Sebagai Universitas tertua di Indonesia, UGM memiliki banyak pusat studi. Tercatat ada 24 pusat studi resmi di UGM, seperti Pusat Studi Lingkungan Hidup, Pusat Studi Jepang, Pusat Studi Pariwisata, Pusat Studi Agrobisnis, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, dan tentunya ada: Pusat Studi Wanita.

???

Atau dengan kata lain, wanita adalah obyek. Obyek penelitian yang tidak jauh berbeda dengan Jepang, Lingkungan Hidup, dan Agrobisnis. Tidak jelas apa yang sudah diberikan Pusat Studi ini, tapi sepertinya kehadirannya justru memperkuat image kalau wanita adalah obyek untuk diamati, bukan subyek yang memiliki peran yang sama dengan yang lain.

Di UGM, wanita itu tidak beda dengan Agrobisnis
Tagged on:

17 thoughts on “Di UGM, wanita itu tidak beda dengan Agrobisnis

  • November 24, 2005 at 11:52 pm
    Permalink

    Hehhe, mon, hati-hati loh klo “menghakimi” seseorang atau institusi :). What’s your reasoning behind those accusion? It sounds rather harsh you know.

    Pusat Studi Wanita menurutku diartikan sebagai suatu institusi yang memiliki peran dalam rangka pemberdayaan perempuan. Kenapa disebut pusat studi, karena mungkin tempat tersebut adalah tempat mempelajari tentang berbagai isu di sekitar wanita. Tentu saja wanita disana akan dilihat tidak hanya sebagai objek, namun pasti juga kadangkala dilihat sebagai subjek. Kontekstual gitu deh.

    Reply
  • November 25, 2005 at 8:32 am
    Permalink

    Hahahahaha! Pertama, saya tidak menghakimi siapapun Ton. Dan kedua, yang saya lontarkan disini, sekali lagi, adalah sebuah wacana untuk didisikusikan. Saya percaya kalau tidak ada yang namanya pendapat yang mutlak, jadi kalau anda tidak setuju jangan ragu-ragu untuk membantah. :)

    Tentang Pusat Studi Wanita, aku setju bahwa mereka memiliki fungsi untuk melakukan empowerment terhadap wanita. Masalah disini adalah, Pusat Studi ini menjadikan wanita sebagai obyek penderita. Sebagai victim.

    Dan pola pikir victim hanya akan membuat para victim menjadi semakin lemah.

    Bagaimana bisa terjadi empowerment, kalau setiap hari kita memperlakukan diri kita sendiri sebagai korban dari kumpulannya yang terbuang.

    Reply
  • November 25, 2005 at 8:55 am
    Permalink

    Ah, at this point I can not agree more to you. Aku juga sering melihat yang seperti itu sih. Yang seringkali aku dengar adalah victim-based perception. Tapi ini juga baru satu sisi sih .. coba ntar kita denger aktivis pemberdayaan perempuan untuk berbicara. :)

    Mungkin sih dugaanku ada berbagai macam level “perjuangan”. Dan aku rada menduga, di level paling tinggi akan ada semacam filosofi: cara unutk menyelesaika maslaah adalah dengan menganggap masalah itu tidak ada (tapi tidak berarti mengabaikan!).

    Victim based perception neh mungkin ntar akan dicounter dengan dalam kenyataannya masih banyak victim. most of them mungkin blm sampe pada pemikiran non victim atau bahakan tidak ingat sama sekali akan hak-haknya atau equalitynya. Thus way pemikiran victim based masih tetep ada.

    Reply
  • November 25, 2005 at 8:57 am
    Permalink

    Ralat:
    Victim based perception neh mungkin ntar akan <del>dicounter</del> didukung dengan dalam kenyataannya masih banyak victim. most of them mungkin blm sampe pada pemikiran non victim atau bahakan tidak ingat sama sekali akan hak-haknya atau equalitynya. Thus way pemikiran victim based masih tetep ada.

    Reply
  • November 25, 2005 at 12:02 pm
    Permalink

    setiap universitas dimanapun, memang punya pusat studi wanita, yang terdepan misalnya di canada dan belanda, yang melakukan riset-riset persoalan isu perempuan. Untuk bahasa obyek penelitian, dalam proses penelitian ada proses pemberdayaan, misalnya dengan akses suara perempuan, feminis pun punya metode penelitian yang berbasis pada ideologi tersebut. Untuk kasus UGM, memang gaung PSW tidak begitu kuat karena kebanyakan isu yang mereka teliti adalah kesehatan reproduksi dan biasanya bekerjasama dengan pusat studi kependudukan (yang justru gencar melakukan penelitian-penelitian dengan tema isu perempuan), satu hal yang menjadi catatan, mengapa PSW di UGM seperti tidak ada gaungnya diibanding UI, karena pemimpinnya pun belum berperspektif gender termasuk sistemnya…

    sofie

    Reply
  • November 25, 2005 at 1:08 pm
    Permalink

    saya sendiri ngga sepakat dengan adanya tema tentang “emansipasi”, “pemberdayaan perempuan” dsb, sampai2 di level teratas saja ada departemen/kementriannya. Jika memang tidak ada diskriminasi, kenapa perlu ada kata “pemberdayaan” ? apakah selama ini perempuan tidak berdaya ? kalaupun scr statistik sebagian besar leader di negeri ini adalah laki-laki, ya tidak berarti kesimpulannya adalah “perempuan tidak berdaya kan?”.

