Beberapa saat yang lalu, para pemerhati wayang kulit berkumpul dan berkatarsis bersama-sama. Cukup menarik memang karena kebanyakan dari mereka mengeluh tentang eksistensi wayang kulit yang kalah dengan sinetron.

Salah satu hal yang membuat wayang kulit tidak lagi menarik adalah pertunjukan ini sangat membosankan. Bagaimana tidak, semua pertunjukan wayang kulit nyaris sama persis, ada pakemnya. Sebagai gambaran, semua pertunjukan wayang kulit jawa terdiri tiga pathet (act)1, yang terdiri dari adegan:

  1. Patih dan Punggawa rapat dengan Raja
  2. Raja ke keputren, lalu disusul lawakan oleh Limbuk & Cangik
  3. Patih dan Punggawa rapat bersama, kemudian seluruh rombongan dari kerajaan berangkat ke suatu tempat
  4. Di tengah jalan rombongan kerajaan bertemu dengan musuh, mereka berkelahi, kemudian salah satu kalah
  5. Adegan lawakan Gareng, Petruk, dan Bagong. Kemudian mereka menemani sang Satria ke hutan.
  6. Di tengah hutan sang Satria bertemu raksasa Cakil dan Bragalba. Terjadi perkelahian sengit walaupun akhirnya sang satria menang (seprise!!).
  7. Semua tokoh muncul dan klimaks mulai terjadi
  8. Tokoh antagonis perang dengan tokoh protagonis, dan akhirnya kalah dan mati. Terjadi resolusi.
  9. Selesai!

Sebuah masalah muncul disini: pertunjukan wayang kulit dibuat baku sedemikian rupa, sehingga dalang nyaris tidak bisa berkreasi lebih dari itu. Paling mentok, dalang akan mengeksplorasi adegan perang dan adegan lawak, karena kedua adegan itu masih fleksibel.

Ketika sesuatu diulang-ulang terus menerus, akhirnya audience akan jenuh. Dan ketika mereka jenuh, otomatis mereka akan pindah ke hiburan lain.

Mungkin kalau diterapkan di jaman sunan-sunan, pakem wayang kulit tidak terlalu menjadi masalah karena frekuensi pagelaran wayang kulit masih jarang. Tapi ketika diterapkan di masa kini ketika sehari dapat diputar dua episode sekaligus, orang akan cepat bosan kalau plot cerita selalu mirip-mirip.

Ironisnya, kebanyakan para pemerhati wayang kulit (termasuk dalang), tidak suka ada inovasi pada pola pertunjukan wayang kulit. Ketika wayang kulit dipendekkan dari 9 jam menjadi 4 jam oleh Indosiar, mereka protes. Ketika urutan adegan di utak-atik mereka protes juga. Ketika Ki Sukasman membuat Wayang Ukur, mereka mencaci-maki.

Wayang kulit sebagai sebuah telur dari kebudayaan tidak seharusnya dikekang dan dibakukan. Seperti kebudayaan sendiri, seharusnya bisa berkembang dan menyesuaikan zaman.

Catatan kaki:
Selain plot yang sama terus, ritme perkembangan cerita wayang kulit mengumpulkan konflik, klimaks, dan resolusi pada 3 jam terakhir, kurang lebih grafiknya seperti ini:

Otomatis, penonton terpaksa harus menghabiskan 6 jam untuk melihat set-up dari lakon (cerita).

Kenapa Wayang Kulit Membosankan
Tagged on:

37 thoughts on “Kenapa Wayang Kulit Membosankan

  • December 19, 2005 at 4:19 am
    Permalink

    Oooooohhh… gitu yaa..??

    kalo alasan saya sih simpel..

    soalnya wayang pake basa jawa!!!

    coba pake basa inggris…

    (makin gak ngerti…. :p)

