Email soal beasiswa itu datang malam-malam. Setelah sore sebelumnya saya kecewa luar biasa, keberanian untuk menerima berita bagus menjadi nyaris tidak ada. Adalah tidak tepat jika mengira mencari beasiswa dan sekolah adalah petualangan yang gemilang. Ini adalah sebuah perjalanan naik-turun yang sejauh-jauhnya berlabuh, tidak jauh dari mengantar Anda ke gerbang.

***

Sekitar setahun sebelum menerima email itu, tepatnya awal Mei 2011, saya mengirim pendaftaran beasiswa Fulbright ke AMINEF. Ini bukan kali pertama saya mendaftar Fulbright. Tahun 2009 dan 2010 saya tidak mendapat jawaban dari Fulbright maupun Chevening, dan diumumkan tidak lolos oleh Erasmus Mundus. Akan tetapi bagi saya tidak ada pilihan untuk terus mencoba, walaupun kepercayaan diri saya turun satu demi satu strip. Tahun 2011, saya mencoba lagi, kali ini menyempurnakan lagi surat lamaran saya (disebut study objective) sambil tentu memohon mantan dosen pemimbing saya untuk menulis surat rekomendasi lagi.

Meneruskan sekolah adalah jalur yang secara alami menarik saya mencari beasiswa. Selain tradisi keluarga, belajar di luar negeri adalah pengalaman hidup yang tidak cuma melengkapi secara intelektual, tetapi memperluas pandangan tentang dunia.

Dan mendekati tenggat dari Fulbright, melalui Fedex paket permohonan beasiswa dikirim ke AMINEF. Saya menyadari, setelah itu perjuangan mencari beasiswa sudah lepas dari bawah kendali. Sebesar apapun saya ingin belajar software engineering di Amerika Serikat, perjuangan saya berhenti di situ. Jika pegawai kurir lalai menghilangkan lamaran, maka saya berhenti di situ. Jika panel reviewer tidak terkesan oleh lamaran saya, maka saya juga berhenti di situ. Pada titik ini susah untuk optimis, apalagi Fulbright adalah beasiswa yang diincar ribuan orang Indonesia.

Bulan Juli tepat di hari ultah saya, sebuah email mendarat di inbox. Judul email itu undangan wawancara. Isinya, AMINEF mengundang saya untuk mengikuti wawancara seleksi beasiswa Fulbright yang akan diadakan 5 hari hari. Optimisme yang saya sembunyikan rapat-rapat itu akhirnya lepas. Saya tersenyum dalam hati sepanjang hari.

***

Wawancara itu diadakan di Hotel Phoenix tepat pukul setengah empat sore. Beberapa hari sebelumnya saya berlatih menjelaskan tujuan belajar saya dalam bahasa Inggris sambil melengkapi diri dengan data dan referensi untuk meyakinkan para panelis pewawancara.

Saya berangkat ke Hotel Phoenix naik becak, karena hari itu, entah kenapa, taksi menjadi susah didapat. Saya ingat suasana sore itu. Sore yang sangat biasa di Jogja. Cahaya kuning matahari agak panas, tidak spesial. Dari ribuan orang yang berada di Jogja detik itu, yang menganggap sore itu spesial mungkin cuma saya.

***

Dari balik jendela kaca ruang wawancara Hotel Phoenix terlihat seorang Mbak yang nampak cas-cis-cus berbicara bahasa Inggris kepada para panelis. Dari balik jendela kaca yang sama, tangan dan lengan para pewawancara terlihat banyak diam, sementara wajah dan ekspresi mereka sama sekali tidak terlihat.

Tak lama kemudian, setelah si Mbak keluar dari ruang wawancara dengan wajah biasa, Pak Piet dari AMINEF keluar dan menjelaskan mekanisme wawancara. Saya diberi waktu 5 menit untuk memperkenalkan diri. Padahal saya menyiapkan perkenalan 10 menit.

Dengan waktu yang terbatas itu, maka saya mengepras narasi perkenalan saya dengan kepanikan bahwa apa yang mustinya tersampaikan justru terlewatkan. Mungkin kelima panelis itu melihat wajah saya menjadi cemas, karena saya yakin denyut nadi saya sedikit lebih dingin.

Setelah perkenalan singkat itu usai, satu persatu para panelis menanyai saya. Dua panelis adalah periset dari UGM dan UNY, dan dua adalah cendekia Fulbright dari Amerika Serikat. Pertanyaan mereka tidak mengada-ada, namun bukan jenis pertanyaan yang bisa dijawab berbusa-busa tanpa berpikir panjang, karena setiap jawaban selalu bisa dikejar dengan pertanyaan lanjutan. Saya berusaha memberi jawaban dan jawaban lanjutan.

Di akhir wawancara, kepala saya sudah panas. Saya tidak yakin akan mendapat beasiswa Fulbright.

