Sang Pencerah

Di antara pekatnya malam, belasan laki-laki berbondong-bondong menuju Langgar Kidul Kauman. Sambil memekikkan asma Allah, gerombolan itu mengangkat obor tinggi-tinggi, dan sesampainya di surau milik Ahmad Dahlan, mereka meringsekkan tempat ibadah itu hingga rata dengan tanah. Mereka memang dibakar kebencian. Gagasan pembaruan Islam oleh Ahmad Dahlan telah membuat gusar para penghulu Masjid Gede Jogja. Dan kegusaran itu kemudian berkembang menjadi benci yang ditularkan.

Itulah sepenggal adegan di awal Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo. Nampaknya Hanung dan keluarga Punjabi memang bermaksud membawa isu kerukunan beragama seabad lalu ke dalam konteks jaman sekarang. Dalam film ini, kasus Ahmadiyah, JIL, FPI; nampak seperti perulangan sejarah dengan pemain yang berbeda. Niat baik Hanung memberikan sentilan sosial dalam suasana kekakuan beragama abad 21, tentu harus diberi pujian.

Tapi sayangnya, Hanung cuma berhasil di aspek itu aja. Ahmad Dahlan yang diklaim sebagai “Sang Pencerah” tidak nampak cerah di film ini. Kemutakhiran pemikirannya tidak dikontraskan dengan konteks masyarakat Jawa zaman itu yang abangan dan kejawen. Akibatnya Dahlan nampak biasa bagi penonton jaman sekarang, pemikirannya tidak mendobrak dan tidak cerah.

Walaupun memang, tidak redup juga.

Di sini, Lukman Sardi membawakan Ahmad Dahlan yang hati-hati, dan sesekali rapuh. Dakwahnya biasa, tidak menggugah. Tutur katanya lempeng. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah pendiri Muhammadiyah itu memang sosok yang lemah, ataukah ini cuma imbas dari kehati-hatian yang berlebihan ketika mereka-cipta tokoh legendaris. Jika Ahmad Dahlan memang lemah, leadership seperti apakah yang ia gunakan ketika merintis organisasi islam yang sebesar Muhammadiyah?

Sang Pencerah tidak menjawab pertanyaan itu.

Pada akhirnya, ia memang sekadar film-film pendek bagus yang disambung-sambung, tetapi tanpa kesan tunggal yang kuat. Ia memang masih jauh dari film yang akan membanggakan Indonesia, tetapi sebuah langkah besar untuk ke sana.

Baca juga:

Sang Pencerah
Tagged on:

43 thoughts on “Sang Pencerah

  • September 10, 2010 at 11:40 pm
    Permalink

    dah tak niatkan nonton ini setiba di Jogja..

    Ohya, kamu punya buku tentang AD? biografi, catatan ttg beliau dari sahabat atau apa lah..
    mungkin bisa jadi pembanding dgn sosok AD di film..

    Reply
    • September 10, 2010 at 11:55 pm
      Permalink

      Gak ada sih, tapi pengen riset lebih dalam setelah nonton ini.

      Reply
  • September 10, 2010 at 11:50 pm
    Permalink

    Ok deh, tetep “harus” nonton ya :)

    Reply
  • September 12, 2010 at 8:54 am
    Permalink

    “Pada akhirnya, ia memang sekadar film-film pendek bagus yang disambung-sambung, tetapi tanpa kesan tunggal yang kuat”.

    saya juga memiliki kesimpulan yg sama mas setelah menonton film ini, padahal materinya bagus.

    Reply
    • January 16, 2015 at 1:16 pm
      Permalink

      That’s a weu-utholght-olt answer to a challenging question

      Reply
  • September 13, 2010 at 11:24 am
    Permalink

    Ngeliat iklannya lewat parabola kayaknya bagus.
    Aku mau beli DVD nya saja sewaktu pulang nanti

    Reply
  • September 15, 2010 at 11:08 am
    Permalink

    Jadi inget tokoh minky di tetralogi pulau burunya – pramoedya.

    Reply
  • September 15, 2010 at 11:20 am
    Permalink

    Nontonlah, ingin tahu karakter K.H. Ahmad Dahlan

    Reply
  • September 15, 2010 at 11:25 am
    Permalink

    Coba buku bukunya pram di filmkan juga, pasti bagus

    Reply
  • September 15, 2010 at 8:31 pm
    Permalink

    Reviewnya keren, mampu menampilkan kritik tajam namun tetap santun….dus membuat orang yang membacanya untuk berfikir akademis….

