Agak mengejutkan ketika diberi tahu kalau Universitas Gadjah Mada mendukung program cash-for-work dalam response plan yang baru saja mereka rilis. Program ini, pada intinya adalah meminta warga untuk bergotong-royong membangun kembali rumah-rumah mereka, tetapi dibayar.

Lalu apa masalahnya? Kita perlu mencermati bahwa tanpa dibayar, warga desa yang terkena gempa sudah mulai bergotong-royong merenovasi rumah-rumah mereka yang rusak. Di Klaten 7 hari setelah gempa, puing-puing yang memenuhi jalan sudah mulai dibereskan dan 2 rumah sudah dibangun ulang. Sementara itu bantuan dari sisi lain Jogja yang tidak terkena gempa juga terus-menerus mengalir dan mengalahkan kiprah NGO asing. Semangat gotong-royong dan berempati terhadap orang lain ini sudah ada dan hidup di lingkungan masyarakat Jogja dan Jateng, terutama daerah rural.

Program membayar gotong royong ini justru mendorong penduduk rural Jogja dan Jateng menjadi masyarakat yang itungan. Program ini bukannya memberikan modal untuk warga desa memulai kehidupan baru, tapi malah dikhawatirkan merusak modal sosial yang selama ini tersedia. Apa yang akan terjadi kalau program cash-for-work selesai? Bagaimana kalau tidak ada duit, warga menjadi enggan membantu rumah tetangganya yang belum sempat direnovasi? Bagaimana kalau program ini mendidik penduduk menjadi peminta-minta?

Cash-for-work mungkin ideal kalau seluruh industri dan perdagangan rusak akibat bencana, karena ini memberikan kesempatan bagi warga untuk mendapatkan uang dengan tidak cuma-cuma. Tetapi di Jogja tidak semua pabrik rusak, pertanian akan segera panen, dan perekonomian di sisi lain Yogya sudah mulai berjalan.

Akan lebih positif jika pemerintah mendorong penduduk untuk kembali bekerja dan memberikan insentif kepada industri dan perdagangan di daerah bencana untuk kembali beroperasi, karena saya rasa ekonomi yang sehat sangat penting untuk pemulihan pasca bencana. Bekerja juga membantu penduduk untuk melupakan trauma pasca gempa. Kemudian renovasi infrastruktur dan tempat tinggal dilakukan oleh pemerintah dan swasta dengan menyerap SDM lokal. Dengan demikian kita sudah melakukan beberapa hal bersamaan: mempercepat proses rehabilitasi dari trauma akibat gempa, menyediakan tempat tinggal baru untuk warga, membuka lapangan kerja yang cukup besar (pada akhirnya ikut mendongkrak pendapatan perkapita Jogja), sekaligus menggerakan roda ekonomi di sisi industri & perdagangan.

Saya mohon maaf telah beropini sedemikian lantang, sementara saya sendiri tidak merasakan dampak parah dari gempa dan tidak memiliki banyak pengetahuan terhadap ekonomi makro. Tapi proses perbaikan yang baik haruslah tidak merusak apa yang tidak rusak.

Tautan:

Program Cash For Work NGO Asing
Tagged on:

14 thoughts on “Program Cash For Work NGO Asing

  • June 9, 2006 at 3:01 am
    Permalink

    yah… itung-itung menggenapi efek globalisasi dah…

    Reply
  • June 9, 2006 at 11:29 am
    Permalink

    bener mon, aku lihat sendiri kmaren ada relawan dari wonosobo se-truk bantu nurunin genteng di daerah korban gempa dan mereka tuh sama sekali ngga dibayar cuma dikasih makan doank. Dan bisa lebih dari 15 rumah mereka bersihkan.

    Aku terharu karena ternyata semangat gotong royong tepo seliro ato apalah namanya dijaman kayak gini masih ada, dan aku merindukan hal kayak gitu tetep tumbuh subur di masyarakat kita.

    Reply
  • June 9, 2006 at 3:54 pm
    Permalink

    Iya tuh, bener. Semangat gotong royongnya masih kuat koq malah mau “dihancurin”, aneh…. . Katanya bangga menjadi orang Indonesia…

    Reply
  • June 9, 2006 at 4:37 pm
    Permalink

    Indonesia butuh banyak pemikir seperti Anda. Keep on shouting and speaking out your mind.