    Reply
  • December 19, 2005 at 5:45 am
    Permalink

    Yap, begitulah kira-kira. Klo bicara soal eksistensi pertunjukan wayang kulit di zaman sekarang ini, memang sudah kurang bisa diharapkan. Untuk konsumsi anak muda, jelas sekali hampir atau bahkan nggak ada yang menyukai wayang kulit. Mendhing nonton film kali ya. Apalagi di Jogja. Belum pernah aku menjumpai orang yang nanggap wayang kulit kalo pas punya gawe. Paling-paling wayang itu hanya dipentaskan di lingkungan keraton. Sebenarnya ini sangat ironis. Kita punya materi budaya yang bagus sampai-sampai orang bule jauh-jauh pengin lihat wayang kulit, tapi kenapa ya kok nggak ada semacam “maintenance” budaya ini? Biar gak punah gitu. Beda lagi klo menurut pandangan orang-orang tua (he he he, generasi di atas kita). Masih banyak di antara mereka-mereka yang menggemari wayang kulit. Meskipun bisa dibilang mereka “hapal” dengan alur cerita yang dilakonkan. Toh mereka tetap enjoy. Karena bagi masyarakat Jawa khususnya, wayang kulit bukan cuma sekedar pertunjukan, tapi ada filosofi yang terkandung dari lakon wayang itu sendiri. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa alur cerita wayang kok monoton. Kalopun seorang dalang ingin menciptakan lakon baru, tentunya nggak asal “manut udel-e dhewe”. Sembarangan membikin lakon, seorang dalang bisa berisiko jatuh kredibilitasnya. Sebagai contoh, kalo ada lakon kok Nakula dan Sadewa berselisih padahal mereka bersaudara, orang akan menganggap dalangnya “koclok”. Nakula dan Sadewa itu pengibaratan ikatan tali persaudaraaan yang tidak akan pernah regang apalagi sampai putus. Ya kira-kira begitu. Jujur aja aku sendiri juga kurang menyukai wayang kulit. Tapi klo di daerahku ada pertunjukan wayang kulit, ada satu hal yang membuat aku tertarik, bukan pertunjukannya, tapi “klitikan”. He he, pasar murah gitu lah.

    Reply
  • December 19, 2005 at 6:14 am
    Permalink

    bagi yang gak ngerti bahasa jawa… wayang kulit sebenarnya tidak membosankan, lebih tepatnya tidak menarik.

    Aku dibesarkan oleh keluarga pembuat wayang (Djajaperwita’s Family at Ghriya Ukir Kulit), dan sewaktu kecil sangat wayang maniac. Setelah gedhe, musik dan kesenian modern membuat aku pelan-pelan meninggalkan wayang… tapi tidak akan pernah benar-benar melupakannya.

    Saat ini, terkadang aku merasa kangen, dan nyaman jika bisa merasakan suasana pertunjukan wayang kulit. Mungkin aku merasakan apa yang Pakdheku bilang, “Orang Jawa Akan Kembali Menjadi Orang Jawa Saat Ia Tua”.

    Btw, kalo di daerahku ada pertunjukkan wayang… selain wayangnya, yang rame adalah judi cliwiknya (judi kopyok)… gludhuk!!.. Metu palang slewahh…

    Reply
  • December 19, 2005 at 6:39 am
    Permalink

    Mas Pei, aku juga penggemar wayang. Setiap malem minggu nonton wayang di Indosiar. Aku sempat mengkoleksi juga wayang yang ukuran kecil, jumlanya ada seratus lebih dan udah pada level tokoh yang jarang dikenal.

    Tapi begini, lama-lama rasanya constraint dari pakem ini justru berpartispasi terhadap kepunahan wayang. Kenapa tidak dibuat lebih fleksibel? Tidak masalah ceritanya sama, tapi susunan plotnya dibuat beda. Beri ruang tambahan untuk kreativitas.

    Semacam play-nya Shakpeare atau opera itali, walaupun ceritanya sudah pakem, tetapi selalu ada kemungkinan untuk menginterpretasikan ulang pertunjukan tsb. Ini tentunya bukan untuk kepentingan generasi tua yang sudah cocok dengan pakem lama, ini untuk kepentingan generasi muda agar tetap dapat menikmati pertunjukan ini.

    Baidewei, maspei punya sudara yang bisa bikin wayang? Aku bisa pesan wayang kulit disana? Ada bbrp tokoh wayang yang aku ingin buat, tapi kesusahan mendapatkan pengrajin yang bersedia dipesani orderan khusus.

