Ini adalah lajutan dari posting sebelumnya.
Jika 400 tahun yang lalu bangsa Eropa mulai menuntut monarki membagi kekuasaannya, saat ini kita menyaksikan rakyat Jogja menuntut Sri Sultan dan keturunannya agar tetap berkuasa selamanya.
Sebetulnya apa yang dijanjikan oleh seorang darah biru? Apakah sikap dan kebijaksaannya selalu lebih mulia? Setahu saya, Sultan HB II selalu disibukkan dengan intrik-intrik politik dalam kraton. Malah sejak perang Diponegoro usai, Kasultanan selalu mengembik ke Belanda, sambil terus menerima pundi-pundi upeti. Di lain sisi kita juga punya nasionalis tulen seperti Sultan HB IX yang mencintai rakyatnya. Tidak konsisten? Satu hal yang pasti, pemimpin ningrat ternyata tidak lebih menjanjikan dibanding pemimpin yang dipilih langsung melalui pemilihan.
Lalu apa yang membuat lurah-lurah itu berdemo membela Sultan? Apakah cinta, atau uang? Iphan bilang itu karena sudah tradisi. Mungkin. Kita memang punya tradisi memaklumi pemimpin payah sambil bermimpi bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tidak salah kalau Indonesia dijajah selama 3 abad dan 32 tahun.

Begini, saya tidak menyalahkan tradisi, walaupun berharap tradisi bisa berubah itu sah. Rumitnya, berharap tanpa bertindak hanyalah nama lain untuk kenihilan. Tapi jangan kuatir, saat ini Jogja sedang menyaksikan tongkat untuk bertindak di depan hidung mereka. Mau diambil atau pass dulu?

Bagian 2 Kursi Gubernur Sri Sultan
Tagged on:

25 thoughts on “Bagian 2 Kursi Gubernur Sri Sultan

  • March 3, 2008 at 12:10 pm
    Permalink

    Mon, kayak di Russia tapi agak beda sih. Di sana rakyat tetep keukeuh cinta Putin walau ia sedikit mengebiri demokratisasi. Namun mamou menciptakan stabilitas nasional.

    Nah kalo diliat dari paparan ini, mungkin kayaknya memang tradisi. Kalo Rusia masih kagok sama demokrasi, mungkin Indonesia juga, demokrasi angin-anginan yang belum siap.

    Reply
  • March 3, 2008 at 12:18 pm
    Permalink

    Sebetulnya nggak perlu kan stabilitas nasional diidentikkan dengan pengebirian demokrasi? Atau harus gitu ya? :D

    Reply
  • March 3, 2008 at 1:08 pm
    Permalink

    *padahal mau dijawab pake entry tar sore, tapi ndak jadi*

    Ndak harus gitu lah. Cuma karena ya itu tradisi (kambing hitam, heeehee) dan ketidaksiapan. :))
    Negara macam di negara2 Eropa Barat sukses menerapkan demokrasi yang menjaga stabilitas nasional tuh. Indonesia aja yang masih ngelamun… [-(

    Reply
  • March 3, 2008 at 2:26 pm
    Permalink

    ada yang beda mon.

    bangsa2 di eropa membedakan antara kepala negara dan kepala pemerintahan.

    kepala negara tetap dipegang oleh raja/ratu sementara kepala pemerintahan boleh dipimpin orang lain.

    sementara untuk kasus jogja, saat ini kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipegang oleh satu orang. jadi tidak salah ketika warga jogja tetep ngotot dipimpin oleh rajanya.

    kalo ada pemisahan antara kepala daerah dan kepala pemerintah daerah mungkin masalahnya akan lain.

    tp kira2 yang diajeni rakyat yang mana ya ?

    Reply
  • March 3, 2008 at 4:23 pm
    Permalink

    paling tidak dengan monarki yang bersifat turun menurun, kemungkinan kepercayaan kita diselingkuhi (terasa) lebih minimal. atas nama mereka harus menjaga ‘nama baik’ pendahulunya.

    meski sejarah beberapa kali menyaksikan kebalikkannya.

    Reply
  • March 3, 2008 at 4:32 pm
    Permalink

    Ada semacam romantisme kebudayaan mungkin?