    Reply
  • September 16, 2010 at 10:15 am
    Permalink

    “Di sini, Lukman Sardi membawakan Ahmad Dahlan yang hati-hati, dan sesekali rapuh. Dakwahnya biasa, tidak menggugah. Tutur katanya lempeng. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah pendiri Muhammadiyah itu memang sosok yang lemah, ataukah ini cuma imbas dari kehati-hatian yang berlebihan ketika mereka-cipta tokoh legendaris.”

    Maaf, saya kurang setuju dengan pernyataan Anda, Mas.
    Saya pikir, bersikap hati-hati tidak sama dengan ‘lemah’. Ketegasan tidak selalu berarti sikap yg keras & menggebu2. Saya lebih melihat AD sebagai sosok pembaharu yang kritis, namun tetap berusaha menjaga ‘tata krama’ dalam menyampaikan pemikirannya (ingat beliau hidup dalam lingkungan Jawa & Kraton). Pun kehati-hatiannya dimaksudkan agar umat tdk menjadi antipati terhadap apa yg disampaikannya. Sesekali rapuh, itu justru sangat manusiawi, karena AD juga hanyalah manusia biasa, tapi toh beliau tetap teguh memegang prinsipnya. (Tokoh yg dibawakan) Lukman Sardi barangkali belum bisa 100% menyamai karakter asli AD; namun ini memang sulit karena minimnya sumber2 sejarah tentang AD, terutama yg menggambarkan pribadinya (apalagi gestur, cara bicara, mimik muka, dll).

    Mengenai pola kepemimpinan beliau, memang kurang terlihat di sini. Ini karena Hanung sendiri sudah membatasi lingkup filmnya, hanya dari masa kecil AD hingga berdirinya Muhammadiyah. Kalau mau tahu lebih lanjut, ya..silahkan buka2 buku sejarah lagi, he he. Film sejarah yg baik menurut saya bukan sekadar menjejali penonton dgn fakta2, tapi jg mendorong kita untuk mau mencari tahu lbh banyak lagi seusai menonton film.

    Reply
    • September 16, 2010 at 12:10 pm
      Permalink

      Saya akan sepenuhnya maklum jika lemahnya Dahlan, juga diimbangi dengan pemikiran-pemikirannya yang menggugah sehingga membuat followernya tergerak. Tapi pada kenyataanya, Dahlan di film cuma lemah saja.

      Ini adalah keluputan yang semestinya tidak terjadi.

      Reply
      • September 16, 2010 at 10:06 pm
        Permalink

        nah dari pernyataan ni malah membuat saya berpikr tentang pola pikir @ herman : bawasanya tidak tau benar apa yang di tulis

      • September 19, 2010 at 11:34 am
        Permalink

        Saya malah berfikit kalau mas herman tidak mengenal dan memahami secara utuh AD dan Muhammadiyah.

  • September 16, 2010 at 12:38 pm
    Permalink

    Hancurkan Sesajen…. Kurafat… Pengikut² Setan… Ingkar Sunnah…

    Film yg BAGUS!

    Reply
  • September 16, 2010 at 7:10 pm
    Permalink

    “Kemutakhiran pemikirannya tidak dikontraskan dengan konteks masyarakat Jawa zaman itu yang abangan dan kejawen. ” >> bukannya dikontraskan yaa..? beliau malah menolak sesajen, tahlilan, dan lain sebagainya itu kan..?

    Reply
  • September 17, 2010 at 12:23 am
    Permalink

    Dalam menggambarkan kontra dengan kyai lain mohon hati-2 menampilkan sosok para ulama selain KH ahmad dahlan. Seolah-olah mimik dan karakter kyai lain menjadi antagonis. Mungkin hanya beda pendapat tapi tanpa merendahkan martabat kyai lain.

    Reply
  • September 18, 2010 at 12:50 am
    Permalink

    masih jauh, sinema kita levelnya masih jauh dari bagus.. mulai dari hal yang kecil saja, kenapa bahasa filmnya tidak sepenuhnya bahasa jawa? apa bahasa indonesia memang sudah berkembang sedemikian pesat di abad 19?

    lalu kebiasaan buruk sineas indonesia masih aja diulang di film ini. intonasi, pitch, nada, dan pemilihan kata pada dialog masih sangat buruk. belum lagi ditambah kualitas akting para aktris dan aktornya..