    Reply
  • December 19, 2005 at 10:23 am
    Permalink

    wayang, klo aku suka liat yang wayang golek asep sunarya itu . senengnya juga pas kelahi atau ngelwak aja .. pas nyeritain main storynya sih .. ngantuk juga :D

    Reply
  • December 19, 2005 at 11:45 am
    Permalink

    Grafiknya mau ditambahin TM juga mas Mon? :D

    Reply
  • December 19, 2005 at 1:00 pm
    Permalink

    sebetulnya banyak cerita wayang yang menarik (waktu kecil sy sering diceritakan bbrp lakon wayang oleh orang tua), tapi mungkin karena keterbatasan visualisasinya, jadi kurang menarik. IMO, film-film Hollywood juga alurnya sebetulnya monoton, tapi dengan efek khusus, aktor yang berbakat, ini jadi menarik.

    Reply
  • December 19, 2005 at 5:45 pm
    Permalink

    lho, bukannya wayang kulit ala jogja begitu gayeng dgn lawakannya yg super lucu & nongol di sembarang tempat itu. bahkan saya sendiri adalah penggemar berat Ki Hadisugito from Jogja (Toyan tepatnya …). punya mp3-nya gak mas ? hehehe …

    Reply
  • December 19, 2005 at 6:47 pm
    Permalink

    wayang kulit ? kl nonton aku muales, ngantuk. tapi kl denger lirih2 suara dalang di tengah keheningan malam, itu nikmat banget.. hehehe kayak kembali ke zaman hinduisme tahun 500-an. wah, dimana ya bisa beli wayang kulit yang gak mahalan di jogja ? kasih info dong mon. di mirota menurutku mahal banget (or aku iki pedit pol opo yo..)

    Reply
  • December 19, 2005 at 7:43 pm
    Permalink

    Walaupun nggak maniak banget sama wayang, tapi beberapa kali memang pernah nonton.

    Bagian favorit: ya pas goro-goro (bener yo nulisnya?). Rame dah kalo bagian itu.

    Oh ya, kalo soal inovasi dalang, saya pribadi masih seneng sama Enthus itu… :D

    Reply
  • December 19, 2005 at 8:20 pm
    Permalink

    Wah MasPei ini bener-bener membuka memoriku waktu masih hidup di kampung. Dulu waktu aku kecil wayang bukan pertunjukan yg langka bahkan hiburan favorit. Aku inget minta duit hanya untuk pasang glubug (cliwik, gluduk). Jam 5 sore aku dah nongkrong di depan bandar, jam segitu yg pasang masih anak2 seusiaku(SD/SMP). Aku inget betul kata2 yg keluar dari mulut sang bandar tuh begini “Ayo mumpung iseh sore gek brak-bruk”. Gludug!! trus dibukak, badala metu ijo dobel telu. Satu lagi Bapakku adalah seorang dalang walaupun cuma level kampung. Pentas terakhir pas 17an thn 2000. Kalo lakon favoritku adalah DEWA RUCI (BIMA SUCI).Dalem banget coy!! Kalo ada yg punya kaset lakon itu dg dalang Ki Timbul aku mau beli. Dah nyari2 sak jogja ga ada je.

    Reply
  • December 19, 2005 at 8:53 pm
    Permalink

    Keluarga Traa:
    Mirota Batik emang sedikit lebih mahal, tapi yang saya kurang suka: koleksinya tidak lengkap. Plaing hanya ada tokoh-tokoh standa: Arjuna, Rama, Shinta dkk.

    Kalau mau yang sedikit lebih murah dan koleksi karakternya lebih beragam, saya biasanya ke Tjokrosoeharto di dekat Plengkung Wijilan. Tapi dah lama juga sih kesananya, 8 tahun yang lalu. Mungkin sekarang peta perwayangannya sudah berubah.

    Akubudy:
    Sudah coba di toko kaset jadul selatan Malioboro Mall belum? Kalau gak salah toko tsb masih menjual kaset wayang.

    Reply
  • December 20, 2005 at 8:13 am
    Permalink

    Tuk Hormon: Keluargaku memang pembuat Wayang (Made by Order). Bahkan aku (dan generasi sepupuku) masih menguasai ketrampilan teknis pembuatan wayang…karena memang diwajibkan. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/10/utama/1074338.htm

    Tapi sebagai gambaran, wayang di sanggar pakdheku harganya mahal, jika dibanding di tempat lain. Jika kamu memang mau pesen dengan harga yang lebih murah, aku sarankan untuk pergi ke Pucung,Wukirsari,Imogiri, sebuah desa Kerajinan Wayang yang masih eksis.