Bersambung ke sini.

Disclaimer: semua pernyataan dan informasi yang ditulis dalam posting ini merupakan pandangan saya pribadi, dan tidak mencerminkan pandangan organisasi lain.

Mencari Beasiswa
Tagged on:

34 thoughts on “Mencari Beasiswa

  • June 22, 2012 at 11:51 pm
    Permalink

    wow dulu sempat kepikiran mau ikut bea siswa.. kayaknya kelihatannya sulit ya…. semoga keterima ya… tegang juga nih bacanya… kirain sudah ada kabar baiknya di end of this article.

    Reply
  • June 25, 2012 at 7:56 am
    Permalink

    Aku penasaran dengan yang ingin kau sampaikan melalui postingan ini.

    Nunggu lanjutannya, semoga berbahagia!

    Reply
  • June 25, 2012 at 8:26 pm
    Permalink

    momon staff pengajar bukan ? kalo iya bisa coba pake beasiswa DIKTI saja

    Reply
  • June 26, 2012 at 7:38 am
    Permalink

    Dag.. Dig.. Dug…
    Ini cerita bersambung khan, Mon…

    Reply
  • June 27, 2012 at 11:38 am
    Permalink

    Ndak sabar baca endingnya mas! buruan di publish dong. Hhehe. Tapi kayaknya sih happy ending :)

    Reply
  • June 28, 2012 at 11:15 am
    Permalink

    wow aq juga tidak sabar menunggu lanjutannya… :p

    eh iso pesta ultah disik no :D

    Reply
  • June 28, 2012 at 11:44 am
    Permalink

    Aku doakan semoga mendapatkan beasiswanya. :)

    Reply
  • June 28, 2012 at 12:14 pm
    Permalink

    momoooooooooooon.. semoga dapet ya.. keren! aaaaak… aku pengen apply lagi tapi kok males ya. :|

    Reply
  • June 28, 2012 at 12:45 pm
    Permalink

    Hahahahaha … been there done that.

    Good luck Mon! The force is strong with you.

    Reply
  • June 28, 2012 at 12:53 pm
    Permalink

    Bea siswa? Satu hal yang sampai sekarang saya memimpikannya aja gak berani :(

    Reply
  • June 28, 2012 at 12:58 pm
    Permalink

    wah…, Momon rep sekolah neh. mengko Mimit bingung ra duwe musuh nggo udur…

    Reply
  • June 28, 2012 at 1:33 pm
    Permalink

    karena dirimu sudah memulainya dengan sangat elegan, mestinya cerita ini bersambung sampe kamu dapet gelar Master-mu Mon :p Dijamin jadi novel best seller.

    Reply
  • June 28, 2012 at 1:38 pm
    Permalink

    Saya sangat terkesan oleh paparan Momon. Saya menikmati cerita dalam posting ini.
    Tentu saya berharap selalu ada kesempatan bagus untuk mOmon. :-)

    Reply
  • June 29, 2012 at 12:47 pm
    Permalink

    Klo wawancara sekitar July tahun lalu, sudah ada hasilnya kah sekarang?
    *berdebar2 menunggu kelanjutannya* :)

    Reply
  • Pingback:Berita Baik Beasiswa di Inbox - Life - hermansaksono

  • Pingback:FIRST Journey [Part 9: Visa dan Keberangkatan (Juni - Agustus 2012)] « catatan kecil rizalzaf

  • January 16, 2013 at 10:21 am
    Permalink

    Saya suka kata-kata “Ini adalah sebuah perjalanan naik-turun yang sejauh-jauhnya berlabuh, tidak jauh dari mengantar Anda ke gerbang…” hhmm..bernada pesimis, tapi sesungguhnya realistis :)

    Reply
  • March 20, 2013 at 12:09 am
    Permalink

    Salam mas Herman, saya sigit dan sedang mendaftar dikti fulbright master of science and technology tahun ini. Saya ingin ada beberapa pertanyaan untuk menyempurnakan study objective saya. jika berkenan, boleh minta alamat email mas herman untuk berkomunikasi? terima kasih.

    Reply
    • March 20, 2013 at 12:23 am
      Permalink

      maaf ralat programnya yang fulbright master of science and technology

      Reply
  • November 2, 2013 at 2:08 pm
    Permalink

    sungguh perjuangan yang tidak mudah,namun bukan berarti tidak bisa diraih

    Reply
  • February 4, 2014 at 1:33 am
    Permalink

    bikin ikutan deg degan aja… emang apa aja yg ditanyain… share dong

    Reply
  • August 14, 2016 at 11:44 pm
    Permalink

    Blog ini sering saya baca berulang ulang, untuk mengingatkan saya bahwa someday hard work will pay off…
    Terima kasih mas nya, sesama bostoner (soon to be)

    Reply

Leave a Reply to didut Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.