Ini adalah seri Cerita Foto.
Hari pertama pelajar kulit hitam masuk sekolah kulit putih di Arkansas, AS tahun 1957.
Pada tahun 1954, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa pemisahan sekolah berdasar ras adalah inkonstitusional. Walaupun sejumlah daerah sudah berusaha menggabungkan sekolah kulit putih dengan sekolah kulit hitam, namun di beberapa negara bagian di selatan justru aktif melawan putusan tersebut.
Salah satunya di Arkansas, di mana gubernur Orval Faubus bergabung dengan warga kulit putih setempat menentang masuknya kulit hitam ke sekolah kulit putih. Gubernur Faubus menempatkan pasukan garda nasional untuk menghalangi 9 siswa kulit hitam untuk masuk ke gedung sekolah menengah Little Rock.
Presiden Dwight Eisenhower kemudian menempatkan tentara federal untuk melindungi warga kulit hitam tersebut.
Di akhir tahun ajaran, delapan dari kesembilan siswa kulit hitam dinyatakan naik kelas, walaupun cercaaan dan kebencian terus berdatangan bertubi-tubi.
Gadis kulit hitam di foto itu adalah Elizabeth Eckford, yang terpisah dari delapan siswa kulit hitam lainnya ketika menuju gedung sekolah Little Rock. Perempuan kulit putih yang berteriak di belakang Eckford adalah Hazel Massery, juga pelajar Little Rock. Perhatikan kebencian yang memancar dari Massery.
Ada sedikit paralel antara kasus ini dengan GKI Yasmin yang hari Minggu besok tidak bisa merayakan Natal di rumah ibadah mereka. Walaupun Mahkamah Agung Indonesia (dan juga Ombudsman RI) sudah memutuskan bahwa perijinan gereja tersebut sah, namun walikota Bogor, Diani Budiarto tetap bersikeras menyegel bangunan gereja tersebut.
Sikap Diani juga didukung oleh sebagian masyarakat. Seperti misalnya Keluarga Muslim Bogor yang mengancam akan mengadakan aksi tandingan jika jemaah GKI Yasmin tetap mengadakan misa natal.
Eisenhower adalah salah satu presiden yang berpengaruh dalam sejarah AS. Ia mengambil keputusan tegas menurunkan pasukan federal ke Little Rock untuk menegakkan keputusan Mahkamah Agung AS, yang kemudian menandai langkah-langkah menuju diberantasnya diskiriminasi di Amerika Serikat.
Jika SBY ingin menjadi tokoh berpengaruh dalam sejarah Indonesia, setidaknya dia juga bisa mulai tegas menegakkan keputusan Mahkamah Agung.
Foto diambil oleh Will Counts.
Ini soal umum, bukan soal Yasmin. Kita itu butuh presiden yang tegas, yang berani membuat terobosan, dan meminta dukungan rakyat. Tapi selama presiden kita tersandera oleh partai-partai, termasuk partainya sendiri, dan dia tidak mencoba melepaskan diri di periode terakhir jabatannya, maka hasilnya ya gak jelas. Status quo.
•••••
Tentang Yasmin, yeahh berlarut karena dibiarkan berlarut, lalu menggantung. Bisa saja penyelesaian dimulau dari pertanyaan mendasar, “Kenapa tidak boleh ada gereja?”
“Karena izinnya anu, anu, anu.”
“Kenapa begitu?”
“Terus terang saja kami gak suka ada gereja. Masa sih harus dikatakan terus terang?”
“Kenapa gak suka?”
“Karena warga gerejanya bukan penduduk kelurahan ini.”
“Lha kan banyak juga mesjid terutama di kawasan perkantoran, yang jamaahnya terutama Jumat, bukan ber-KTP di wilayah itu? Lagi pula kenapa membangun masjid lebih gampang? Apa semua punya IMB dan lainnya?”
“Sudahlah, jangan merembet ke mana-mana. Kalian minoritas, dan kami mayoritas. Yang dikit tahu diri dong, ngalah sama yang gede. Ini intinya. Masa harus dikatakan sih…”
“Ada yang lebih inti?”
“Ada. Kami gak rela kalo orang kami ada yang ikut kalian. Itu namanya pemurtadan. Apa masih kurang terus terang?”
“Lha kalau ada mualaf, lalu menjadi bintang di mana-mana, bahkan mengajak orang lain ikut mereka, kami gak masalah tuh, kami juga gak menganggap mereka menghina agama lain…”
“Jangan melebar ke mana-mana.”
Pembangunan gereja di beberapa kawasan cenderung dipersulit. Maka ada saja gereja yang menyewa hall (termasuk balai di hotel dan mal) untuk ibadah. Ujung-ujungnya diprotes juga. Kasus terakhir di Gandaria City, Jaksel. Di mal itu akhirnya ada masjid dan tampaknya ketegangan mereda.
—–
Sabar, pembaca. Maaf. Jangan keburu gerah. Dialog rekaan juga bisa diterapkan untuk pembangunan masjid dengan penentang nonmuslim, yang bisa saja d suatu wilayah muslimnya tak banyak. Apa harus begitu? Nggak dong.
Inti demokrasi bukan sekadar mutlak-mutlakan kuantitif untuk segala hal.
—–
Maaf untuk Momon, komen saya panjang.
Nggak papa Paman. Komentarnya memperkaya diskusi kok.
agak nggak nyambung ni aku komen-nya.
kemaren aku liat foto Panda di facebook captionnya kira2 begini: stop racism, start to love. Look at me, I am black, white and asian too. peace maaan (kata si Panda sambil mangap).
kalo gk dewasa dalam beragama tu ya begitu, yang ada di pikirannya tu ideologi perlawanan/permusuhan, bukan kasih sayang. Aku juga bingung sama doktrinasi tentang ideologi perlawanan itu, kok kayaknya udah bukan jamannya lagi macam begitu.
Ideologi melawan itu memang membuat ujung yang lain jadi balas melawan ya Ka?
nggak otomatis gitu sih.
intinya menurutku ada dalam kedewasaan beragama. Aku twit aja deh, nek di sini ntar pada ribut.
:)
Kalo pesanmu diikuti SBY, kebayang reaksinya itu Mon, bisa-bisa Munarman dan FPI tambah semangat menggulingkan SBY
Saya jadi mikir, kasihan juga Bu Massery di situ, jadi semacam simbol rasisme, padahal paling dia waktu itu hanya produk zaman dan lingkungannya. Masih muda pula. Belakangan setahu saya dia mencoba membersihkan namanya dengan menjadi aktivis, tapi manusia memang suka simbolisme seperti itu.
Mirip siapa itu, jenderal dari Vietnam Selatan yang difoto sedang mengeksekusi petugas Vietcong. Walau mungkin tidak separah itu kasusnya.
Cuma jadi teringat cerita seorang romo yang pernah ditugaskan di Vietnam.
Disana, di negara yang katanya komunis, perlu waktu dua tahun untuk mengurus izin pendirian gereja.
Disini di Indonesia yang katanya negara bertuhan, perlu 10 tahun untuk mengurus izin renovasi gereja. Itupun belum tentu dikabulkan…
Unrlaalleped accuracy, unequivocal clarity, and undeniable importance!
kenapa ras kulit putih dengan sekolah kulit hitam di pisahkan?