    Apapun karakternya, aku yakin mereka bisa. Mereka akan mencari “master” wayang yang diinginkan ke pengrajin besar jika tidak punya.

    Reply
  • December 20, 2005 at 12:44 pm
    Permalink

    Eh halo, iseng nih dulu waktu gue kecil suka wayang loh, gara2 baca buku wayang buat anak sd gitu, trus merengek-rengek ke ortu akhirnya di beliin novel2 Mahabarata, Ramayana, Arjuna Sasrabahu dsb ceritanya menarik dan sama sekali ga ngebosenin , trus akhirnya di daerah gue dulu ada yang kawinan trus nanggap wayang kulit gitu kan semaleman…eh abis liat itu jadi males liat pertunjukannya, kadang wayang golek lebih menarik

    Reply
  • January 5, 2006 at 9:22 am
    Permalink

    Hehehe…mungkin perlu dipikirkan “Revolusi Wayang”. Tidak tahu apakah berupa visualisasi yang dirubah mengikuti teknologi sekarang, yaa..misalnya diubah ke animasi keq, atau lainnya. Sayang neh, harta warisan Indo akan punah dalam 50 tahun kedepan..hiks…(keluh..)

    Reply
  • April 25, 2007 at 7:29 pm
    Permalink

    sudah ada banyak pengembangan, Wayang Ukur, Wayang Sandosa, Wayang Urban dll. Pendekatan yg digunakan lebih mengacu pada struktur dramatikal yang bebas sehingga “pakem” yg ditakutkan itu tidak menjadi masalah besar lagi. Toh… dlm kasanah wayang tradisi tetap ada ruang yg namanya “sanggit”… jadi bukan hanya dalam hal gerak wayang dan lawakan saja melainkan teks/skenario yang bisa dimain2kan oleh Dalang tergantung “sangu” masing-masing. Itu juga berlaku untuk alur dan jalinan konfliknya.

    Reply
  • May 5, 2007 at 7:07 pm
    Permalink

    coba tunggu pertunjukan wayang RAMA SHINTA bulan Juli ntar di Ambarrukmo Plasa…
    pementasan wayang itu ntar salah satu rangkaian acara FKY 2007…

    abis ituw,,coba kasi review nyah..
    apakah tetep jadi salah satu pertunjukan wayang yang membosankan……?????
    ^_^

    -it’s me-
    sHeta…..
    sheta_utchu@yahoo.com

    Reply
    • January 16, 2015 at 1:46 pm
      Permalink

      Please keep thrwoing these posts up they help tons.

      Reply
  • May 27, 2007 at 12:36 am
    Permalink

    Take a look at my youtube videos of wayang.

    search under mcpetruk when you get to the youtube site.

    Reply
  • September 8, 2007 at 11:48 am
    Permalink

    emang sih sebagai orang jawa saya juga tidak terlalu suka dengan wayang apalagi pembawaaan cerita yang panjang dan alur yang belum jelas bagi kami kaum muda akan sangat membosankan. gimana kalo di sekolah ada pelajaran soal filosofi wayang. sagetlah ing wucalan basa jawi. dengan gitu kan orang muda jadi tahu menempatkan cerita wayang dalam dasar cerita yang jelas. kalau kita nggak pernah tahu alur cerita, dijamin dah nggak bakalan ngerti isi cerita wayang.

    Reply
  • October 17, 2007 at 2:11 am
    Permalink

    1.Apakah anda tahu (pernah mendengar) tentang wayang kulit?
    a. Ya
    b. Tidak

    2. Apakah wayang kulit menarik?
    a. Ya
    b. Tidak

    3.(lanjutan no.2)Apa alasannya?
    a.warnanya menarik
    b.ceritanya menarik
    c.membosankan
    d. memakai bahasa Jawa
    e…………………….