    Reply
  • March 3, 2008 at 5:02 pm
    Permalink

    Rakyat mungkin sudah jenuh sama pemilihan-pemilihan yang ternyata tidak terlalu sukses.

    Daripada bertambah kecewa dan bersalah karena telah salah memilih, rakyat mengambil jalur aman, membiarkan sang pangeran yang memimpin. Mengesampingkan demokrasi. Dalam benak mereka, demokrasi Pancasila adalah susatu yang utopis…

    Reply
  • March 3, 2008 at 5:21 pm
    Permalink

    jawaban iphan cenderung pragmatis itu..

    konon, dari semua masa pemerintahan di dunia berlangsung dengan pengekebirian kebebasan.. demi menjamin stabilitas nasional..
    CMIIW …

    *pernyataan yg lebih pragmatis :p

    Reply
  • March 3, 2008 at 8:49 pm
    Permalink

    …hmm bisik bisik, walau agak OOT
    * Sultan HB X sebenarnya juga berambisi keturunannya terus jadi penguasa Kraton – Lihat saja KGR Hemas terus melahirkan sejak Sultan memangku tahta..Hanya anaknya perempuan terus, nggak ada yang laki.

    * Jadi semua juga manusiawi ketika pada akhirnya memiliki ambisi

    Reply
  • March 4, 2008 at 7:57 am
    Permalink

    (-_-) ..mmm.. bukannya 3.5 abad dan seumur jagung? ;)

    Reply
  • March 4, 2008 at 8:36 am
    Permalink

    kursi bagian kedua menunjukkan perbaikan kualitas dibandingkan dengan kuris bagian pertama, maksud saya pic nya…. ;))

    bagian ketiga pakai pic sofa bagus kalik ya…

    Reply
  • March 5, 2008 at 5:40 am
    Permalink

    Ada tiga : Harta, Tahta dan Wanita

    Kalau digabung, ketiga ujian itu akan bermuara di satu tiik : Kekuasaan. Senangnya kalau berada di titik Kekuasaan.

    * Ad homimem tidak mon? ^_^

    Reply
  • March 7, 2008 at 3:47 pm
    Permalink

    Begini ya Nakmas.
    Sepertinya rakyat Yogyakarta itu berfikir sederhana saja, melihat contoh yang telah ada. Misalnya pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi tidak lebih baik dari yang -kelihatannya- kontra demokrasi, belum tentu menghasilkan pemimpin yang benar benar mau berkorban untuk rakyat dan membela rakyat, dan kepemimpinannya dapat dirasakan rakyatnya.

    Pemimpin itu ada yang diterima apa adanya, ditakuti, dipaksanakan diterima, dibutuhkan dan ada yang dicintai.

    Nah, Sri Sultan HB IX dan X itu masuk katagori pemimpin yang dicintai, nah sampeyan mau bilang apa kalau memang rakyat -termasuk saya- mencitai pemimpinnya sendiri.

    Kami, rakyat Jogja -tidak semua lho- merasakan memiliki Sri Sultan HB sebagai pemimpin, pengayom, dan sosok beliau sebagai pemimpin yang dibutuhkan pada saat ini.

    Bagi Jogja, Sri Sultan HB X itu bukan semata mata dalam kapasitas pribadi, ia juga representasi budaya, representasi komunitas yang menggunakan RASA sebagai cara menyikapi hidup.

    Bagi orang diluar Jogja, atau orang yang tinggal di kota Jogja tapi bukan bagian dari “wong Jogja”, memang sulit memahami bagaimana rakyat Jogja mencintai pemimpinnya, sebab bagi mereka -mingkin lho- bermasyarakat dan bernegara itu adalah perilaku rasional, perilaku ekonomi politik, perilaku sosial semata. Padahal bukan sekedar itu lho…

    Reply
  • March 7, 2008 at 7:40 pm
    Permalink

    Tulus Subardjono
    Nah, Sri Sultan HB IX dan X itu masuk katagori pemimpin yang dicintai, nah sampeyan mau bilang apa kalau memang rakyat -termasuk saya- mencintai pemimpinnya sendiri.