    Reply
    • September 18, 2010 at 12:53 am
      Permalink

      oh ya. ditambah lagi karakter-karakter antagonisnya yang masih “sinetron banget.”

      Reply
  • September 18, 2010 at 3:51 am
    Permalink

    dari pembahasan kalian semua…saya bisa ambil kesimpulan bahwa KH AD adalah sosok yang fenomenal yang mengembangkan pemikiran-pemikiran yg menggunakan akal sehat dan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Raosulullah SAW…beliau juga salah satu pelopor pendidikan di Indonesia yang memperjuangkan warga miskin untuk dapat bersekolah…

    Reply
  • September 19, 2010 at 10:07 am
    Permalink

    Jelas saja karakter asli KH Ahmad Dahlan tidak mengena oleh Lukman Sardi karena dalam kehidupan nyata Lukman Sardi juga sudah tidak Islam seutuhnya setelah menikahi wanita Katolik. Ini film tidak lebih dari hiburan untuk mengeruk keuntungan semata tanpa karakter sama sekali.

    Reply
    • September 20, 2010 at 7:37 pm
      Permalink

      ya elah boss, siapapun aktornya kalo udah nerima duit kontrak ya harus berakting dengan professional. kalo karakternya bertentangan dengan kepribadian dia sehari2, ya gak mau tau yang pasti dia harus bisa memenuhi tuntutan sutradara. penjiwaan peran buat seorang aktor professional itu tugas mereka sebagai pemain film dan sama sekali gak dipengaruhi oleh embel embel kehidupan pribadi.

      tapi saya setuju satu sih, film ini lack of character..

      Reply
    • September 28, 2010 at 2:41 pm
      Permalink

      wah mas sampeyan kok pragmatis sempit bgt? emang ada yg salah dgn wanita Katolik? yah namanya jug industri tuntutan karirir…

      Reply
  • September 20, 2010 at 11:22 am
    Permalink

    mnrt gw ne film artistik yg patut diacungi jempolllll…hanung sendiri blg klo film ne cmn menceritakan ttg kehidupan AD kecil sampai berdirinya muhammadiyah, dgn alasan klo diceritakan sampai detail ttg perjuangan di Muhammadiyah maka akan bersinggungan dgn organisasi keagamaan yg lain. so kelanjutanya baca di buku/literatur sejarah ya…jgn bodoh n jgn malas wahai generasi muda, talk less do more…

    oia, hebatnya Muhammadiyah tu mnrt gw banyak memiliki amal usaha, lbh terbuka dgn hal2 baru tanpa meninggalkan Al Qur’an dan Hadist, yg ptg…jgn mengkhultuskan kyai atau ulama termasuk disini adalah AD, kalo pengen mengidolakan manusia ya…langsung aja Nabi Muhammad SAW sang tauladan sejati, dan klo ingin menyembah cmn satu Alloh SWT, (saya hidup dilingkungan NU dan pernah bergaul dlm lingkup pendidikan Muhammadiyah)

    Reply
  • September 22, 2010 at 1:29 am
    Permalink

    sharusnya ini fim yang amat bagus.
    cobalah berbicara ttg perbedaan umat pada temen2 dengan faham jamaah yg berbeda2. wuih, Anda harus dewasa sekali, dan pinter merendahkan diri.

    meski, saya lebh mmeilih NU untuk urusan zikir dan ibadah sholat lainnya, namun Muhamadiyyah (tidk bs disangkal) punya aspek organisasi dan kependidikan yang jempolan.

    Reply
  • September 22, 2010 at 10:25 am
    Permalink

    Saya barusan nonton felem ini tadi malam. Perlu kita ingat,kita sedang mengomentari filemnya,bukan tokohnya.

    Mas,menurut saya filem yg menceritakan peristiwa atau person yang benar-benar ada punya batasan kreatif lebih ketat daripada filem dengan genre lainnya karena peristiwa atau orang yang diceritakan dalam filem terebut disaat yang sama juga terekam dan terinterpretasikan secara real oleh dokumentasi-dokumentasi lain,oleh orang-orang lain dan oleh karya-karya seni lainnya. Bagus tidak-nya filem dinilai dari seberapa kreatif filem tersebut dalam bermain didalam batasan-batasan ketat tersebut. Filem sejarah tentu saja tidak bisa sekenanya memainkan aspek-aspek kreatif seperti penokohan, alur, setting, wardrobe dan lain2.