    4.Dari daerah manakah wayang kulit berasal?
    a. Jawa
    b. Sumatera

    5. Siapakah tokoh wayang yang anda tahu (pernah mendengar)?Urutkan!
    a. Arjuna(…)
    b.Anoman(…)

    6. Diantara MAHABARATA dan RAMAYANA, yang mana yang lebih anda tahu?
    a. Mahabarata
    b. Ramayana

    7. Perlukah kita melestarikan wayang kulit?
    a. Ya
    b. Tidak

    8. (lanjutan no.5) Apa alasannya?
    ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

    9. Apa saran anda agar wayang dapat diterima oleh kawula muda (mahasiswa)?
    ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

    10. Berbicara tentang wayang warna apa yang langsung terlintas di benak anda?
    a. Merah
    b. Cokelat
    c. Emas
    d. …………………………………..

    11.(lanjutan no.10)Apa alasannya?
    ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
    1.Apakah anda tahu (pernah mendengar) tentang wayang kulit?
    a. Ya
    b. Tidak

    2. Apakah wayang kulit menarik?
    a. Ya
    b. Tidak

    3.(lanjutan no.2)Apa alasannya?
    a.warnanya menarik
    b.ceritanya menarik
    c.membosankan
    d. memakai bahasa Jawa
    e…………………….

    4.Dari daerah manakah wayang kulit berasal?
    a. Jawa
    b. Sumatera

    5. Siapakah tokoh wayang yang anda tahu (pernah mendengar)?Urutkan!
    a. Arjuna(…)
    b.Anoman(…)

    6. Diantara MAHABARATA dan RAMAYANA, yang mana yang lebih anda tahu?
    a. Mahabarata
    b. Ramayana

    7. Perlukah kita melestarikan wayang kulit?
    a. Ya
    b. Tidak

    8. (lanjutan no.5) Apa alasannya?
    ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

    9. Apa saran anda agar wayang dapat diterima oleh kawula muda (mahasiswa)?
    ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

    10. Berbicara tentang wayang warna apa yang langsung terlintas di benak anda?
    a. Merah
    b. Cokelat
    c. Emas
    d. …………………………………..

    11.(lanjutan no.10)Apa alasannya?
    ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

    Reply
  • October 17, 2007 at 2:57 pm
    Permalink

    Bosan, bisa juga muncul disebabkan karena ketidak tahuan dan malas untuk mengenali atau mempelajari wayang kulit (WK) lebih mendalam.
    Bagi yang tidak mengerti apa itu Wayang kulit maka akan mudah untuk mengatakan semua WK itu sama mengikuti pakem , persis seperti mengatakan bahwa semua musik klasik itu sama. Hanya orang2 yang tahulah yang bisa membedakan bahwa dua orang kembar (twin)itu sebenarnya tidak sama, satu dan lainnya ada perbedaan.

    Perhatikan apakah dalang yang satu sama dengan dalang lainnya dalam membawakan suluk, pathetan sanga wantah misalnya, juga apakah gending yang mengiringi suatu WK sama dengan WK yang lain, sindennya, cengkokannya.

    Apalagi kalau bicara soal “Goro2 dan guyunan Semar Gareng Petruk Bagong”. Dalam satu cerita WK yang sama, dalang yang sama, Goro2 & dagelan dalam satu pertunjukan akan berbeda pada pertunjukan berikutnya.

    Lho ini cuma menyebut beberapa saja.

    Kita tidak sayang karena kita tidak kenal. Kita merasakan mboseni karena kita tidak ngerti.

    Salam
    Bambing

    Reply
  • May 5, 2008 at 8:57 am
    Permalink

    Wayang Kulit

    Dua kata yang menggambarkan keindahan bagi sebagian orang.
    waktu kecil dulu aku sangat malu ketika harus bersentuhan dengan dunia wayang, termasuk karawitan.
    Sehingga aku mendalami musik modern. Waktu aku kuliah, ternyata aku nyaman mendengar karawitan.
    Dan sekarang ternyata semua berbalik 180 derajat. Aku malu ketika harus memainkan musik-musik modern. Apalagi di depan orang banyak. Aku lebih suka mendengar karawitan. Apalagi Kalau sepi, Laras pelog kendangnya nggembyak ada gerongannya. Wuih indah man !
    Gamelan adalah musik surgawi !