    Hati-hati, cinta itu membutakan :)

    Saya melihatnya begini, dalam urusan negara itu tidak mungkin hanya mengandalkan cinta dan RASA.

    Sebagai contoh, check and balances tidak bisa berjalan kalau hubungan lebih banyak soal cinta dan rasa.

    Reply
  • March 9, 2008 at 9:20 pm
    Permalink

    Menurut saya, “sistem monarki” kesultanan Jogja saat ini tidak lebih dari menjaga satu bentuk budaya, dan ini tidak sama dengan sistem monarki sebenarnya. Kekuasaan Sultan sebenarnya hanya berada di lingkup keraton, sama dengan kekuasaan seorang kepala rumah tangga di lingkungan rumahnya.

    Di sisi lain, demokrasi di Indonesia sangat tergantung dari popularitas (artis dan mantan artis banyak yang ikut pencalonan, karena kans menangnya cukup besar). Jika dihitung, mungkin hanya sedikit sekali para “voters” di Indonesia yang mengenal dengan baik kondisi/latar belakang sebenarnya dari para kandidat.

    Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena alasan apapun, karena ini bagian dari sistem demokrasi. Semua orang bebas memilih, tanpa dipaksa.

    Reply
  • March 9, 2008 at 9:49 pm
    Permalink

    Oh tidak. Memilih pemimpin hanya berdasar terkenal-tidaknya, bagaimanapun juga tetap salah.

    Reply
  • September 3, 2008 at 11:59 am
    Permalink

    Ikut urun rembug bab sultan HB II, sepengetahuan mas herman beliau ini seorang yang lemah dan nurut pada Belanda, padahal beliau berperang dengan Belanda dan Inggris, Intrik lah yang menyebabkan kraton kehilangan wibawanya, mengenai HB II sendiri adalah tokoh sultan2 Yogya, lha wong beliau naik tahta 3 kali, lihat saja kuburannya, satu satunya sultan yang dimakamkan di luar Imogiri, menunjukkan beliaulah yang paling merakyat, seperti bung karno yang berkali kali dibuang, HB II juga begitu mas!

    Rasanya saya tidak pernah bilang kalau HB II lemah dan nurut. Dari mana anda menciptakan pernyataan itu? :) HB II memang melawan Belanda, tetapi kepemimpinya selalu disibukkan dengan intrik internal.

    Reply
  • August 21, 2012 at 2:25 pm
    Permalink

    Tej wiosenki obrazy malowane na płótnie władają z jednej strony jasne a także pastelowe barwy: bladożółty róż, żółty, beż, czerwony i bananowy, a także klasyczna biel. Z drugiej strony nie pozwalają o sobie zapomnieć również: granat czy intensywna czerwień. Jeśli chcesz dowiedzieć się wicej: Obrazy Olejne

    Reply
  • September 17, 2014 at 12:38 pm
    Permalink

    I was suggested this website by my cousin. I’m not sure whether
    or not this put up is written via him as nobody else understand such unique approximately my problem.
    You are amazing! Thanks!

    Reply
  • September 25, 2014 at 10:26 am
    Permalink

    I enjoy what you guys tend to be up too. Such clever work and exposure!

    Keep up the awesome works guys I’ve included you guys to my own blogroll.

    Reply
  • October 10, 2014 at 5:10 pm
    Permalink

    I think other site proprietors should take this website as an model, very clean and great user friendly style and design, let alone the content. You’re an expert in this topic!

    Reply
  • October 10, 2014 at 7:54 pm
    Permalink

    Of course, what a splendid site and revealing posts, I will bookmark your site.Best Regards!

    Reply
  • November 11, 2014 at 5:15 pm
    Permalink

    Marvelous, what a weblog it is! This blog provides valuable
    information to us, keep it up.

    Reply
  • November 15, 2014 at 11:53 am
    Permalink

    However, if he decides that he cannot trust
    you and does not desire to reunite with you,
    simply accept his decision just like he accepted your own and get over it.
    If you’re not currently doing online dating in conjunction with everything else, you are missing out.
    It all starts with knowing your KWML personality style, and using it to speak to her in an emotional language which is her best feature.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.