    Untuk menilai filem ini pantasnya bila dibandingkan denga filem lain sejenis. Di Indonesia ada yg saya ingat diantaranya Gie,Tjut Nya Dien,Bung Hatta (saya lupa judulnya,diperankan David Chalik). Di Hollywood lebih banyak lagi, tapi yang paling saya ingat adalah filem JFK, dan The Queen (Helen Mirren).

    Perbandingan paling dekat buat saya adalah Gie karena adanya beberapa keserupaan antara Soe Hok Gie dan Ahmad Dahlan. Dan dari situ terlihat betapa Sang Pencerah unggul dari segi sinematografi dibanding Gie,indikator paling mudah adalah setting,wardrobe dan dialog tokoh2 dalam filemnya. SP lebih mampu membangun suasana yg membuat kita percaya para tokoh sedang berada di masa yg lain dari masa kita,perhatikan bangunan langgar,rumah,kereta bahkan stasiun Lempuyangan dan Tugu direstorasi dgn cukup baik,bandingkan dengan Gie yg membawa kita menuju dekade 60-an.

    Panjang deh,overall,untuk genre filem biografi,ini filem terbaik ke-2 dibawah Tjut Nya Dien,dan untuk genre film Islami ini no-1

    Reply
  • November 21, 2010 at 8:02 am
    Permalink

    filmnya emang keren banget…

    terakhir ke Jogja, aku malah nyempetin ke langgarnya langsung.. berasa bener suasananya.. visit blog aku yaa.. disana ada foto2nya :D

    Reply
  • December 28, 2010 at 11:48 pm
    Permalink

    pengen kasih tau web search engine indonesia paling lengkap dan update terus disini
    http://rapidshare.co.id
    bisa download software, music, movie terbaru dan juga yg jadul ada.

    Gratis cari downloadnya bisa pake ddlrapid premium karena multi premium dalam 1 account

    silahkan ke tkp, btw garansinya dobel money back klo sampe fraud loh!!

    Reply
  • February 23, 2011 at 7:01 am
    Permalink

    nampaknya yang punya blog memang tidak tau/mengerti apa yang dia bicarakan
    terlihat setelah ada yang membahas ini “nah dari pernyataan ni malah membuat saya berpikr tentang pola pikir @ herman : bawasanya tidak tau benar apa yang di tulis”
    yang punya blog langsung ga reply comment yang ada disini.
    lebih baik diam

    Reply
    • January 16, 2015 at 1:02 pm
      Permalink

      Kewl you should come up with that. Exelelcnt!

      Reply
  • February 7, 2012 at 12:07 am
    Permalink

    Kalau ada yang coment sang pencerah kurang amazing,
    Berarti yang coment adalah penggemarnya ninja hatori.

    Reply
  • February 16, 2012 at 1:58 pm
    Permalink

    Sependapat dengan mas tanjung..
    Film yg menceritakan ketokohan person (yang menjadi legenda) memang harus punya batasan kreatif lebih ketat daripada film dengan genre lain karena perilaku ketokohan yang diceritakan juga dilengkapi dengan rekaman dan penterjemahan secara real oleh dokumentasi-dokumentasi lain,oleh orang-orang lain dan oleh karya-karya seni lainnya. Bagus tidak-nya film dinilai dari seberapa kreatif film tersebut dalam bermain didalam batasan-batasan kreatif yang lebih ketat itu.
    Terlepas dari sukses tidaknya peran yang dijalani Lukman Sardi dalam film ini, saya berpendapat bahwa pesan moral yang disampaikan “Sang Pencerah” ini sudah cukup mengena. Sang sutradara (dan produser) sudah mempunyai batasan cerita yang digarap, demi menunjukkan sikap hati-hati mereka dalam menyampaikan makna yang disampaikan.
    Bagus.. sip!..

    Reply
  • December 22, 2012 at 5:00 am
    Permalink

    sudut pandang tiap manusia memang berbeda…
    hal ini juga terjadi didalam film ini.
    tapi dari sudut pandang saya, film ini sungguh luar biasa…. K.H Ahmad Dahlan luar biasa dalam menyikapi masalah dan menghadapi orang lain yang menentang keyakinannya. sikap egois dan emosinya dibuang jauh2… akal sehatnya dipakai. itu yg saya petik dari film ini.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.