    Kalau saya sih usulnya ganti nama saja, misalnya “pusat studi reproduksi”, atau “pusat studi emansipasi” atau “pusat studi gender”. Jadi yang diriset bukan “wanita”-nya, tapi aspek lain (sosial/kesehatan) terkait dengan wanita. :)

    Reply
  • November 25, 2005 at 4:24 pm
    Permalink

    Btw, pemilihan kata Wanita juga sebenernya gak gitu bagus. Aku pernah baca tulisan yang intinya, lebih baik menggunakan kata Perempuan daripada Wanita.
    Secara etimologis, kata Perempuan berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’

    Reply
  • November 25, 2005 at 4:29 pm
    Permalink

    Sama ama mas Topan. Aku juga gak gitu enak denger dengan apa yang disebut-sebut sebagai Pemberdayaan Wanita.(Wanita diberdayakan??!!!Kesannya kasar..)
    Pusat Studi Wanita.(Wanita punya tempat untuk di-studi-kan?!!Kesannya jadi obyek..)
    Mungkin penamaannya kali, yang bikin serasa “Wanita adalah obyek studi dan kajian”.Hehe..
    Coba kalo diganti jadi : “Pusat Studi bagi Wanita”.
    Nah..Beda kan?
    Kalo gitu kan image yang didapat udah beda banget. (Tapi emang jadi pindah jalur gitu artinya..:D Cuma contoh..)

    Tapi sebenernya fungsinya apa ya? Terus terang aku lebih prefer berbuat lewat tindakan untuk memperbaiki level dan derajat perempuan. Daripada demo sana-sini, tapi image dan inner gak keliatan girl powernya.

    Reply
  • November 25, 2005 at 9:35 pm
    Permalink

    @tika_banget
    ————
    Secara etimologis, kata Perempuan berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’
    ————

    Well.. hubungan nya dengan jenis kelamin Anda apa yah…?
    Maksud Saya, kok bahasa yang di serap ‘ngga nyambung’ dengan maksud nya..? (No Offense)
    Beda dengan ‘Wanita’ yang tentu saja berasal dari kata ‘Betina’ yang ber transform jadi ‘Wetina’ dan untuk memperhalus, di ubah menjadi ‘Wanita’…

    ———————————–

    Hmmm…
    Gue pribadi tidak menentang soal issue ‘pemberdayaan’ ini. ‘Pemberdayaan’ bukan mengatakan bahwa Perempuan tidak berdaya, tapi lebih pada arti ‘di berdayakan’.

    Contohnya seperti ini :
    Berapa banyak profesi seorang Perempuan yang hanya mengandalkan Sex Appeal…? SPG misalnya, atau model iklan, atau PR, atau lain sebagainya.

    Jika tidak ada studi mengenai pemberdayaan, tentu saja di khawatirkan akan lebih banyak eksploitasi – eksploitasi lainnya.
    (Bahkan iklan Oli Mobil dan Pompa air saja mulai mengeksploitasi perempuan.)

    Saya percaya bahwa kapasitas seorang perempuan bukan hanya dari soal kemolekan tubuh. Oleh sebab itu, resource yang berharga tersebut lebih baik ‘di berdayakan’ bukan..?

    Reply
  • November 25, 2005 at 10:03 pm
    Permalink

    Hmmm.. maksudnya gimana to? Soalnya, antara penjalasan dan contoh kok sptnya kurang nyambung.

    Tapi sahya rasa perlu dibedakan antara iklan yang menggunakan wanita untuk meng-appeal pria dan yang untuk meng-appeal wanita.

    Yang pertama ditujukan untuk mendapatkan attention target audience (Pria), maka dipilihlakh sesuatu yang menarik perhatian cowok, yaitu (cewek). Tapi sebenarnyya ini bisa apa saja, asal membuat pria tertarik.

    Yang kedua, ditujukan untuk membuat target audience (cewek) terhubung/associated dengan produk yang ditawarkan, makanya digunakan model cewek dengaan fisik dan situasi yang diharapkan para wanita. Misalnya iklan susu untuk lansia, dipilih model cewek yang walaupun tua tapi segar. Iklan sabun wajah untuk remaja pakai model cewek yang putih, wajahnya halus temannya banyak.

    Yang pertama berusaha mencari attention. Yang kedua berusaha membuat produknya berkaitan dengan yang nonton. Tidak ada yang salah atau berniat menidak-berdayakan perempuan disni. Cuma sebuah metoda komunikasi masal.

