, jangkauannya jelas beda dengan media massa.
Gilang memang salah. Tapi untuk anak, ada keadilan yang lain, Restorative Justice. Tidak perlu menunggu ia bunuh diri untuk menghentikan kekerasan psikis terhadapnya.
Thanks Momon udah nulis soal ini. Jadi ga hanya sekedar isu twitwar aja, tapi konteks bullying juga lebih dipertegas.
Tapi aku ada komen dikit nih… Aku setuju sama Prajnamu soal kasusnya Gilang. Aku sih yo awam ya Mon, jadi perspektifku ini murni awam dan sedikit-sedikit pengetahuan soal bullying ini.
Soal Gilang, okelah dia salah untuk tweet suatu hal yang kontroversial dan bangga akan itu, tapi reaksi yang muncul di Twitter sesudahnya aku rasa sudah cukup jadi hukuman untuk dia.
Nah, yang aku langsung ngrasa ga sreg itu lha reaksi media je. Itungannya Gilang kan masih di bawah umur, tapi kok ya kasusnya diekspos gede-gedean di media sampe namanya dipampang di media-media besar. Seolah-olah mau bilang, “lu udah pamer di Twitter, kan? NOH GUE BALES GUE TULIS DI HEADLINE.” Jujur aja Mon, buat aku, perilaku media yang mejeng namanya gila-gilaan itu masuk ke… Erm, bullying. Karena Gilang sendiri ga punya kekuatan untuk melawan. Media mah… Terus aja. Mungkin, mungkin lho, dia udah ngerasa menyesal setelah diomeli di Twitter. Tapi membesar-besarkan kasusnya di media sampe masang nama lengkapnya, itu pukulan yang berat buat dia.
Kalo soal si AE ini… Jujur aja, buat aku ini mah *uhuk* drama queen aja… Yagitudehyagitudongdorodongdong :D
Yaaa itu pendapat aku wae yo Mon :) Sekedar nimbrung aja :)
Prajnamu dan Kapkap, makasih ya sudah menambah diskusi ini. Soal definisi saya, sepakat, kita harus selalu mengacu pada sebuah definisi. Saya nggak masalah dengan itu.
Apakah kasus Gilang termasuk korban bullying oleh netizen? Menurut saya belum, karena belum habitual dan juga belum muncul itikad untuk meraih power. Pada kasus Gilang, netizen bereaksi atas aksi yang diberikan, dan lupa kalau Gilang adalah anak-anak. Saya menyayangkan aksi kekerasan tertulis yang dilakukan keroyokan oleh para netizen, dan dalam hal ini saya menilai Gilang memang korban kekerasan terhadap anak-anak, tapi terlalu dini untuk disebut bullying.
Bagaimana dengan media? Saya rasa juga bukan bullying. Tapi media tetap bersalah melakukan kekerasan terhadap anak dengan menyebutkan nama Gilang jelas-jelas di headline.
Demikian pandanganku.
Thanks buat pencerahannya ya Mon :D Jadi lebih ngerti soal pemahaman bullying; seperti yang Momon bilang, “habitual.”
Yah, emang sih waktu itu jatuhnya itu lupa. Lupa kalo Gilang masih anak-anak, masih SMU :| Sekarang aku ngerasa kalo Gilang pasti terpukul, dan ngerasa malu sama dirinya dan orang tuanya (kalo nggak, ngapain dia ganti Twitter ID pas itu?)
Moga-moga bisa belajar dari kejadian ini :) Ga semua kritik dianggap sebagai bullying, tapi bullying juga bukan perkara enteng. Thanks ya Mon :D
Tidak ada bullying dalam dunia netizen. Prinsip dasar social media adalah kesetaraan. Tanpa peduli dia presiden atau bukan, anak-anak atau orang tua, co atau ce, pinter atau goblog, rupawan atau mrongoswan.
Ukuran di socmed hanya satu kepatutan publik. Mainstream yang tercipta berawal dari situ. (Dan kita patut bersyukur, setidaknya di internet suara hati bisa lebih terlihat daripada di kenyataan, dimana koruptor toh akan tetap di puja seandainya menyumbang tempat ibadah)
Di kehidupan nyats, Bullying lebih banyak tercipta karena sistem dan kesalahan etika yg teroganisir. So…Cyber Bullying hanya ciptaan orang-orang yang mau menggeser standar etika.
Nah, yang bagian ini daku kurang setuju. Bullying bisa terjadi, bahkan di dunia netizen. Kasus Jamey Rodemeyer menurutku udah masuk bullying oleh netizen jhe—dia melawan, memang, tapi seperti kebanyakan kasus bullying, perlawanannya malah jadi semacam “backfire” (apa sih padanan katanya?).
Dan kalau nyatanya Jamey sekarang sudah tidak dibully lagi… lah iya, orangnya udah mati bunuh diri :|
…dah melebar ya…
makasih atas pencerahannya soal bully ini Mon :)
keren nih.
kasus Gilang, aku sependapat dengan Momon, itu bukan bullying.
Dan cyber bully makin menipiskan definisi bully itu sendiri.
sesungguhnya yang terjadi di sini ada flaming, bukan bullying.
Atau bully udah jd bhs gaul Indo kale :D Kita khan gitu klu mengadopsi kata-kata dari luar, suka didefinisikan suka2x. Contohnya phenomenon dan conglomerate…. :P
saya sih hobinya bull…bull…bullshit saja. lebih tepatnya spikspik bullshit.
saya sepakat sama njenengan di bagian ini, oom:
prinsip saya selalu begitu. hidup ini isinya cuma pilihan dan konsekuensi atas pilihan yang kita pilih. dan karena kita sudah bebas memilih, ya jangan ngambek apalagi nyalahin orang lain ketika konsekuensi dari pilihan kita ternyata berakhir buruk.
jadinya, tentang gilang, oke, tingkah wartawan yang ngekspos gedegedean mungkin memang nggak patut. tapi itu tetap tidak menutup fakta bahwa gilang yang memulainya sendiri. perkara diekspos gedegedean, dia masih di bawah umur dan masih esema, menurut saya, itu sudah jadi konteks yang lain lagi :D
*eh, kok saya malah ndak jadi ngomenin tema awalnya ya?
Pingback:Twitter dan Bagaimana Kita Menanggapinya | Jurnalnya Nike
setauku akhirnya dia batal menutup akun ini. jadi, rencana menurutp akun itu mungkin cara untuk ngetes kekuatan. alias testing the water aja. :)
besok2 informasi dilawan dg informasi saja, bukan dg ancaman menutup akun. :)
Pingback:Salahkah Memasang Identitas Akun Twitter - Opinion - hermansaksono
Izin me-link ya :)
Pingback:(Bukan) Cyber Bullying « Welkom in Mijn Huis