Sultan Yogya tentang MonarkhiJawabannya adalah IYA. Orang Jogja yang cerdas tidak perlu membolak-balik fakta untuk mempercantik citra ini. Selama Gubernur kita dipilih karena garis keturunan Sultan atau Pakualam, maka Jogja adalah provinsi monarkhi. Dalam hal ini saya sepakat dengan pernyataan SBY yang mengatakan bahwa Yogya adalah monarkhi. Bahwa itu adalah pernyataan tanpa empati yang hanya akan menimbulkan bola liar yang tidak perlu, saya juga setuju.

Tapi diskusi keistimewaan Jogja ini sudah terlampau membosankan. Pendukung kemonarkian mengulang-ulang argumen yang sama, demikian juga pendukung kepala pemerintahan dipilih langsung.

Kata kuncinya adalah kepala pemerintahan.

Saya tidak terlalu mempermasalahkan siapakah yang berhak menjadi kepala daerah, tetapi kepala pemerintahan daerah sebaiknya dipilih langsung dan memiliki masa jabatan yang dibatasi. Pilkada memang sering menghasilkan kepala daerah yang payah, tetapi kita tidak bisa melupakan sosok-sosok pemimpin yang bertanggung jawab seperti Joko Widodo (walikota Solo) dan Heri Zudianto (walikota Yogya). Mereka adalah kepala daerah yang berprestasi DAN dipilih langsung oleh rakyat.

Memang pada dasarnya, Pilkada atau Monarkhi adalah untung-untungan. Selama ini Jogja baik-baik saja, karena kinerja Gubernur DIY tidak buruk, walaupun tidak hebat. Bagaimana jika penerus Sultan kinerjanya buruk? Pilkada memberi ruang supaya kepala daerah yang buruk, tidak berkuasa selamanya. Monarkhi tidak.

Sebelum terlambat dan runyam, ada baiknya Jogja memulai transisi ke kepala pemerintahan daerah yang dipilih langsung, segera.

Apakah Yogyakarta Monarkhi?

17 thoughts on “Apakah Yogyakarta Monarkhi?

  • November 30, 2010 at 10:35 am
    Permalink

    Kalau tak melihat sisi monarkinya, tidakkah lebih baikkah — dari sisi administrasi pemerintahan semata — Yogya dimasukkan ke Jawa Tengah saja?
    Ini bukan ide beneran loh. Cuma pancingan buat Momon seorang. I mean, DIY kecil, sudah punya walikota yang baik, dan beberapa bupati, buat apa punya gubernur :).

    Reply
    • November 30, 2010 at 10:44 am
      Permalink

      Hehehehe. Kalau isu penggabungan/pemekaran provinsi, Jogja tetap menjadi provinsi kecil akan lebih menguntungkan masyarakatnya.

      Reply
    • December 17, 2010 at 12:56 pm
      Permalink

      Dulu jaman saya SD, Gubernur Jateng pernah usul seperti itu… DIY digabung sama Jateng saja. (waktu itu karena Borobudur yang ada di Jateng lebih menguntungkan bagi DIY).

      Usul tersebut disetujui oleh masyarakat Jogja dengan syarat: Ibukota Provinsi ada di Jogja.

      Dan sang gubernur Jateng pun mengurungkan niatnya.

      Reply
  • November 30, 2010 at 11:32 am
    Permalink

    ah, mau berbentuk monarkhi ato apapun, yogyakarta selalu bikin kangen untuk balik lagi ke sana.

    Reply
  • November 30, 2010 at 12:03 pm
    Permalink

    Mungkin sebaiknya sistem monarki-nya tetep ada cuma sebagai simbol aja kali mas. Sekalian melestarikan budaya gitu :D

    Reply
  • November 30, 2010 at 2:58 pm
    Permalink

    Aku sudah menduga kamu akan menuliskan hal ini.
    Hitungan realistisnya aku setuju denganmu karena ketika timbul pertanyaan “Bagaimana kalau pengganti Sultan nggak capable?” maka orang yang ‘cinta buta’ pada ‘ke-monarkhi-an’ itu akan speechless (kecuali tetep ngotot pokoknya tetep dari garis Kasultanan)..

    Ini PR besar pemerintah pusat! Jalan tengah menurutku adalah dengan penyelenggaraan Pilkada tapi tetap dibikin ‘Istimewa’ dengan tetap menyertakan pihak Kraton aktif dalam Pilkada tersebut.

    Kalau ‘monarkhi’ di Jogja dicabut begitu saja, pertanyaan saya ke pemerintah adalah “Bagaimana dengan NAD.. mereka pake dasar teokrasi dan bukan demokrasi lho?”