    Reply
  • November 26, 2005 at 2:56 am
    Permalink

    Maksudnya gini, profesi2x yang Saya sebutkan diatas khan marak sekali ahir2x ini.

    Dan sering kali, dari profesi2x tersebut, hanya mengeksploitasi sebagian potensi yang ada di perempuan. Got it…?

    Nah, di situ lah peran pemberdayaan wanita, ups.. maksud Saya, ‘Perempuan’ (yang artinya ngga nyambung) itu di perlukan.

    Ya.. Metode komunikasi massal sich sah2x saja.. Asalkan tidak over.

    Reply
  • November 26, 2005 at 4:32 pm
    Permalink

    #Rio :

    Ya.. Metode komunikasi massal sich sah2x saja.. Asalkan tidak over.

    ————————————–

    Setuju.
    Gak over dan gak norak.
    Iklan cerdas biasanya gak perlu mengeksploitasi cewek-cewek buat produknya.

    Btw, kenapa postingan ama komentarnya jadi beda jalur gini..?!
    Hihihi..

    Reply
  • November 26, 2005 at 6:41 pm
    Permalink

    Btw, kenapa postingan ama komentarnya jadi beda jalur gini..?!
    Hihihi..

    Enggak, cuman aku meluruskan kalau iklan yang memakai wanita dengan sedemikan kampungan, adalah iklan yang asal jadi, miskin kreativitas, dan jelek. Bukan karena mengeksploitasi wanita, tapi karena si pembuat iklan tidak ingin mengeksplorasi metode komunikasi massal dengan kemasan yang jauh lebih menarik.

    Akhir-akhir ini, iklan jadi seperti sampah.

    Reply
  • December 12, 2005 at 5:29 pm
    Permalink

    Kelihatannya ada pengertian yang tidak tepat dalam kata ‘objek’. Pusat Studi Wanita memang menjadikan wanita menjadi objek penelitian, tetapi kata objek ini berbeda dengan pengertian umum. Dalam kehidupan sehari-hari kata objek sering diartikan sebagai ‘menggunakan untuk kepentingan tertentu’, seperti misalnya : ‘objek politik’, skripsi yang di-‘objek’-kan. Nah dalam dunia penelitian kata objek sebenarnya mempunyai arti ‘sesuatu yang dijadikan pusat perhatian’. Ini berarti Pusat Studi Wanita dapat diartikan menjadi ‘menjadikan wanita menjadi pusat perhatian peneliti. Lalu, apa yang diteliti, cukup banyak, misalnya peranan wanita jawa dalam menopang perekonomian keluarga dan sebagainya. Apa gunanya melakukan hal tersebut? Prinsip dasar penelitian adalah ‘memperoleh pemahaman yang benar atau utuh tentang objek penelitian’, jadi dengan melakukan kajian terhadap wanita dan peranannya maka diharapkan pandangan-pandangan yang selama ini keliru, misalnya : ternyata dalam keluarga jawa wanita(perempuan) memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi keluarga, padahal selama ini kita mengira wanita itu cuma ‘konco wingking’.
    Semoga memberi pencerahan…

    Reply
  • January 15, 2006 at 4:07 am
    Permalink

    jujur saja jika bicara tentang pemberdayaan atau mengobjek kan perempuan, perempuan dalam arti masyarakat umum saja tidak mempermasalahkan hal tersebut, akar permasalah yang kalian bicarakan sebenarnya simpel wanita/perempuan itu mau diposisikan dimana, coba elu pada bayangin masyarakat yang primitive dibeberapa daerah di belahan dunia, rata-rata wanita/perempuan diposisikan sebagai yang lemah dari segi fisik, contoh yang paling kongkert herman lihat cewek beli belanjaan banyak, dan menurut herman belanjaan itu berat otomatis herman menawarkan untuk membantu cewek tersebut, kalau dari contoh diatas faktor kejiwaan berperan dan hal ini sudah terus terjadi sampai sekarang, sehingaa istilah wanita di jajah pria itu ada. ngerti enggak (sorry biasa di ajari dosen pake analogi yang rumit)T_T

    Reply
  • January 30, 2007 at 3:17 pm
    Permalink

    uhh…baca obrolan2 kamu2 semuanya kayak mainin piano dengan tempo 140 dengan nada yang gak jelas.
    friend…
    kalau anda bicara PSW anda semua harus bisa membedakan apa itu konsep gender dan apa itu konsep seks. jangan mencampurkan antara keduanya… karena keduanya punya worldview yang berbeda, nah kalau udah nyampurin 2 worldview yang berbeda itu sama saja kita melakukan sweeping stetement. trus anda juga harus menuntukan worldview anda…
    yang terjadi saat ini
    epistimologi beda, worldview beda, metafisika juga beda..
    yach…..gimana mau nyatu.
    akhirnya semua obrolan gak sistematis. dan semakin membuktikan kedangkalan subjek dalam mengetahui objecknya.
    aurevoir….

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.