    Reply
  • June 9, 2006 at 8:34 pm
    Permalink

    VOTE BLOGGER PINTER AS A MINISTER!

    Reply
  • June 9, 2006 at 11:32 pm
    Permalink

    Hwaduh, pinter apanya. Hohoho. Kalau nggak ati-ati kepala saya bisa membumbung tinggi lho.

    Cash for work ini sebenarnya dilematis juga, karena di sisi lain juga membantu mendanai warga dengan cara yang pantas (uang tidak didapat cuma-cuma).

    Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, modal sosial ini sebenarnya bisa membantu warga untuk bangkit kembali, tanpa menjadi dependen dengan pihak luar, dan malah menjadi interdependen antar sesama. Interdependensi ini justru membangun komunitas yang kuat dan solid.

    Reply
  • June 10, 2006 at 9:56 am
    Permalink

    aneh juga, kalo menurutku sih mendingan uangnya di salurin buat bikin rumah, daripada buat kayak gitu. Setelah gempa aku juga bantu bersihin rumah di daerah Jetis,Bantul. Warganya juga pada kerja dengan gotong-royong. Kayaknya sih kalo di kasih uang buat kerja bisa bikin semangat gotong-royong luntur. Kalo pengen nyalurin mendingan lewat jalur lain aja

    Reply
  • June 11, 2006 at 6:34 am
    Permalink

    cahs for work ya? memang bener gotong royong itu modal sosial yang besar. Tapi untuk menggerakkan ekonomi rakyat yang hancur akibat gempa mereka juga butuh bantuan dalam wujud cash money. Menurut hemat saya bantuan berupa uang tidak seharusnya diberikan cuma-cuma tetapi melalui kerja biar nggak ngajarin para korban jadi peminta-minta (kridha lumahing asta).

    tapi membayar mereka untuk bergotong-royong juga keliru. saya setuju dengan Herman kalo’ itu bakal melunturkan nilai gotong royong. walaupun di lapangan (desa-desa yang masih terjaga kesadaran sosialnya seperti di Bambanglipuro dan Kretek), semangat gotong royong nggak semudah itu luntur.

    Man, mungkin harus ada solusi yang lebih tepat sehingga menyeimbangkan kedua aspek tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural di lapangan tentunya.

    IMHO

    Reply
  • June 19, 2006 at 1:56 pm
    Permalink

    Mon, mendingan postingan ini dikirimin aja ke blog sebelah, ke blog pribadinya bos gue…hehehe…Pak Juwono Sudarsono. Pasti jadi bahan pemikiran dan pasti disampe’in ke temen-temen menterinya.
    Tiap hari ditengok koq, Bapak kan orangnya asik.
    Gak bermaksud promo, tapi tulisan lo ini bagus dan patut menjadi bahan pemikiran orang-orang gedhe yang open mind macem beliau.
    siapa tau lo bisa jadi salah satu penasehat pribadi ato staf khusus muda Menteri.
    Punya otak encer jangan disia-sia’in atuh..

    dy

    Reply
  • June 20, 2006 at 8:48 am
    Permalink

    masak ga bisa cari ndiri seech, Mas Priyadi aja dah tau…bcanda…
    juwonosudarsono.com, postingan Bapak yang kemaren dulu juga soal pinjaman luar negeri yang salah satunya terkait korban bencana Jogja.
    Siapa tau nyambung.

    dy

    Reply
  • August 11, 2006 at 3:08 am
    Permalink

    bener banget bung,
    “cash for work” itu candu!
    agak aneh kan, masak seseorang harus dibayar utk menolong dirinya sendiri?

    NGO2 asing itu sepertinya gak mau repot, yg penting dana yg dianggarkan bisa cepet abis. Mrk gak peduli akibatnya kemudian ke tatanan sosial masyarakat.
    masyarakat jadi itung2an, semua jadi ada harganya.
    jangan sampe yogya jadi seperti di aceh…

    Reply
  • March 26, 2007 at 11:34 am
    Permalink

    Patternless thoughts with pointless wisdom.. I like that..

    Reply

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.