    salam
    Ri

    Reply
  • April 29, 2009 at 3:06 pm
    Permalink

    Wayang. Wajar nek di-enyang. Ndak menarik mungkin, menarik tetapi masih ditawar murah lagi. Berhubung nama persis bungkus – maka saya mencari literature meski lambat, saat wayang in show – terus terang ndak terlalu betah nunggu. Namun jika denger kalimat atau kata-kata, ada sesuatu yang menggugah, ndak ngerti tetapi suka ya dengerin aja en tunggu respon (impact to my sense). Ternyata, setelah baca Gunawan Muhammad, Guy Maupasant, maupun Sobary dan lainnya, ternyata bisa menemukan “keindahan” wayang yang tangiable atau pun yang in tangiable. Kenapa? Justru keindahan filosofis karakter wayang yang bejibun sama sekali ndak ndak tergarap – keindahan bahasa “Jawa” atau pun yang di Indonesia kan belum tentu terdapat titik temu yang menyangkut sense. Hal yang kadang sulit diwujudkan dalam kata. Wayang jika ditatap dalam bentuk, memang sekedar kulit yang diwarnai dan terdapat pakem yang baku. Improvisasi penyajian memang sah-sah saja namun jika merubah pakem yang ada kaya’nya jadi aneh-aneh, karakternya yang banyak saja sudah pusing ngingetin, apalagi dibuat split – justru menghilangkan nilai “estetika etika yang tersirat maupun tersurat”. Saat ini masih mencari referensi wayang di web – dalam artian orang jawa yang belajar njawa – bagaimanapun juga javanese sense saya masih punya meski secara tersurat sudah ndak kelihatan lagi. Jadi keinget – ada ilmu kanoman dan kasepuhan, seiring usia maka dunia horizon wayang menjadi suatu template yang menyejukkan akan keindahan rasa, roso, ruhsa.

    Reply
  • June 30, 2009 at 1:25 am
    Permalink

    Saya mencari kaset wayang kulit dalang Ki sukardji dri blitar.tlng hub;081380402026.

    Reply
  • August 10, 2009 at 12:34 am
    Permalink

    wayang kulit…..
    adalah gambaran dari peradaban manusia di alam dunia, mkya wayang kulit di buat dua sisi yang sama
    yang melambangkan bahwa man punya sifat yang slalu mendua…..

    Reply
  • August 10, 2009 at 12:36 am
    Permalink

    wayang kulit…..
    mungkin tak berarti apa2, tapi pahami bahasa sansekertanya ada arti yang bisa dimengerti

    Reply
  • September 16, 2009 at 10:06 pm
    Permalink

    Lewat forum ini saya memberi masukan kepada PEPADI dan Pemerintah, khususnya untuk pelestarian budaya khususnya kesenian wayang ( didalamnya ada gamelan, waranggana dll ), agar dicintai oleh generasi muda hendaknya tidak hanya memperkenalkan dengan pertunjukan saja tetapi usahakan di setiap sekolah diberi gamelan, wayang kulit dengan kelengkapannya agar para siswa dapat mengenal, belajar, mendalami seperti apa ta wayang itu ? Di setiap sekolah telah dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler, mbok yao gamelan atau wayang sebagai kegiatan wajib bagi para siswa. Saya percaya generasi muda kita yang sekarang lupa/ merasa wayang itu budaya asing dapat dicegah. Justru para pemimpin kita yang lupa bagaimana cara supaya generasi muda kita cinta akan wayang, seolah- olah dibiarkan begitu saja. Sebagai teladan : Para pendahulu kita yaitu para raja, justru sangat kuat sekali di dalam melestarikan seni budaya yang adi luhung. Masak kita yang sekarang dengan enak- enak melupakan bahkan tidak merawat dengan baik……lha……akhirnya DICURI oleh bangsa lain. Siapa yang disalahkan ?
    Mohon PEPADI selalu mengingatkan pemerintah, pertunjukkan memang bagus, lebih bagus lagi kalau setia generasi muda dibelaki ilmu tentang wayang, karawitan dll. Okey tak tunggu kiprahmu. Maturnuwun

    Reply
  • October 13, 2009 at 2:22 pm
    Permalink

    mari kita sama sama jaga dan rawat warisan leluhur kita,jangan pernah bosan,karena masih banyak kandungan,baik dari falsafah hidup,seni,budaya,pendidikan,juga yang lebih penting adalah menciptakan suatu karakter yang dapat ditauladani……..ada pemimpin republik ini,yang juga proklamator,yang diotobiografinya mengakui,salah satu acuan karakter yang menggiringnya tetap bersemangat adalah Bima,atau Bratasena,atau Werkudara.
    Jangan sampai kita seperti kebakaran jenggot,ketika sesuatu yang didepan mata,mengalir di sanubari leluhur,seolah sudah menyatu,ternyata bangsa lain yang membuat paten nya.