    CMIIW

    Reply
    • November 30, 2010 at 3:11 pm
      Permalink

      Untuk menghargai peran Jogja dalam sejarah Indonesia, aku pikir kita bisa mengadopsi Monarkhi ala Inggris. Sultan tetap menjadi kepala daerah, dan posisi kepala tsb tetap diturunkan berdasar garis keturunan.

      Kemudian kepala pemerintahan daerah dipilih langsung oleh rakyat. Namanya Patih. Patih menjalankan fungsi eksekutif, dipilih rakyat, dan dan diangkat oleh Sultan.

      Sultan menjadi figur kearifan dan kebudayaan Jogja, sekaligus menjadi pengawas jalannya pemerintahan provinsi Jogja.

      Bagiku ini solusi win-win.

      Reply
  • November 30, 2010 at 9:15 pm
    Permalink

    apa bisa gt mon?
    wong sultan turun aja rakyat demo meminta sultan jd gubernur, dengan penetapan.
    apatah lagi sekarang.

    sptnya justru tidak realistis menginginkan DIY tidak menganut sistem monarki. solusi kan jadinya geliat referendum ini?

    Reply
  • December 3, 2010 at 10:25 pm
    Permalink

    masih memantau kabar dari beye dan sultan, katanya udah salaman dan gak mau berdebat…

    pengen punya walikota seperti di solo… maaf OOT

    Reply
  • December 7, 2010 at 1:17 am
    Permalink

    Kalo saya justru lebih senang kalo monarki tetap dipertahankan. ada beberapa alasan menurut saya mas :

    1. Kalo seandainya pilihan pemimpin jogja diserahkan pada pemilu, takutnya nanti justru menjadi ajang rebutan para wakil parpol untuk lebih menancapkan kekuasanya.

    2. Hal ini sebagai salah satu wujud keunikan, dimana ada kerajaan (monarki yang diakui) yang berada di wilayah Republik. Hal ini tak ada duanya di dunia.

    3. Rakyat Jogja sudah kadung percaya dengan kepemimpinan ala kraton yang jauh dari sistem primus interpares. Istilahnya rakyat Jogja sudah “Sendiko Dawuh namung kagem Sultan”

    Itu saja mas,,,,Salam kenal ya mas Herman

    Reply
  • December 17, 2010 at 1:02 pm
    Permalink

    Sebenarnya kalau dipahami Undang2nya… Gubernur adalah Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Tugas utamanya adalah menjalankan fungsi koordinasi bagi bupati/walikota. Karena otonomi yang luas ada pada daerah tingkat dua (Kabupaten/Kota).

    Jadi, yang penting adalah Bupati & Walikota dipilih rakyat, gubernur dipilih DPRD atau ditetapkan gak masalah. Lha DKI malah gubernurnya yang dipilih, walikotanya cuma ditunjukk.

    Reply
  • February 13, 2011 at 12:20 am
    Permalink

    kalo yang dipilih langsung aja gak bisa dijamin, bagaimana dengan yang tidak dipilih langsung? demikian.

    Reply
  • June 13, 2012 at 8:29 pm
    Permalink

    ok. jangan terlalu mendekte. warga jogja tau apa yg mereka perbuat.

    Reply
  • June 13, 2012 at 8:31 pm
    Permalink

    jogja jga kurang percaya dgn parpol dr indonesia. banyak fakta yg menunjukkan bahwa parpol di indonesia merugikan. selama ni, kita jd warga jogja, selama pemerintahan nya, kita tdk merasa d rugikan. slama ni yg d cari apa jk bukan keuntungan? kenapa jogja yg menjadi mslh? karna jogja punya segalanya.

    Reply
  • May 5, 2015 at 1:36 pm
    Permalink

    Bagiku sebagai wong Jogja. Akan tetap mendukung ke-monarkhi-an ini. Karena itulah keistimewaan Jogja. Karena dengan pemilihan gubernur pun hanya membuang-buang anggaran belanja provinsi dan negara. Lebih baik dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Apalagi aku pun pernah merasakan sebagai warga Jogja asli yang masuk rumah sakit. Tanpa satu sen rupiah pun aku membayarnya. Jogja memiliki program kesehatan yang masih merakyat dan akan terus berjalan. Yaitu Jamkesta, yang diambil dari jatah pesta politik. Sekarang bandingkan dengan BPJS yang tidak lebih dari angsuran kesehatan biasa.

    Reply

Leave a Reply to Herman Saksono Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.