    Reply
  • Pingback:Lowongan Staf Marketing

  • November 16, 2010 at 8:33 am
    Permalink

    Saya cermati dari keluhan diatas…ternyata seperti itu gambaran generasi kita tentang budaya negeri sendiri,,,,sangat tidak suka dan apriori….tapi sayang kalao nanti di-claim oleh otang lain BARU TERIAK…..
    Saya sendiri bukan ahli wayang kulit, tapi saya penggemar berat terutama kalo yang menggelarkan ceritanya Ki Nartosabdho (Sang Maestro yang belum ada tandingannya) bisa larut dalam suasana pementasan baik dalam adegan2, dalam nuansa gending2 yang dibawakan. Dan terus terang saya sangat hobi meskipun pekerjaan saya sebagai peneliti pertanian modern dan bahkan saya sempat mengenyam pendidikan yang bukan tentang budaya.
    Marilah kawan2 kita isi hidup ini untuk kebaikan demi negeri tercinta INDONESIA meskipun hanya ikut nguri-uri budaya. Dan bagi yang suka koleksi wayang dalam bentuk MP3 silahkan kunjungi http://www.wayangprabu.com atau http://www.listantoedy.wordpress.com

    Reply
    • November 16, 2010 at 12:13 pm
      Permalink

      Saya menangkap dari komentar bapak-bapak yang di sini, ternyata seperti itu gambaran bangsa ini. Kritik dianggap sebagai sikap tidak suka yang bulat, bukan sebuah keinginan untuk lebih baik lagi.

      Reply
      • July 24, 2011 at 9:55 am
        Permalink

        Sejak kecil (sekarang sy sdh 47 th) sy suka wayang, sering dimanapun orang naggap wayang saya mesti nonton bareng sama teman2, dari jam 8 malam sampai jam 5 pagi, pakai sarung, rasanya bahagia sekali dan hati ini senang. sekarangpun saya masih sangat suka wayang, baik emndengar saja atau malah lihat visualnya. jujur aja saya sudahbanya nge’download’ dari ‘wayang prabu’ di internet, baik mp3 maupun videonya, dan semua saya simpan yg berhasil sy download. pikirku besok kalau pensiun akan bisa jadi hiburan uang murah dan sangat saya sukai. Lewat ini sy mengucap banyak terima kasih pada pengasuh ‘wayang prabu’. Wayang enak didengar, gamelannya, suara dalangnya, gendingnya dan tidak kalah penting ajaran kebaikan yang tersirat dan patut dicontoh dalam menyikapi hidup.

  • April 14, 2012 at 12:38 am
    Permalink

    Hello there, I found your site via Google while looking for a comparable subject, your site got here up, it appears good. I’ve bookmarked to favourites|added to my bookmarks.

    Reply
  • March 12, 2014 at 10:49 pm
    Permalink

    Bosan?? Kok Bisa?? Bosan darimana bos?? wong yg mempertontonkan saja jarang kok… hehehe…
    yg jelas, krn orang bersifat labil dan selalu mengikuti kebudayaan yg lebih terlihat eksis, tdk mau nguri uri budoyo… coba kalo mau… mereka akan mencoba belajar bahasanya… dan mengerti… dan suka… :)

    Reply
  • February 21, 2018 at 11:40 am
    Permalink

    dan dalang wayang kulit tidak mengimprov jenis-jenis suara seperti dalang wayang golek. semua tokoh nyaris sama suaranya, jadi kalau nonton atau dengar harus selalu fokus, beda dengan wayang golek, seperti si cepot punya suara khas untuk masing-masing tokoh, dan menjadi pakem untuk semua dalang, dan yang terbaik adalah alm Asep Sunandar Sunarya yang sekarang diteruskan oleh putra-putranya., dan yang paling mirip mendekata suara Abah Asep dari anak-anaknya adalah Yogaswara.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.